Selasa, 12 Januari 2010

Dokter Spesialis Kulit Arthalyta a.k.a Ayin

Hari ini saya dongkol sekali, apa pasal ? bukan karena ujian perbaikan yang gagal hingga saya harus mengambil lagi mata kuliah pengantar biokimia semester depan bukan itu kawan tapi karena judul berita kompas hari ini di pojok kanan bawah :
“Arthalyta Sedang Dirawat Wajahnya oleh Dokter Spesialis”
pada harian lain dinyatakan sebagai dokter spesialis kulit sementara yang lain ada yang menyebut pengobatan gigi.
sebelum lanjut perlu saya beritahu bahwa pemberitaan di media perlu di sikapi dengan bijak karena di era ini tidak ada berita yang berimbang, pemberitaan berimbang dan cover both side sudah kadaluarsa. Ideologi yang dianut saat ini adalah keberpihakan, jadi selalu yang saya pegang adalah jangan mengambil keputusan atau pendirian semata atas informasi media semata, do your own research !!
Pengistimewaan Ayin di Rutan Pondok Bambu rasanya tidak bisa dibantah lagi, ibarat hardisk, para petugas Lapas dan mungkin pejabat diatasnya  sudah pasti mengandung bad sector dan file-file yang corrupt. Sesuai judul, yang ingin saya bicarakan adalah keterlibatan seorang dokter spesialis kulit yang konon sedang memberikan perawatan kecantikan pada Ayin.

sejujurnya saya merasa ada yang salah dengan skenario diatas, mari kita telaah perlahan-lahan. disini ada seorang dokter spesialis memberikan terapi yang merupakan bagian dari kewenangannya ( ini masih dapat diperdebatkan sih ) pada pasien/klien yang kebetulan adalah seorang narapidana.
dari sudut klien yang memang prakondisinya sudah mendapat pengistimewaan kita bisa faham bila ia dapat mengabaikan pelayanan yang diberikan dokter Rutan setempat dan memilih berobat ke dokter lain sekehendak hatinya. dari sudut dokter kita perlu melihat regulasi yang terkait hak-hak napi serta UU praktik kedokteran, sebatas yang saya ketahui narapidana tentu sudah dijamin hak mendapat pelayanan kesehatannya dari dokter Rutan dengan biaya negara, meski saya rasa perawatan kecantikan tidak termasuk terapi yang dicover oleh anggaran Rutan. Saya juga ragu apakah perawatan kecantikan juga termasuk pelayanan rujukan, tapi kalau panggilan rumah memang dibolehkan dan merupakan praktik biasa pada kegiatan sehari-hari di klinik.
katakanlah pelanggaran regulasi Rutan yang dilakukan klien sudah sesuai dengan prakondisi yang ada, katakanlah perawatan kecantikan memang kewenanganan yang bersangkutan, memenuhi panggilan ke Rutan juga dapat dimaklumi untuk seorang dokter tingkat sekunder/tersier, yang menjadi masalah adalah :  kenapa kok mau ? kenapa sejawat tersebut mau memberikan pelayanan pada seorang napi dengan prakondisi diatas ? bisa saja dijawab  dengan jawaban apologetik : “ ya iya lah pastinya kan dapet duit, siapa si yang gak mau” ; rekan sejawat PPDS saya menjawab : “namanya ada yang butuh pertolongan, ya dosa kalau gak ditolong”
kedua jawaban ini saya rasa mewakili kedua titik ekstrem dari serangkaian spektrum jawaban. kita tidak tahu apa yang ada dalam kepala sejawat tersebut serta pertimbangan yang diambilnya dan kondisi alam perasaan, keuangan, dan keluarga yang melingkupinya hingga dapat memberikan penilaian yang adil. Saya tidak tahu itu semua jadi baiknya kita sampaikan saja diagnosis terburuk yang mungkin, agar dapat dilakukan pemeriksaan  penunjang untuk menyingkirkan atau malah memastikan.
Jangan sampai yang terjadi adalah berikut : praktik ini dapat terjadi karena kebiasaan dokter kita yang dengan mudah mengabaikan peraturan yang berlaku seperti pembatasan 3 tempat praktek, praktek tanpa SIP, tindakan diluar kewenangan, pengobatan tidak rasional dan overmedikasi, kolusi dengan farmasi, menjual surat sakit dan lain-lain dosa kedokteran yang kebanyakan bermuara pada uang, disini berlaku hukum ekonomi permintaan-penawaran, serta prinsip pemaksimalan keuntungan dengan ongkos produksi serendah mungkin.
dengan demikian telah terjadi moral hazard sedemikian rupa hingga tanpa sadar hubungan dokter-pasien telah berubah menjadi suatu hubungan bisnis, bila demikian yang terjadi pelayanan yang diberikan tidak beda dengan TV Plasma, AC, Karaoke set, Sofa kulit, dan lain-lain, bahkan pedagang elektronik jadi tampak lebih bermartabat daripada dokter, TV plasma yang dibeli tidak pernah diketahuinya akan ditaruh dimana, bahkan mungkin dia tidak tahu dibeli oleh siapa sebenarnya, tapi dokter itu jelas-jelas mengerti betul dengan siapa dia berhadapan dan melihat dengan ke kedua bola matanya dimana dan bagaimana kondisi ruangan tempatnya memberikan pelayanan.
Adakah problema atau dilema etik dalam hal ini? adakah kaidah dasar bioetik yang dilanggar Justice ? Beneficience ? Autonomy? (satu lagi apa ya ?) saya tidak tahu pasti tapi nurani saya berkata ada yang salah disini, dan satu hal yang jelas bagi saya pada banyak situasi pelayanan kesehatan sudah jatuh menjadi barang mewah yang hanya dapat diakses  oleh sebagian kalangan menengah atas yang gagal untuk mengerti bahwa there are things that money can’t buy….