Minggu, 02 November 2008

Kultur Revolusi Seksual

Saat sedang santai baca buku setelah urusan praktik selesai, penyeranta handphone saya berbunyi…. ternyata ada SMS.

dari 08564xxxxx

dok, ini Evi mhn maaf mo nanya gynecosid itu obat apa sih, efek smpingnya apa? kalo beli mmang hrs pake resep?

Saya menjawab

081225xxxxxx

Itu obat hormon kewanitaan, hrs dengan resep dokter. Lha ada apa mbak?

Beberapa menit kemudian

Dari 08564xxxxx

Saya sdh ga mens 2 bln ini, kata tmn2 gynecosid itu bisa membuat mens. Kalo boleh sy mnta respnya ya dok.. boleh ya

Saya membalas kembali

081225xxxxxx

Wah mbak kalo nulis resep apalagi obt hrs ada alasannya. Ga bs lgsng tembak. Sy sarankan mbak perxa lab dulu, mmastikan itu bukan kehamilan..

Kembali ada balasan

Dari 08564xxxxx

Trs terang kayaknya hamil, sy sdang skripsi, sy anak sulung, si cowok cuek… sy didiemin aja

Saya balas sms-nya

081225xxxxx

Mbak Evi yg b4ik, sy ada pasien anak, dia cacat, matanya suka nglirik ke atas, air ludahnya suka nyrocos terus… ortunya sm2 mhsiswa. Mncoba menggugurkan, dng obt mcm2 tms obt kimia & trdisionl. Ternyt anaknya ttap bertahan smpe lahr. Skrng ke2 ortunya ga tahu dimana. Anak itu dirwt pa becak.. maaf mbak kalo sy mngcewakn..

………………………………………………………

Penasaran ya kelanjutan ceritanya...

saya terus terang ga bisa ngasih advis apa-apa for this girl...

Eh ngomong-ngomong kasihan ya anak yang bola matanya suka ngelirik ke atas, ludahnya suka nyrocos keluar, korban ortunya yang sama-sama tidak menghendaki kelahirannya, karena ketergesaan cinta dan berusaha membunuhnya, tetapi gagal, akhirnya lahir cacat seperti yang saya ceritakan di sms.

Puisi sang anak malang

Ooh sungguh malang diriku

Akulah noda dari cinta yang bergairah

Akulah aib dari cinta yang merekah

Akulah satu bintang yang coba dihapus dari malam

Akulah kota yang coba dihapus dari peta

Tetapi mereka tidak mampu mengubah takdir

Aku tetap terlahir

Aku tetap ada

Semua perasaan yang seharusnya ada untukku, tetapi dia dicampakkan jauh-jauh

Aku dianggap tidak ada

Aku tak diacuhkan sama sekali

Aku lahir dengan ketidaksiapan cinta

Aku lahir tak diharapkan

Aku lahir tuk dikorbankan

Aku lahir tuk dikalahkan oleh harga diri

Aku lahir tuk dicampakkan agar mereka tetap terhormat di depan manusia

Dengan cacat yang tlah mereka lakukan padaku

Cacat yang harus aku tanggung sendiri sampai tutup usiaku menjelang

Penderitaan yang aku jalani tanpa penerimaan

Tanpa dukungan

Bahkan oleh bapak ibu biologisku sendiri

Kasus Evi dan anak cacat yang gagal diabortus ortunya adalah masalah yang sering dijumpai di era “kebebasan seksual” dewasa ini. Abortus arti katanya usaha menggagalkan kehamilan, bisa pula diartikan usaha “membunuh” janin. Kriteria usia “membunuh” masih menjadi kontroversi di kalangan medis di berbagai belahan dunia. Istilah abortus dimunculkan untuk lebih membuat “nyaman” ketika melakukan tindakan “membunuh” janin. Apalagi kalau dilakukan secara sengaja dan bukan karena indikasi medis. Kejadian abortus yang berhasil (contoh di atas adalah kasus abortus yang tidak berhasil) mempunyai catatan statistik yang luar biasa. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) diperkirakan 4,2 juta abortus dilakukan setiap tahun di Asia Tenggara, dengan perincian[1] :

1,3 juta dilakukan di Vietnam dan Singapura

antara 750.000 sampai 1,5 juta di Indonesia

antara 155.000 sampai 750.000 di Filipina

antara 300.000 sampai 900.000 di Thailand

Resiko tindakan abortus banyak ditanggung oleh wanita. Kita lihat dari data yang dihimpun oleh WHO semuanya ditanggung wanita.

Selama saya melakukan praktik dalam delapan tahun terakhir, saya menjumpai lebih dari sepuluh kasus penyakit menular seksual seperti gonorhoea (dibaca gonore), atau orang biasa menyebut dengan kencing nanah. Karena yang sering dikeluhkan pada muara penisnya merembes carian putih kental bercampur nanah, menjadi flek-flek kekuningan di celana dalamnya. Dan yang lebih memrihatinkan adalah kesemuanya adalah mahasiswa. Kalau kita merujuk pada kepustakaan, seseorang yang telah menderita gonorhoea didapatkan telah melakukan hubungan seksual rata-rata dengan 4 pasangan seksual. Penderita sifilis melakukan hubungan seks dengan rata-rata 5 pasangan seksual yang tidak diketahui asal-usulnya.

Jadi 10 mahasiswa yang datang di tempat praktik saya dalam 8 tahun terakhir, mencerminkan sudah punya resiko menularkan dan ditularkan penyakitnya kepada 40 pasangan seksual mereka. Bahkan ada dua orang dari mereka datang ke tempat praktik karena kambuh lebih dari empat kali dalam periode waktu yang berbeda.

saya bingung harus bagaimana? tanyakan saja pada rumput yang bergoyang?

[1] Azhari, 2002, masalah abortus dan kesehatan reproduksi perempuan dalam Seminar Kelahiran Tidak diinginkan (aborsi) Dalam Kesejahteraan Reproduksi Remaja, Palembang 25 Juni 2002