Kamis, 15 Maret 2012

menantangnya meniti karier sebagai dokter


Saat ini pendidikan dokter membutuhkan waktu 3,5 tahun untuk menyelesaikan gelar Sarjana Kedokteran, dilanjutkan 1,5 tahun pendidikan co-ass, kemudian mengikuti ujian kompetensi dokter baru mendapatkan STR (Surat Tanda Regristrasi) untuk mengurus izin praktik. Kalau seandainya internshipdiberlakukan, maka bertambah waktu 1 tahun penantian untuk baru bisa dianggap sebagai dokter “beneran”. Perjuangan menjadi dokter mulai dari mendapatkan gelar dokter umum dan melanjutkan pendidikan spesialisasi merupakan perjuangan dengan tantangan yang berliku, butuh kesabaran, tahan banting yang tinggi, serta membutuhkan stamina mental, fisik dan keuangan yang tangguh.
Ternyata perjuangan setelah lulus baik dokter umum maupun dokter spesialis bukan pekerjaan mudah seperti yang dikatakan kebanyakan orang semudah membalikkan telapak tangan. Artinya menjadi dokter bukanlah sesuatu pekerjaan yang dilingkupi dengan kemudahan, kelancaran dan ditunjang fasilitas membuat kehidupan dokter menjadi lebih nyaman. Kenyataannya perjuangan agar “survive” tidak jatuh pada kelompok pengangguran intelektual setelah lulus, tidak lebih berat daripada perjuangan untuk mendapatkan gelar dokter umum atau dokter spesialis.
Dua belas tahun yang lalu ketika saya dan istri sama-sama memulai karier sebagai dokter umum, ternyata menegakkan fondasi finansial harus diperjuangkan secara habis-habisan. Orang tua saya adalah seorang petani, tidak mempunyai satu pun relasi dokter yang bisa memberikan rekomendasi untuk masuk di klinik X atau Y. Tidak pula orang tua saya memiliki harta yang berlebih, sehingga saya pada waktu itu ikut saja program PTT selama tiga tahun di daerah terpencil untuk menghemat waktu tunggu agar bisa masuk mendaftar spesialisasi, dengan segala konsekuensi biaya yang harus ditanggung. Sehingga mau tidak mau harus berjuang mati-matian untuk mendapatkan kursi jaga di poliklinik. Waktu itu sudah menjadi keputusan kami berdua [saya dan istri] tidak pergi merantau ke Jakarta, dan memutuskan bagaimana caranya harus bisa bertahan di Solo. Yang kami lakukan adalah mendatangi setiap klinik, rumah sakit, dokter-dokter dosen yang kami anggap dekat dengan mahasiswa, siapa tahu masih ada kebutuhan untuk diisi dokter umum. Kami datangi pula sekolah-sekolah tinggi ilmu kesehatan, akademi perawat, akademi kebidanan, dan sebangsanya, dengan harapan siapa tahu juga saya atau istri bisa mengajar di sana. Perusahaan-perusahaan yang mempunyai karyawan juga kami coba tembusi, sekolah-sekolah pun tidak ketinggalan. Bahkan ketika sedang hunting di sekolah, istri saya sempat mendengar celetukan guru yang berkata “sekarang jadi dokter mulai susah ya mencari kerja”.
Akhirnya dalam satu tahun penantian menunggu turunnya SK penempatan PTT, saya bekerja di klinik 24 jam di Palur Surakarta dengan gaji uang duduk Rp. 5000,- per 8 jam dan tambahan Rp. 1000,- per pasien (tarif ini pada tahun 1999 – 2000). Beberapa bulan berikutnya alhamdulillah, dari teman sejawat yang kerja di klinik tersebut ada informasi lowongan dokter di PKU Jatinom Klaten. Jam kerja di PKU Jatinom Klaten waktu itu terbilang unik, mulai jaga hari Jum’at jam 07.00 WIB berakhir sampai hari Senin jam 07.00 WIB. Untuk klinik 24 jam di Palur Surakarta dalam satu bulan mendapatkan gaji sekitar Rp. 200.000 [jam kerja seminggu sekitar 3 – 4 hari per minggu, 8 jam per harinya], untuk yang dari PKU Jatinom lumayan mendapatkan gaji Rp. 400.000,- sebulannya. Sebagai gambaran perbandingan gaji dokter PTT dari pemerintah pusat waktu itu sebesar Rp. 500.000,- per bulan [gaji karyawan pabrik 450.000,- per bulan]. Selanjutnya, dari teman juga, ada lowongan dokter jaga UGD di RSJ Surakarta dengan gaji Rp. 50.000,- per shift jaga di luar jam kerja pagi [shift jaga per bulan kurang lebih sekitar 3 – 6 kali]. Beberapa waktu kemudian ada tawaran menjadi dokter UKP [Usaha Kesehatan Pondok] di Pondok Pesantren Modern Islam [PPMI] Assalaam Surkarata dengan gaji Rp. 500.000,- perbulan. Saya melepas jaga saya di PKU Jatinom Klaten, karena jarak terlalu jauh [kurang lebih 30 km dari Solo]. Pada saat SK PTT turun satu tahun berikutnya, kami memutuskan mencari kontrakan yang dekat pondok Assalaam. Beberapa pertimbangan mencari kontrakan di daerah dekat pondok Assalaam pertama; sebagian besar karyawan pondok Assalaam [total karyawan pondok Assalaam sekitar 500 orang, saya memperkirakan dua pertiganya tinggal di desa dekat kontrakan kami], kedua; sebagian besar karyawan pondok Assalaam sudah dekat secara pribadi dengan saya, termasuk sudah merasakan kualitas pelayanan dokter yang saya berikan, ketiga; kami memilih lingkungan yang kondusif untuk pendidikan anak-anak kami [kami memilih dekat dengan masjid], keempat; di desa tersebut [desa Gonilan kecamatan Kartasura Sukoharjo Jawa Tengah] belum ada dokter praktik, kelima; desa Gonilan adalah desa agraris, saya memprediksi ada potensi daya beli untuk layanan dokter umum [untuk tarif Rp. 20.000,- per pasien sudah termasuk obat; karena menggunakan sistem dispensing]. Permasalahannya adalah harga kontrakan rumah waktu itu [tahun 2000] Rp. 3.000.000,- per tahun. Pada saat yang sama kami belum banyak mempunyai uang cash. Akhirnya kami memutuskan pinjam uang di BMT Amanah Umat sebesar Rp. 5.000.000,- [terima kasih pak Faisal yang hingga kini masih menjabat sebagai direktur utamanya] dengan perhitungan cicilan pokok diambilkan dari gaji selama kerja di pondok Assalaam, karena kerja mulai 13.00 WIB sampai jam 17.00 WIB [karena gaji PTT baru turun 6 bulan berikutnya; belakangan baru ketahuan ternyata gaji tersebut masuk ke rekening liar dulu selama 6 bulan sebelum didistribusikan ke rekening dokter dan bidan PTT, waktu itu sempat melakukan demo]. Pengalaman menarik ketika pinjam uang sebesar Rp. 5.000.000,- karena tidak mempunyai jaminan, [sepeda motor yang dipakai istri adalah milik mertua BPKB juga atas nama mertua dan disimpan oleh mertua, kami sepakat tidak akan memakainya untuk jaminan], kami melakukan negosiasi dan akhirnya pihak BMT setuju, jaminannya adalah ijazah dokter saya.
Selesai PTT, alhamdulillah utang mulai lunas. Setelah selesai PTT, ternyata perjuangan kemandirian belum berakhir, berarti kehilangan pendapatan rutin sebesar Rp. 1.000.000,- [gaji PTT naik kira-kira setelah setahun menjalani masa PTT]. Karena itu saya dan istri mulai lebih intensif hunting peluang dokter di UKS sekolah. Saya dan istri akhirnya bisa mendapatkan sekitar 7 sekolah, dengan pendapatan bulanan Rp. 200.000,- per bulan per sekolah, sehingga lumayan bisa menggantikan pendapatan yang diperoleh selama PTT. Pencarian klinik 24 jam pun masih terus kami lakukan, akhirnya mendapatkan tempat di Kartasura, waktu itu adalah poliklinik satelit Rumah Sakit YARSIS yang bermitra dengan bidan senior di wilayah itu. Bila mendapatkan shift sore, maka istri yang menjadi dokter pemeriksa di rumah. Kebanyakan shiftyang saya terima adalah shift pagi. Pada saat yang bersamaan, dengan pengalaman selama PTT makin bertambah kenalan dengan orang dan pasien dari Puskesmas tempat PTT, membuat kunjungan pasien di tempat praktik makin banyak. Pada tahun ketiga [bertepatan dengan selesainya PTT] jumlah pasien rutin per hari sudah mencapai 10 – 15 pasien. Terhadap pasien tidak mampu tetap berlaku aturan gratis, dan jumlahnya pun kurang dari 5 %.
Selama praktik, saya termasuk tertib dalam pencatatan rekam medis pasien, rekap nama pasien, obat yang diberikan dan tarifnya, termasuk pasien yang gratis juga ada pencatatannya. Belakangan baru kami rasakan manfaatnya ketika akan pinjam uang di bank, sebagai bukti track record kinerja keuangan tempat praktik, bahwa kita bisa dipercaya diberikan pinjaman. Akhir tahun 2003 kami memutuskan membangun rumah tempat tinggal sendiri sekaligus tempat praktik, karena kenaikan harga kontrakan rumah lebih dari 30 % per tahun. Bila dihitung-hitung antara biaya membayar kontrakan dengan pola kenaikan 30 % per tahun dan mencicil utang KPR [kredit pemilikan rumah] selama sepuluh tahun jatuhnya sama. Setidaknya ada tiga permasalahan yang harus bisa kami pecahkan untuk mendapatkan utang KPR. Pertama, mencari bank yang mau mengucurkan kredit kepada kita [ini bukan pekerjaan mudah, ternyata harus bermuka tebal mendatangi account officer bank satu per satu, ada lebih dari 6 bank yang kami datangi dan yang mempercayai HANYA SATU. Posisi mendatangi bank bukanlah posisi strategis, kita dalam posisi “dicurigai”. Permasalahan mencari mitra pemborong, karena saya dan istri sama sekali tidak paham mengenai masalah per-bangunan. Untungnya, alhamdulillah, karyawati bank yang mempercayai kami, memberikan solusi mitra pemborong. Karena bank butuh jaminan bahwa uang yang dikucurkan benar-benar untuk membangun rumah [baru kami sadari permasalahan bank harus selektif dan bergerak dalam posisi aman karena harga tanah dan bangunan harus setidaknya 30 % lebih tinggi dari uang yang dipinjamkan]. Permasalahan ketiga [terakhir tetapi menentukan] kami mengalami kebingungan untuk mencari uang cash30 juta yang akan digunakan untuk modal awal membeli tanah dan membangun pondasi awal. Uang cash yang kami miliki waktu itu hanya 10 juta, itu pun sudah disiapkan untuk biaya provisi, asuransi kebakaran dan asuransi jiwa yang harus dibayar di muka. Karena pihak bank mensyaratkan bahwa 30 % biaya rumah itu harus ditanggung oleh peminjam KPR. Diskusi demi diskusi terus kami lakukan siang malam, akhirnya memutuskan strategi mendapatkannya dengan mencari pinjaman cashdari sanak keluarga maupun teman-teman, masing-masing orang kami batasi 5 juta rupiah. Alhamdulillah, Allah SWT memberikan jalan keluar, lewat teman dekat [satu perawat dan satu detailler] mendapat pinjaman masing-masing Rp. 5.000.000,-. Dari mantan kepala puskesmas saya, mendapat pinjaman juga sama 5 juta rupiah. Kemudian dari bidan yang bermitra dengan YARSIS tempat saya bekerja juga mendapatkan pinjaman 5 juta rupiah, dari teman ta’mir masjid dekat tempat praktik 5 juta rupiah, terakhir dari pemborongnya sendiri saya dapat dispensasi bisa dicicil 10 juta rupiah sisanya. Orang-orang yang meminjami kami, alhamdulillah, kami senantiasa tetap menjaga silaturahim hingga saat ini dan insya Allah ke depannya [kami mengharuskan diri untuk menjadwalkan silaturahim secara khsusus ketika lebaran kepada 5 orang spesial bagi kehidupan kami tersebut]. Alhamdulillah, Allah SWT memberikan kemudahan, utang-utang di luar bank bisa kami lunasi 6 bulan hingga 1 tahun berikutnya, sembari membayar cicilan utang per bulannya hingga sepuluh tahun mendatang. 

Gambar 6.Fase-fase perjalanan karier saya sebagai dokter umum; tahun-tahun awal perjuangan habis-habisan untuk mendapatkan stabilitas pendapatan keluarga, fase kedua perjuangan untuk lolos dari jebakan tarif sewa rumah/praktik yang tinggi laju kenaikannya [>30% per tahun], fase ketiga saya terjebak dalam liabilitas hingga tahun 2025 [insya Allah tidak sampai, sedang mengusahakan perolehan aset]


Demikianlah, saya sengaja bercerita agak panjang lebar dan detil mengenai sebagian perjuangan kami untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar rumah tangga mulai pendapatan yang memadai untuk kebutuhan sehari-hari, biaya sekolah anak, transportasi, membeli buku [saya termasuk orang yang rakus membaca buku di luar kedokteran], hingga perjuangan keras dan cerdas untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak. Maksud dan tujuannya adalah ingin mendiskripsikan beban dan tantangan yang harus dihadapi oleh dokter-dokter yang hidup di era reformasi [pasca 1998]. Saya yakin banyak kisah-kisah lain yang bisa jadi lebih dramatis oleh teman-teman dokter yang seusia dengan saya daripada cerita yang saya kisahkan. Pada waktu saya baru lulus menjadi dokter umum, jumlah fakultas kedokteran masih berkisar 40an dan pertumbuhan dokter baru berkisar di pusaran angka 4000 – 5000 dokter per tahunnya. Saya membayangkan betapa lebih hebat lagi tantangan dokter produk lulusan 5 tahun terakhir [terutama yang memilih tetap bertahan di Jawa dan daerah dekat perkotaan], dimana pertumbuhan jumlah institusi fakultas kedokteran sudah mencapai 75 fakultas kedokteran [negeri maupun swasta], dengan jumlah lulusan 7000 – 10.000 dokter baru yang terus merangsek dalam kehidupan masyarakat setiap tahunnya. Beberapa waktu yang lalu, saya mendapatkan informasi ketika ngobrol dengan adik kelas yang diterima sebagai PNS dokter umum di kabupaten Klaten Jawa Tengah. Saya bertanya kepadanya, “kemarin yang mendaftar dan ikut seleksi masuk PNS, berapa dokter umum yang hadir dalam ujian itu?” “Ada 38 dokter umum Mas” jawabnya. Kemudian saya bertanya lagi, “yang diterima berapa dokter umum?” “4 dokter umum yang diterima Mas, termasuk saya” jawabnya. Saya berkesimpulan dalam hati, jadi PNS BUKANLAH PELUANG YANG BISA DIHARAPKAN bagi dokter umum yang baru lulus. DOKTER UMUM BARU LULUS HARUS MENCARI PELUANG LAIN SELAIN PNS! Dokter spesialis yang baru lulus pun mempunyai tantangan yang tidak jauh beda. Fokus pencarian kerja bagi dokter spesialis adalah rumah sakit, rujukan sekunder sampai rujukan tersier. Teman saya yang telah lulus menjadi dokter spesialis bedah, harus hunting lintas kabupaten sebelum akhirnya mendapatkan tempat.
Meskipun demikian, kita tetap harus selalu optimis dan berpikir positif. Saya mengamati perkembangan di sekitar rumah tinggal kami, pertumbuhan jumlah perumahan yang terus membengkak di sana sini. Ada permasalahan baru berkaitan dengan perumahan-perumahan baru yang terus bertambah dari tahun ke tahun, setidaknya masalah sampah, saluran air limbah, dan peluang banjir yang jauh lebih besar. Walaupun begitu, tetap saja ada peluang bagi dokter umum yang baru lulus. Apa itu?
Kadang saya berkelakar dengan istri dan staf yang membantu saya dalam satu kesempatan ketika bersama dalam satu mobil dan melewati perumahan baru dengan mengatakan “ini nih.... calon pasien-pasien kita!” ha ha ha. Saya sedikit menganalisa dalam radius 3 – 5 kilometer dari tempat praktik saya, masih layak untuk ditambahi 2 – 3 dokter praktik pribadi seperti saya dengan melihat pertumbuhan perumahan yang mulai merangsek secara pasti menutupi tanah-tanah persawahan di sekitar kami.