Kamis, 06 November 2008

Ceruk Terdalam Negeriku



Pengisah Cinta
. Pernah mendengar nama Desa Bolda? Distrik Nalca? Kabupaten Yahukimo? Untuk nama yang terakhir pastinya pernah mendengar atau masih ingat sekilas karena nama ini pernah terkenal pada awal 2006 saat berhembus isu bencana kelaparan yang menewaskan puluhan warga Papua pedalaman di kabupaten baru hasil pemekaran wilayah Jayawijaya. 'Bencana' yanga sarat muatan politis ini kemudian membuat Presiden SBY mengeluarkan Keppres membentuk Tim interdepartemen untuk menangani bencana rawan pangan kabupaten Yahukimo yang dikomandani Rizal Mallarangeng. Yim ini bekerja efektif sejak januari sampai Agustus 2006. Saya dan beberapa teman Brigade Siaga Bencana dari seluruh Indonesia termasuk dalam tim kesehatan yang masuk langsung ke jantung pedalaman Yahukimo.
Bolda adalah sebuah desa kecil di sebuah bukit, yang hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki melewati ngarai dan bukit selama 3-4 jam dari Nalca. Distrik Nalca (3500m dpl) sendiri terletak di barat laut Wamena, ibukota kabupaten Jayawijaya yang hanya bisa dicapai dengan pesawat kecil jenis cessna atau pilatus porter yangberkapasitas 800kg setelah terbang sekitar 35 menit. Oya, meskipun pesawat bisa mendarat jangan bayangkan ada bandara, yang ada hanyalah sebidang tanah lapangan keras sepanjang sekitar 200 meter yang berfungsi sebagai landasan pacu-darat. Jalan darat tidak ada karena geografis yang sangat sulit, orang setempat mengatakan jarak tempuh dari Nalca ke Wamena via jalan darat 'cukup dekat' hanya jalan kaki sekitar 3-4 minggu melintasi puluhan bukit berhutan tropis! Yang disebut distrik di Papua pedalaman ini adalah sekelompok desa yang terpencar-pencar di bukit dan lembah dengan beberapa bahasa ibu yang berbeda. Dari atas helikopter atau pilatus rumah-rumah adat mereka (honai) menyerupai jamur merang yang tumbuh tersebar pada kelompok-kelompok kecil pada relif Pegunungan Tengah Papua yang begitu amazing. Saya terheran, bagaimana mereka membuat sebuah pilihan hidup begini ekstrim, bayangkan hidup tersaing di puncak bukit terjal, dingin, tanpa pakaian pula. Mereka sebagian masih telanjang. Kok bisa ya, saya saja siang hari kadang merasa perlu memakai jaket.
Hampir satu pekan sudah saya ngepos di Nalca, namun baru hari ini sempat 'jaulah' ke desa Bolda. Selama sepekan ini kalau tidak melayani pasien di puskesmas Nalca ya paling ke desa yang terdekat seperti Selendamek, atau Olsekla. Itu juga sudah pakai acara hiking, jadi acara kunjungan ke desa lain selalu menantang dan mengasyikkan.
Pagi itu jam 7 saya sudah siap dengan satu tas carrier yang saya sesaki dengan stok obat-obatan dan telur rebus untuk dibagi kepada anak-anak Bolda. Mantri Titus, Bidan Willy dan Nahom Nawak, tenaga PPL asli Nalca mendampingi saya di perjalanan ini. Pak Polisi Suparman standby di posko sambil memantau komunikasi dengan posko pusat Wamena via radio panggil.
Bismillah, kami berangkat. Nahom memanggul ransel yang cukup berat. Kecil-kecil kuat juga dia. Tanah pagi ini becek, soalnya tadi malam hujan turun. Jalan setapak yang basah dihiasi oleh kotoran babi dimana-mana, membuat saya terpaksa melompat kesana kemari menghindari najisah binti najisun berwarna hitam dan berbau aduhai itu. Asyik juga, saya jadi lincah dadakan, hehe.. Ketiga teman saya cengar-cengir melihat atraksi saya. Sepanjang perjalanan saya terkagum-kagum dengan pemandangan yang masih serba asli. Tebing cadas asli, hutan asli, pelangi asli, dan babi asli..bukan jadi-jadian hehe..
Sesekali kami beristirahat minum sambil foto-foto. Dan tak terasa satu setengah jam telah kami lalui sambil bercanda, membuat perjalanan terasa cepat. Setelah menyusuri hutan rumput setinggi 2 meteran kami sampai di pinggir sungai yang membatasi lembah Nalca dengan bukit Bolda. Sungai ini tak seberapa lebar, hanya sekitar 20 meter, namun airnya yang deras dan berbatu-batu besar seakan menyeringai, menantang kami. Tidak ada jembatan, yang ada hanya dua batang pohon sebesar paha yang direbahkan dan bertemu ditengah badan sungai. Batang kayu itu ditempelidahan-dahan yang lebih kecil yang dililitkan dengan rotan agar tidak terlalu licin. Namun hujan dan sisa-sisa tanah membuat kayu yang sebagian ditumbuhi lumut itu tetap saja licin. Ada pegangan sih, tapi buat saya tidak membantu karena hanya terbuat dari seutas rotan yang dipasang kendor. Menurut Titus, tadinya di sini ada sebuah jembatan yang cukup baik, namun setahun lalu dibakar saat ada perang suku antara Nalca dengan Bolda. Hmm..perang suku memang masih kerap terjadi pada peradaban Papua. Di Nalca setiap hari kaum lelaki menenteng busur dan anak panah, siap untuk bertempur kapan saja.
Saya menyeberang dengan takut-takut. Salah sedikit saya bisa jatuh dan dilumat sungai ganas, 5 meter di bawah sana. Keiga teman saya dengan mudahnya melalui 'jembatan' ini, tapi saya harus pakai acara jongkok jongkok untuk berpegangan ke batang kayu. Sekali lagi mereka cekikikan melihat aksi yang mereka pandang kolokan itu. Akhiornya nahom membantu satya dengan memegangi tangan saya agar lebih cepat. Wuih, alhamdulillah...
Lantas tak lama kemudian di belakang kami saya melihat pemandangan yang lebih membuat saya terbengong-bengong. Beberapa mama (ibu) berumur 50 tahuanan dengan badan yang terlihat rapuh memanggul ubi satu noken (tas jala terbuat dari serat kayu) penuh dan sebagian membawa anak balita di nokennya menyeberangi jembatan itu laksana lewat jalan biasa saja, tanpa kesulitan! Hebat benar wanita-wanita Papua ini.
Satu jam berikutnya adalah perjalanan mendaki bukit. Pemandangan mulai berganti dengan ladang-ladang umbi dan sayur yang sangat subur. Saya jadi heran, dari mana mereka dikatakan kelaparan?
Akhirnya kami sampai di puskesmas pembantu Bolda. Namanya saja pustu, namun yang ada hanya satu rumah kayu 3 bilik yang salah satu biliknya ditempati Mantri Nikolas dan keluarganya. Hanya inilah sarana yang ada. Lemari obat terlihat kusam dengan obat yang tidak tertata. Pengetahuan para mantri jangan ditanya dulu, karena mereka umumnya hanya penduduk biasa yang hanya bermodal mampu bicara dengan bahasa Indonesia kemudian dididik sekadarnya. Mungkin kalau di Jawa atau Sumatra sekelas kader desa. Sebagian mereka adalah hasil didikan missionaris Barat.
Kalau di Olsekla saya membuka pengobatan di dalam gereja, maka di Bolda ternyata lebih baik karena punya pustu meski seadanya. Tidak ada kursi, jadi pasiean yang jumlahnya sekitar 75 an siang itu menggelosoh di lantai pustu yang masih tanah (iyalah..mana ada semen). Mirip jaman Belanda menjajah Jawa dulu. rata -rata kotor karena tidak mani dan berganti pakaian. Sebagian sudah mengenakan baju meski kumal, namun masih banyak juga yang mengenakan pakain tradisional mereka (bagi kau lelaki: koteka, sejenis penutup batang kemaluan terbuat dari kulit labu yang dikeringkan dan bagi wanita: sali, semacam rok yang terbuat dari rumbia).
Mereka sudah menunggu sejak pagi. Begitu antusias mereka mendengar akan ada dokter yang mengunjungi Bolda. Oya sebelumnya Mantri Nikolas sudah mengumumkan lewat wesa (gereja) tentang kunjungan ini. Yang membuat saya terharu adalah ada seorang pasien tua yang ditandu dari kaki bukit demi berobat ke pustu. Ya Tuhan..
Ada rasa iba, melihat kondisi mereka walaupun kadang saya frustasi juga saat mencoba menganamnesa untuk mengetahui keluhan penyakit karena rata-rata tidak bisa mengerti bahasa saya. Nikolas dan Titus yang menjadi penterjemah tidak banyak membantu karena tetap tidak nyambung. Yang ditanya sakitnya sejak kapan jawabnya kemana-mana. Entah karena budaya bertutur mereka yang mungkin begitu atau dimana kesalahannya saya tidak tahu, sebab setahu saya Titus dan Nikolas berbahasa Indonesia dengan cukup baik.
Tidak banyak memang yang saya bisa lakukan di sana. Faktor fasilitas, waktu yang sebentar dan kekurangan saya sendiri membatasinya. Namun saya bersyukur, Allah beri kesempatan untuk ini. Untuk berlelah-lelah mendatangi mereka, saudara kita. Bukan saudara sesuku, bukan pula seagama tapi pastinya masih sama-sama keturunan Adam dan Hawa. Sama-sama makhluk Allah...
Inilah satu ceruk terdalam di negeriku, walaupun bukan yang paling dalam. Masih banyak ceruk terdalam yang belum tersentuh sama sekali...