Selasa, 21 Oktober 2008

Hak Dasar Kehayatan Sebuah Komentar

Beberapa hari yang lalu membaca tulisan yang amat menarik di Rubrik Resonansi harian republika, saya kutipkan di bawah, tulisan oleh Ahmad Tohari (kalau tidak salah) silahkan menyimak....

Ini keluhan seorang perempuan usia hampir 40 tahun dan belum menikah. Mungkin, keluhan itu sudah didengar oleh banyak orang sebelum akhirnya sampai ke telinga saya. Begini. perempuan itu menyesali dirinya mengapa belum juga bertemu jodoh. Padahal, dia sudah puluhan tahun mengharapkannya. Dalam keluhan itu, dia bilang bahwa dirinya sehat lahir batin, secara fisik tak kurang suatu apa, berpendidikan baik, masih punya orang tua lengkap, dan berpenghasilan tetap pula. "Saya memang punya penampilan biasa-biasa saja, tidak rupawan. Apakah ini penyebabnya?"

Saya dengar keluhan perempuan itu tidak hanya berhenti di sini. Dia, konon, juga mempertanyakan hak-hak dasar kehayatannya. Kurang lebihnya, dia bertanya, bila para perempuan bersuami bisa mendapat hak-hak dasar kehayatan mereka: punya anak, menyusui, dan seterusnya, sementara dia malah menderita dalam kesendirian. Siapa yang bertanggung jawab? Atau, kehidupan ini memang tidak adil?

Meskipun saya tidak mengenal langsung perempuan itu, keluhannya cukup lama menjadi bahan perenungan. Ya, rasanya keluhan panjang itu bisa dimengerti karena hak kehayatan dia sama dengan perempuan lain yang berumah tangga. Lain halnya bila perempuan itu dengan sukarela melepaskan hak-hak dasarnya tadi. Dan, perempuan (juga lelaki) yang seperti ini pasti amat sedikit jumlahnya. Belum lagi, bila diingat, menikah adalah sunah Nabi.Saya makin tercenung ketika mendengar bahwa perempuan itu melanjutkan keluhannya dengan bertanya, mengapa nilai-nilai agama dan budaya bisa menghambat dirinya mendapat hak-hak dasar kehayatan?

Pertanyaan terakhir ini amat menohok. Dan, saya berharap bukan hanya saya yang merasakan tohokan itu. Sebab, terasa ada kebenaran dalam keluhan perempuan itu. Bahkan, tohokan itu juga menuding kita yang telah mengabaikan 'kefakiran' serius yang sedang diderita oleh seorang Muslimah seperti dia.

Ambillah pengandaian bila perempuan tadi terpaksa menempuh caranya sendiri untuk mendapatkan hak-hak dasar kehayatan itu. Maka, kita paling-paling akan mengutuknya. Dan, kita tidak sadar telah bersalah mengabaikan kefakiran dia, yakni kefakiran yang bisa melebihi seriusnya kelaparan fisik. Bahkan, kefakiran jenis ini bukan monopoli perempuan. Tidak sedikit lelaki dewasa di sekitar kita yang telah cukup syarat, namun karena suatu hal, dia terhambat untuk menikah. Dan, lagi-lagi, bila lelaki itu suka ngeluyur, kita pun hanya akan mengutuknya.

Uraian ini sudah jelas arahnya. Yakni, pertanyaan mengapa kita kurang perhatian terhadap sesama yang menderita kefakiran akibat tidak terwujudnya hak-hak dasar biologis mereka? Bila kefakiran dalam hal materi sudah mendapat perhatian, mengapa kefakiran jenis terakhir ini diabaikan?

Saya kira, sudah saatnya kita membangun kesadaran terhadap kefakiran yang nyata dan lumayan masif ini di tengah kita. Maka, diharapkan kelompok-kelompok pengajian, lembaga masjid, dan organisasi-organisasi keagamaan yang besar segera bertindak. Dalam ukuran kecil pun, setiap pribadi Muslim atau Muslimah bisa menjadi mak comblang, menolong "orang-orang fakir" ini, membantu teman atau saudara menemukan jodoh. Saya percaya, menolong si fakir jenis ini pahalanya tidak kalah besar dengan menolong fakir lapar.

NU dan Muhammadiyah jangan biarkan warganya terpaksa mengiklankan diri di koran untuk mencari jodoh. Bahkan, lebih baik lagi bila biro jodoh, atau apalah namanya, milik NU dan Muhammadiyah bisa membantu siapa saja untuk mendapat hak-hak dasar kehayatan secara sah dan benar. Dengan demikian, tidak ada lagi keluhan bahwa dalam hal mendapat hak-hak dasar kehayatan, kehidupan ini tidak adil. Juga, tidak ada lagi pertanyaan yang sangat menyengat, mengapa nilai-nilai budaya dan agama bisa menghambat orang untuk memperoleh hak-hak dasar kehayatan.

Saya kira kita banyak melihat kasus seperti perempuan diatas, mungkin keluarga dan famili kita sendiri atau teman-teman disekitar kita, ini adalah masalah yang nyata. Menarik sekali bagi saya bahwa ternyata tidak kita sadari bahwa setiap manusia juga berhak menjalani hidup yang penuh - living a full life a marriage life- selain memiliki hak untuk hidup dan hak-hak reproduksi yang banyak di bicarakan.

hak untuk sebuah kehidupan dengan pasangannya dalam sebuah ikatan pernikahan, hak untuk mengandung seorang anak bagi sang istri dan hak untuk menimang dan membesarkan anak mereka. hak yang mungkin terabaikan karena kehidupan pernikahan dalam peradaban barat saat ini sudah amat menyedihkan. memang hak ini tidak otomatis akan membawa kebahagiaan bila seandainya terpenuhi, sebagian bahkan menyadari bahwa dirinya berpotensi menghadapi penderitaan seumur hidup, namun ia juga memiliki kesempatan yang sama mendapat kebahagiaan seperti menjalani kehidupan itu sendiri yang kata orang- seperti di meja Roulette.

Sebagian individu yang belum mendapatkan haknya ini selama banyak menyandarkan nasibnya ini pada ketentuan Sang Pencipta yang mana memang menguasai urusan perjodohan ini. Saya yakin pasti mereka sudah berusaha semampu mereka dan dalam usaha ini pun mereka dibatasi aturan-aturan syariat yang mengatur hubungan dan pergaulan antara lelaki dan perempuan, sebagian ada yang mengabaikan aturan syariat ini karena ketidaktahuan atau semata kesombongan belaka namun pada dasarnya mereka merasakan hal yang sama yaitu dorongan fitrah mencari pasangannya masing-masing.

yang jelas saya sepakat dengan kutipan diatas bahwa sejatinya belum terpenuhinya hak dasar kehayatan pada anggota masyarakat adalah tanggung jawab masyarakat, bukan sekedar tanggung jawab individu tersebut semata, semakin dimengerti bahwa kebiasaan orang tua zaman dahulu yang menjodohkan anaknya bukanlah kesewenang-wenangan namun bagian dari kebijaksanaan dalam kehidupan. Kita sebagai orang tua dan sebagai anggota masyarakat harus berusaha menjadi jalan terciptanya perjodohan yang dinanti-nantikan, bukan kah itu rezeki juga, mereka mendapatkannya karena pintu-pintu dan keran-keran rezeki yang kita buka.

mencarikan jodoh yang baik untuk anak kita, berpedoman pada sunnah rasul saat ada lelaki yang datang melamar, meringankan mahar, menyederhanakan prosesi pernikahan dan banyak lagi yang bisa kita lakukan. di lain pihak mereka yang saat ini masih mencari pasangannya agar menggunakan standar rasul dalam hal ini lihatlah agamanya dahulu sebelum yang lain, dan jangan terjebak pada aspek fisik semata, kebetulan saya habis nonton film "Mongol" ternyata bagi suku-suku mongol istri yang ideal bukan lah yang berkulit putih, ramping dst tapi yang kakinya besar, wajahnya bulat dst, intinya semua standar fisik ini adalah semu, standar yang kita pakai sekarang semata adalah cara pandang peradaban barat yang sedang dominan dalam kehidupan kita saat ini.

Banyak anak muda sekarang juga sedemikian mengagungkan Cinta, mereka mencari cinta sejatinya atau soul mate-nya, alhasil mereka terlambat menikah bahkan menghalangi tepenuhinya hak dasar orang lain. saya katakan pada mereka cinta jangan dicari, tapi ciptakan cinta dalam kehidupan anda, ini hanya bisa dilakukan bila anda percaya cinta sejati hanya milik Allah swt semata, dan Allah pun akan melihat cinta yang anda upayakan tersebut dan InsyaAllah memberkahinya dengan segala kebaikan di dunia yang sesaat dan membalasnya dengan Syurga di akhirat yang abadi

Ada kebiasaan lain yang juga menghambat terpenuhinya hak tersebut, opini anti poligami ! Ibu-Ibu yang telah bersuami tentunya mudah saja mengambil opini ini, namun penolakan dan kampaye yang masif terhadap opini ini sudah menciptakan dinding sosial, dan pelanggarnya akan menjadi bulan-bulanan masyakarat.

ah saya sudah bicara panjang lebar, terakhir memang sudah seharusnya dan menjadi tanggung jawab pula agar setiap keluarga, organisasi agama dan organ masyarakat lainnya menjadikan masalah ini sebagai salah satu fokus programnya, karena bersamaan dengan terabaikannya satu hak maka kita telah menbiarkan terjadinya satu kezaliman yang lain.