Selasa, 19 April 2011

Apakah Anda Bahagia?


Frointier Consulting Group melakukan survey tentang Happiness Index (IHI) 2007 yang menunjukkan tingkat kebahagiaan masyarakat. Dari survey tersebut Jakarta termasuk kota yang penduduknya paling tidak bahaigia, index yang dicapai hanya 46,20 dibanding kota lainnya, seperti Semarang (48,74); Makassar (47,95); Bandung (47,88) dan Suarabaya (47,19). Jakarta hanya mengungguli Medan yang memiliki indeks kebahagiaan sebesar 46,12.

Ayo kita bandingkan dengan negara Bhutan (di mana tuh?). Telah bertahun-tahun negara ini mengukur tingkat kebahagiaan penduduk dan negaranya dengan ukuran kebahagiaan Gross National Happiness (GNH), dan bukan dengan ukuran ekonomi Gross Domestic Product (GDP). Bhutan disebut sebagai “Shangrilla di kaki gunung Himalaya”. Dalam sebuah survei tahun 2005, 97 persen menganggap diri mereka berbahagia, dengan 45 persen merasa sangat berbahagia. Hal ini membuat tingkat kepuasan penduduk Bhutan berada dalam kelompok 10 persen tertinggi di dunia berdasarkan Happy Planet Index. Bukannya kebahagiaan yang berasal dari pemuasan nafsu dunia fana, melainkan berasal dari iman dan konsep “tahu-cukup”

Kebahagiaan, kesenangan, kesedihan, kekecewaan dan juga kemarahan adalah produk mental yang dihasilkan dari aktivitas beberapa bagian otak sekaligus. Respon seseorang terhadap 'realitas' (pakai tanda kutip) yang dihadapinya tergantung pada persepsi yang dihasilkan dari kerjasama antara sistem memori-emosi yang ada di sistem limbik dan lobus frontalis di korteks cerebri yang tujuannya untuk menghasilkan respon sikap terbaik. Selanjutnya, respon bahagia akan memicu diproduksinya hormon ketenangan (serotonin), kegembiraan (endorfin) dan hormon motivasi (dopamin). Jadi orang yang menyikapi sesuatu dengan persepsi happy memiliki ketiga hal di atas: damai, gembira dan bersemangat. Asyiiik...

Bahagia itu masalah persepsi kita terhadap dunia luar. Harap diingat, kita tidak boleh bergantung kepada apa yang di luar kita untuk bisa merasakan bahagia. Sungguh tidak bijaksana kepada diri sendiri untuk menunda kebahagiaan dengan mempersyaratkannya. Sungguh bahagia itu tanpa syarat apapun. Tidak perlu alasan apapun untuk bahagia. (bersambung)