Memang benar ajaran para bijak, manusia harus selalu bersyukur atas  segala hal yang telah kita dapatkan. Penelitian baru-baru ini  menyimpulkan bahwa ungkapan rasa syukur memiliki efek positif yang  mendalam terhadap kesehatan, suasana hati dan bahkan kelangsungan  pernikahan.
Dalam satu kajian mengenai rasa syukur yang dilakukan  oleh Robert A. Emmons, Ph.D. dari University of California-Davis dan  rekannya Mike McCullough dari University of Miami, peserta secara acak  diberi salah satu dari tiga tugas.
Setiap minggu, seluruh peserta  diminta menulis sebuah jurnal singkat. Kelompok pertama diminta  menuliskan secara singkat lima hal yang mereka syukuri atas hal-hal yang  telah terjadi dalam seminggu terakhir.
Kelompok kedua menuliskan  lima kesibukan sehari-hari dari minggu sebelumnya yang membuat kesal,  dan kelompok netral diminta menulis lima peristiwa yang mempengaruhi,  tapi tidak diharuskan pengalaman positif atau negatif.
Sepuluh  minggu kemudian, peserta dalam kelompok bersyukur merasa kehidupannya  lebih baik secara keseluruhan dan 25 persen lebih bahagia daripada  kelompok yang kesal. Mereka lebih sedikit mengeluh tentang kesehatan dan  melakukan olahraga rata-rata 1,5 jam lebih.
Dalam sebuah  penelitian berikutnya yang dilakukan oleh Emmons, peserta penelitian  diminta menulis tentang hal-hal yang mereka syukuri setiap hari. Tidak  mengherankan, praktek sehari-hari menyebabkan kenaikan rasa syukur yang  lebih besar daripada menuliskannya dalam jurnal mingguan seeprti pada  penelitian pertama.
Namun hasil menunjukkan manfaat lain. Peserta  dalam kelompok syukur juga lebih banyak memberikan dukungan emosional  atau bantuan terkait masalah pribadi kepada orang lain. Hal ini  menunjukkan bahwa melatih rasa syukur meningkatkan niat baik terhadap  orang lain, atau bisa dikatakan, mendukung perilaku 'pro-sosial'.
Penelitian  lain mengenai rasa syukur ini dilakukan pada orang dewasa yang memiliki  penyakit neuromuskuler (penyakit yang menyerang otot dan syaraf), baik  yang bawaan maupun baru terjadi ketika dewasa. Mayoritas peserta  memiliki sindrom pasca polio (PPS).
Dibandingkan dengan mereka  yang tidak menuliskan rasa syukur setiap malam, peserta dalam kelompok  syukur melaporkan lebih banyak jam tidur malamnya dan merasa lebih segar  saat bangun.
Kelompok syukur juga dilaporkan lebih puas dengan  kehidupannya secara keseluruhan, merasa lebih optimis, dan merasa jauh  lebih terhubung dengan orang lain daripada peserta dalam kelompok  kontrol.
Perubahan positif tersebut nyata terlihat oleh orang  lain juga. Pasangan peserta penelitian kelompok syukur melaporkan bahwa  peserta penelitian tampaknya memiliki kesejahteraan subjektif lebih  tinggi daripada pasangan peserta dalam kelompok kontrol.
Beberapa  penelitian telah menunjukkan bahwa depresi berkorelasi terbalik dengan  rasa syukur. Tampaknya orang yang lebih banyak bersyukur semakin sedikit  depresinya.
Philip Watkins, psikolog klinis di Eastern  Washington University, menemukan bahwa pasien depresi klinis menunjukkan  rasa terima kasih yang secara signifikan lebih rendah dibandingkan  kelompok kontrol yang tidak mengalami depresi, yaitu hampir 50 persen  lebih sedikit.
Dr. John Gottman dari University of Washington  telah meneliti megenai pernikahan selama dua puluh tahun. Menurutnya,  kesimpulan dari semua penelitiannya adalah bahwa jika pasangan tidak  mampu mempertahankan tingginya perbandingan pertemuan yang positif  dengan negatif (5:1 atau lebih besar), kemungkinan besar pernikahan akan  berakhir.
Dengan akurasi 90 persen, Gottman mengatakan bahwa  dengan pengamatan selama tiga menit saja, dia bisa memprediksi  pernikahan yang cenderung berlangsung lama dan yang akan berakhir.  Rumusnya adalah untuk setiap ekspresi negatif (seperti keluhan,  mengerutkan kening, ekspresi kemarahan), diperlukan sekitar lima hal  yang positif (seperti tersenyum, memuji, tawa, penghargaan, dan rasa  syukur).
