Kamis, 15 Maret 2012

Seri Mitos Salah Tentang Karier Dokter 2


Dokter adalah profesi yang prestisius, sehingga mudah bagi dokter untuk menarik pelanggan
Sekarang dokter bukanlah profesi yang prestisius. Bahkan ada kecenderungan praktik dokter merupakan sasaran empuk untuk dijadikan ajang tuntutan malpraktik. Seorang teman bercerita di sebuah rumah sakit di Jakarta, pengacara dan timnya berburu kasus malpraktik dengan menunggui kedatangan pasien yang meninggal di ruang mayat. Di situ mereka menanyai kapan meninggalnya, apa sebab meninggal, apakah ada andil kelalaian dokter, dan tentu saja tidak lupa mengucapkan belasungkawa. Bila menemukan dugaan kelalaian dokter, mereka memprovokasi keluarganya untuk menuntut dokter atau rumah sakit dan tidak ketinggalan menawarkan diri sebagai profesional bantuan hukum.
Anda memiliki gelar dokter, tidak serta merta Anda bisa dipercaya untuk menyembuhkan permasalahan kesehatan oleh pasien bahkan termasuk tetangga sebelah rumah Anda. Membangun praktik bukanlah pekerjaan semalam dua malam, butuh waktu tahunan untuk bisa menanamkan persepsi kepada pelanggan atau pasien bahwa kita itu kredibel.
Dokter harus menjadi PNS
Sudah tidak terhitung berapa kali teman sejawat saya yang mengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta, keluar karena diterima sebagai pegawai negeri sipil [PNS]. Tidak sedikit pula diantara pilihan untuk masuk sebagap PNS karena advis dari orang tua. Keuntungan-keuntungan menjadi PNS adalah kontinuitas penghasilan dalam jumlah lumayan serta mempunyai tunjangan pensiun dan asuransi kesehatan. Suatu kelebihan yang tidak banyak dimiliki apabila bekerja di instansi swasta, termasuk wiraswastawan/wati.
Tetapi bila melihat perkembangan terakhir jumlah kursi lowongan PNS bila dibandingkan dengan jumlah dokter yang ada, bukanlah proporsi rasio yang menguntungkan. Di Jawa, satu kursi lowongan PNS dokter umum diperebutkan oleh 4 – 7 dokter umum. Jadi agar tidak terlalu ‘sakit hati’ plus kecewa dan menyalahkan diri sendiri, saya menyarankan “anggaplah moratorium tidak ada pengangkatan PNS [dalam tiga tahun itu] berlaku selamanya”. Jadi kita tidak pernah berpikir bahkan terbesit pun tidak ada untuk menjadi dokter PNS.

Dokter harus kerja di klinik
Dokter memang seharusnya bekerja di klinik. Aplikasi ilmu kedokteran yang diperoleh selama kuliah dan menjalani pendidikan kepaniteraan klinik ya.. hanyak bekerja di klinik. Tidak ada klinik ya tidak kerja. Termasuk pula bagi dokter spesialis, harus ada rumah sakit tempat ia mengaktualisasikan ilmu, keterampilan dan leadershipnya.
Permasalahannya, walaupun tidak separah rasio lowongan kursi PNS dengan pendaftar, tetap saja butuh waktu kadang-kadang relatif lama untuk mendapatkan kursi kosong untuk dokter di klinik. Berpikir mencari kerja di klinik OK tetap harus jalan. Tetapi tetap pula mencari jalur lain non klinik yang juga jalan bersama. Pengalaman saya, dua belas tahun yang lalu, kemudahan masuk suatu klinik berbanding terbalik dengan jumlah kunjungan pasien. Semakin banyak pasien suatu klinik, semakin sulit untuk masuknya [harus benar-benar kenal dengan pemilik atau teman dokter di tempat itu dan pas ada yang kosong]. Tetapi sebaliknya klinik yang sepi pengunjung biasanya relatif mudah dan frekuensi peluang kosongnya lebih besar. Disamping hubungan terbalik itu, berkaitan dengan honorarium yang diterima terdapat hubungan linear antara klinik ramai dan klinik sepi. Klinik ramai tentu saja mendapatkan honorarium lebih besar daripada klinik yang sepi.
Karena itu, bagi yang baru lulus dan tidak ada jalur koneksi sama sekali, saya sarankan selain mencari lowongan klinik, juga mencari lowongan non klinik seperti dokter di sekolah [tentu saja membuat proposal penawaran yang berisi jumlah kunjungan kita, obat-obat dasar yang harus dibelanjakan oleh sekolah, program yang akan kita kerjakan, dan tidak lupa honorarium kita sendiri], dokter di perusahaan, pengajar di sekolah-sekolah tinggi keperawatan, kebidanan, fisioterapi dan semacamnya.
Jadi intinya, tidak menggantungkan sepenuhnya pada usaha mendapatkan klinik sebagai andalan tempat kerja kita. Kabar baiknya untuk para pencari klinik, biasanya angka perpindahan dokter di klinik sangat tinggi. Saya pernah ngobrol dengan salah satu pengelola klinik 24 jam milik lembaga sosial di sebuah kecamatan di kabupaten Klaten provinsi Jawa Tengah, beliau mengatakan, “Selama lima tahun mengelola klinik tersebut, sudah terhitung ada 25an dokter yang datang dan pergi di klinik ini”. Berarti rata-rata satu tahun terjadi mutasi 5 dokter. Angka yang fantastis, sekaligus peluang bagi dokter baru lulus untuk mendapatkan, mohon maaf [bukan perkataan yang jahat; karena mungkin ini menyakitkan bagi pemilik dan pengelola klinik] batu loncatan sementara sebelum memperoleh tempat yang bagus.

Rugi tidak pinjam bank, karena dokter mendapat fasilitas pinjaman
Sekitar awal tahun 2010, ketika saya dan istri sedang hunting untuk mendapatkan pinjaman di suatu bank guna pembiayaan rumah tinggal, saya ngobrol-ngobrol dengan customer service bank tersebut. Ada pernyataan menarik dari petugas customer service tersebut, ”dokter itu mudah mencari utang, tetapi kredit macet termasuk tinggi, malah saya lebih respectsama bidan, tertib membayar cicilan dan kredit macet nyaris nol persen”.
Kalau Anda yang pernah utang di bank seperti saya [ada lima bank yang pernah kami berinteraksi dengannya, baik yang sudah lunas, take over dan masih berlangsung utangnya sampai tulisan ini disusun], maka akan familier dengan aplikasi hutang khusus dokter. Salah satu klausul persyaratan yang khas dokter adalah surat izin praktik! Jadi secara sistematik, dokter merupakan target pemasaran untuk pengucuran hutang yang kebanyakan konsumtif bagi industri perbankan.
Yang jadi pertanyaan saya adalah, mengapa kok sampai dokter tidak jarang terlibat dengan kredit macet? Saya yakin bahwa dokter bukanlah orang macam koruptor atau pengemplang uang kelas kakap di negeri ini yang membuat penderitaan banyak orang. Tetapi, saya yakin penyebabnya adalah salah manajemen keuangan. Seringkali dokter tidak menyadari [termasuk saya yang sadar belakangan setelah bertemu dengan dokter Rosyid Ridho] bahwa pembelian properti atau mobil adalah barang konsumtif dan liabilitif. Artinya barang tersebut hanya untuk dikonsumsi, tidak mendatangkan pendapatan tambahan dan merupakan beban keuangan karena menggerogoti pendapatan kita di masa yang akan datang. OK! Rumah bila dijual lagi harganya bisa lebih tinggi, tetapi bukanlah harta yang likuid [bisa cair sewaktu-waktu, dan sulit mendapatkan pembelian rumah yang sudah jadi], demikian pula mobil mungkin relatif likuid [mudah dijual] tetapi nilainya pasti turun.
Sementara bergelimang dengan harta konsumtif [bukan aset yang mendatangkan pendapatan baru] dan berbeban, si dokter berada dalam siklus keluarga dimana kebutuhan biaya pendidikan anak-anak dan kesehatan dirinya makin membengkak. Jadi secara keuangan dokter berada dalam keadaan beban berbeban tambahan. Sehingga wajar, tidak jarang dokter terlibat kredit macet.
Karena itu, dalam hal kinerja finansial, dokter hendaklah berorientasi pada penambahan aset dan pendapatan pasif, bukan penambahan beban barang konsumtif dan liabilitif.

Dokter perempuan mana mungkin bisa kerja di rumah
Beberapa waktu ini ketika menghadiri pelantikan dokter baru periode ke tiga di Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta, saya dibisiki bapak dekan (Prof Subagyo SpA[K]), beliau berkata,”tampaknya kita perlu mengganti nama Fakultas Kedokteran kita, tidak FK Universitas Muhammadiyah Surakarta, tetapi FK Universitas Aisiyah Surakarta”. “Maksudnya Prof?” tanya saya pada beliau. “Lha itu banyak ceweknya daripada cowoknya”. “Ooooo... he he he” kami tertawa bersama.
Yah, fakultas kedokteran saat ini, tampaknya ini berlaku di semua tempat, mulai didominasi oleh cewek. Prosentasenya bahkan hingga mencapai 70 % cewek. Termasuk prestasinya, rentang ranking 1 – 4 sampai 1 – 8 didominasi oleh cewek, baru ranking sesudahnya ada cowok. Tampaknya ini juga berlaku di pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi yang lain.
Saya tidak tahu mengapa ini bisa terjadi. Tetapi yang ingin saya kemukakan di sini adalah memang benar secara akademik perempuan mendominasi ketika kuliah. Keadaan ini berlawanan dengan ketika para dokter perempuan ini meniti karier, mengembangkan wirausaha, hingga mengikuti jenjang pendidikan spesialisasi selanjutnya. Memasuki jenjang pendidikan spesialisasi hingga sub spesialisasi proporsi wanita mulai menurun bahkan beberapa spesialisasi tertentu seperti bedah lebih didominasi pria. Beberapa alasan seperti keterikatan dengan keluarga dan kodrat sebagai wanita seperti hamil, melahirkan, merawat dan membesarkan serta keterlibatan penuh dengan pengasuhan anak merupakan penghambat utama dokter wanita untuk gigih dan fight  sebagaimana teman sejawatnya yang berjenis kelamin pria.
Dalam hal mengembangkan aktivitas kewirausahaan, sebenarnya ini adalah lahan yang paling sesuai bagi para dokter wanita yang sebagian suaminya tidak membolehkan beraktivitas di luar rumah, atau ada keterikatan dengan kodratnya hamil, melahirkan serta merawat dan memberikan pengasuhan yang “sempurna” kepada anak-anak. Di dekat tempat praktik dan tempat tinggal saya, ada contoh sempurna untuk dokter wanita yang mengembangkan wirausaha bidang kedokteran, peran ibu rumah tangga masih bisa dia lakukan, karena klinik 24 jam yang beliau rintis berinduk dari rumah tinggalnya. Nama beliau adalah dokter Isti Widodo, yang juga menjadi nama klinik beliau “klinik 24 jam Isti Widodo”. Tidak hanya klinik 24 jam, ada apotik, ada praktik fisioterapi, dan dia mempekerjakan dokter-dokter pria [termasuk mantan murid saya yang telah lulus menjadi dokter]. Berarti beliau juga menciptakan lapangan pekerjaan bagi dokter, profesi kesehatan lainnya, karyawan non kesehatan dan kesejahteraan pemasok beserta seluruh karyawannya. Luar biasa! Terima kasih dokter Isti....