Sabtu, 05 Februari 2011

Benarkah RUU Tentang Rokok Merugikan Petani Tembakau?

RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan (RUU PDPTK) yang telah diusulkan oleh anggota DPR periode 2004-2009 belum juga disahkan, hal ini karena mendapat intervensi dari asosiasi petani tembakau Indonesia

Padahal RUU ini dibuat untuk memperjuangkan pengendalian tembakau dalam hal melindungi masyarakat dari adiksi produk tembakau serta para perokok pasif dari ancaman asap rokok di lingkungannya.

Merokok adalah kebiasaan masyarakat yang bisa membahayakan diri sendiri, lingkungan dan juga menyebabkan kecanduan. Risiko kematian akibat kanker paru-paru pada laki-laki yang merokok lebih besar 23 kali sedangkan untuk wanita yang merokok sebesar 13 kali lipat dan sepertiga dari perokok tersebut meninggal dengan rata-rata waktu meninggal 15 tahun lebih cepat dibandingkan yang tidak merokok.

"Bagaimana bisa produk yang begitu berbahaya ini diproduksi, dipromosikan dan juga diperjualbelikan secara bebas. Jadi memang harus ada peraturan yang mengaturnya," ujar Laksmiati A Hanafiah, dari Komnas Pengendalian Tembakau dalam acara diskusi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) 'Mengembalikan Arah Kebijakan Pengendalian Tembakau yang Pro Kesehatan Masyarakat' di sekretariat IDI, Jl dr Sam Ratulangi, Jakarta, Rabu (29/12/2010).

Perempuan yang akrab disapa Mia ini menuturkan bahwa RUU tersebut tidak bermaksud menutup pabrik rokok atau menyengsarakan ratusan petani tembakau. Jadi isu yang menyebutkan bahwa peraturan ini bisa menyengsarakan petani terlalu berlebihan. Tapi RUU ini dibuat untuk melindungi kesehatan orang-orang dari produk berbahaya ini.

Sementara itu dr Hakim Sorimuda Pohan, SpOG yang juga menggagas RUU PDPTK menuturkan ada 6 unsur yang terdapat dalam draft RUU tersebut, yaitu:

1. Meningkatkan biaya cukai sehingga harganya tidak mudah dijangkau oleh masyarakat.
2. Ada dana untuk penanggulangan dampak dari tembakau. Sebagian atau sebesar 10 persen dari biaya cukai ini digunakan untuk menutupi kerugian yang diderita masyarakat misalnya melalui promosi, penyuluhan, klinik konsultasi dan juga konselor untuk membantu berhenti merokok.
3. Ada aturan yang menyebutkan bahwa anak-anak di bawah usia 18 tahun dilarang membeli rokok, baik untuk dirinya sendiri atau untuk orangtuanya.
4. Ada kawasan yang memang ditetapkan sebagai daerah tanpa rokok, karena merokok bukan termasuk dalam hak asasi manusia.
5. Adanya larangan untuk promosi produk rokok, sebagai sponsor suatu acara atau periklanan.
6. Adanya peringatan mengenai bahaya rokok yang tidak hanya berupa tulisan, namun dalam bentuk gambar. Hal ini untuk melindungi orang-orang yang mulai mencoba merokok.


Saat ini kata dr Hakim industri rokok semakin terang-terangan melakukan gerilya dengan cara membantu dana untuk sidang-sidang RUU tersebut, yang isinya sudah diolah sehingga tidak lagi melindungi kesehatan melainkan untuk kepentingan industri rokok.

"Kalau ingin melindungi para petani tembakau maka harus menutup impor tembakau karena selama ini tembakau diimpor dari luar seperti dari China. Dan yang membuat para petani sengsara sebenarnya para industri rokok, karena petani tidak bisa menjual tembakaunya selain ke industri tersebut," ujar dr Kartono Mohammad.

Karenanya Ketua PB IDI dr Prijo Sidipratomo, SpRad(K) mendesak pemerintah untuk segera membahas RUU PDPTK yang pro kesehatan masyarakat untuk memenuhi hak asasi manusia dan melindungi masyarakat dari kerusakan kesehatan, sosial dan lingkungan akibat konsumsi produk tembakau dan paparan asap rokok.