Minggu, 07 Desember 2008

Retorika Islam Dalam Kecaman!


Sebelum kita lebih jauh membahas tentang tema di atas, mungkin ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu makna dan defenisi retorika islam. Di dalam buku Retorika Modern karangan Jalaluddin Rahmat secara tersirat di gambarkan bahwa retorika adalah keterampilan berbicara, mengolah kata, dan bertutur untuk meyakinkan pendengar sehingga misi dan visi dari orang yang beretorika tersampaikan.

Meluas pada istilah retorika islam, DR Yusuf Al Qaradhawy dalam buku Khitabuna Fi Al Ashr memberikan defenisi tersendiri, yaitu ; pesan yang disampaikan atas nama islam kepada sekalian manusia; orang muslim atau nonmuslim, untuk mengajak mereka kepada islam, atau mengajarkan keislaman, dan mendidik mereka untuk memahami akidah, syariah, ibadah, muamalah, serta pemikiran dan tingkah laku. Atau juga menjelaskan posisi Islam terhadap problematika kehidupan; manusia dan dunia, individu maupun kelompok, spiritual maupun material, dan teori maupun praktik.

Tragedi WTC, Momentum Pemberangusan

Semenjak tragedi WTC tahun 2001 lalu, Amerika Serikat (global cop state) seolah-olah menjadi pahlawan kesiangan yang menghakimi setiap pihak yang dianggap terdakwa dengan berbagai justifikasi yang mereka klaim sepihak. Dua Negara telah menjadi korban tuduhan naïf dari “sang penguasa dunia” ini, yaitu Irak dan Afghanistan. Osama bin Laden serta Saddam Hussein adalah maskot yang oleh Amerika dikampanyekan sebagai penjahat (bad boy) dan Amerikalah yang bertugas untuk menjadi “super hero”pembasmi kejahatan.
”Anda bersama kami atau anda bersama teroris!” Sebuah slogan paling tragis yang pernah dikeluarkan oleh seorang kepala negara sebesar Amerika Serikat. Mengapa? Karena sebelum pernyataan itu dikeluarkan tidak didahului dengan penjelasan defenitif lagi obyektif tentang ; apakah terorisme itu, siapakah pelakunya, apa sangsinya, bagaimana prosedur penanganannya, dan seterusnya. Maka sampai saat ini yang timbul adalah interpretasi rancu dan kontradiktif.

Di satu sisi AS menggempur Irak dan Afghanistan dikarenakan kedua negara ini tidak mematuhi resolusi PBB yang jumlahnya tidak seberapa. Sedangkan ketika lebih banyak resolusi dikeluarkan oleh PBB untuk agresi Israel ke negara-negara tetangganya maka Amerika kemudian tiba-tiba menjadi ”pendiam”. Bahkan terkadang, untuk menolong ”rekannya” itu mereka menggunakan jatah hak veto untuk membatalkan sangsi yang akan dikeluarkan oleh PBB.

Amerika Mengecam Retorika Islam
Sebuah realitas yang gamblang tersaji di depan kita, ketika Amerika dan sekutunya (baca : Australia dan Inggris) membantah mati-matian bahwa perang yang mereka lakukan saat ini bukanlah melawan agama atau ideologi tertentu. Paradoks dengan pernyataan itu, di satu sisi mereka (Amerika dan sekutunya) menekan pemerintah negara-negara muslim untuk meninjau dan mengkaji ulang mulai dari sistem pemerintahan sampai dengan sistem pendidikan. Mereka menuntut agar kaum muslimin merevisi kembali retorika dasar yang telah mendarah daging semenjak zaman Rasulullah SAW.

Bolehkah retorika islam berubah?
Apakah retorika islam berubah dari masa ke masa? Apakah retorika islam di akhir abad 14 Hijriyah (sekarang) berbeda dengan retorika di zaman Rasulullah SAW? Bukankah agama sebagai sumber retorika tidak berubah (baku)? Jawabannya adalah, agama Islam memang tidak berubah dalam pokok yaitu; akidah, ibadah, akhlak, dan hukum syariatnya.
Tetapi hal hal-hal yang boleh berubah dan di koreksi ulang adalah ; peninjauan ulang strategi dakwah, ijtihad-ijtihad yang tidak membumi, metode penyampaian islam, penertiban skala prioritas, cara pandang dan interaksi. Tapi sekali lagi yang perlu dicatat dalam koreksi ini adalah berlakunya standar baku yang tidak berubah-ubah karena perubahan waktu dan tempat. Salah satu contoh standar baku itu adalah tidak berkompromi dalam masalah yang telah disepakati kaum muslimin seperti ; haramnya meminum alkohol, haramnya wanita memimpin shalat pria, haramnya zina dan lain sebagainya.

Retorika islam yang boleh berubah adalah hal-hal yang tidak masuk dalam standar baku. Contoh yang paling elegan adalah mengganti penyebutan istilah ”kafir” kepada orang-orang di luar islam yang relatif berkonotasi kasar, dengan menggunakan istilah yang lebih halus lagi seperti ”non muslim”. Dalam Al Qur’an sendiri, mengajarkan agar kaum muslimin tidak sering menggunakan panggilan kafir kepada orang-orang yang tidak menganut islam. Seruan Al Qur’an terhadap manusia yang tidak beriman adalah ; hai manusia, hai bani Adam, hai hamba-hambaKu, atau hai ahli kitab. Seruan dengan menggunakan istilah kafir hanya terdapat dalam dua ayat ”saja” yaitu pada ; Surat At Tahrim dan Surat Al Kafirun. Perubahan retorika seperti di atas tidak menyalahi kaidah dasar, apalagi jika sesuai dengan realitas kekinian umat manusia serta bebas dari tekanan ”pihak luar”.

Argumen perubahan retorika islam

Di dalam sejarah islam, perubahan retorika bukanlah hal yang baru. Hal tersebut telah dilakukan jauh-jauh hari oleh generasi awal islam. Khalifah Umar bin Khattab RA pernah mengubah istilah jizyah (semacam pajak perlindungan) yang menimbulkan ketersinggungan buat ahlu dzimmah (penganut agama di luar islam yang berada di bawah perlindungan pemerintah muslim).

Argumen selanjutnya atas perubahan retorika selain perbuatan Umar RA adalah Al Qur’an itu sendiri. Kita melihat retorika ayat Al Qur’an yang turun di Makkah berbeda dengan retorika ayat Al Qur’an yang turun di Madinah. Hal ini bukanlah sesuatu yang asing dan baru (baca : bid’ah) buat orang-orang yang mendalami ilmu Al Qur’an. Secara global, pokok-pokok bahasan ayat Al Qur’an yang turun di Makkah sangat berbeda dengan yang turun di Madinah. Demikian pula dengan gaya bahasa yang digunakan.

Kelemahan retorika islam saat ini
Akan tetapi, ada fenomena yang patut disayangkan dari segelintir penyeru agama islam. Keluwesan merubah dan berkreasi menyampaikan islam, terkadang tidak digunakan sebagaimana mestinya. Sebagian dari para da’i islam (walaupun tidak seluruhnya) masih kaku dan cenderung apatis dengan realita global saat ini.

Ada beberapa da’i yang menyerukan permasalahan yang tidak terlalu mendesak, berlebih-lebihan dalam hal-hal yang sunnah, kemudian mengabaikan prioritas yang wajib. Sebagai contoh, sibuk mengurus cadar karena tidak puas dengan jilbab, bahkan mengatakan dosa atas wanita yang hanya mengenakan jilbab. Padahal, yang dipertontonkan kepada kita saat ini bukan hanya sekedar membuka wajah, tetapi membuka kepala, pundak, dada, tangan, dan betis.

Seharusnya para da’i ini menyadari urgensi dari fiqh aulawiyat (fiqh prioritas). Menyerang dan mengecam permasalahan yang tidak terlalu substantif justru akan mendatangkan fitnah buat agama islam itu sendiri. Mempermasalahkan jenggot, kain di atas mata kaki, cadar, haram halalnya musik bukanlah permasalahan utama yang dihadapi oleh kaum muslimin. Akan tetapi permasalahan yang paling mendesak adalah ; klarifikasi terorisme dalam islam, kemuliaan peran wanita dalam islam, keadilan dan persamaan, berlaku jujur (tidak korupsi), akhlak yang mulia, itulah beberapa contoh ”masalah” yang perlu kita perhatikan.

Mengapa hanya retorika islam ?
Diatas telah dijelaskan tentang kecaman serta tuntutan Amerika dan sekutunya agar umat muslim meninjau ulang retorika keberagamaannya. Tetapi hal yang jarang ditanggapi oleh masyarakat dunia adalah tuntutan agar mereka (yang mengkritisi islam) juga mengubah retorika mereka sendiri terhadap islam.

Kenapa hanya kaum muslimin saja yang terus-menerus dikecam ajaran dan doktrin keagamaannya? Kenapa Amerika tidak mengoreksi Yahudi yang menginvasi negara tetangganya? Dan membantai ratusan penduduk Lebanon dan ribuan warga Palestina? Kenapa mereka tidak meninjau kembali pandangan dan kebijakan yang mendorong mereka untuk melegitimasi permusuhan terhadap islam? Mengapa hanya kaum muslimin?
Kita berharap agar orang-orang yang mengecam serta menuntut revisi dan peninjauan ulang terhadap retorika agama dari kaum muslimin, agar mereka juga mengarahkan tuntutan serupa kepada orang-orang yang mengobok-obok islam (doktrinnya, tanah airnya dan penganutnya). Inilah tuntutan keadilan dan persamaan dari pihak-pihak yang berselisih selayaknya hukum universal yang telah disepakati bersama.

Tulisan ini bukanlah seruan anti semit atau anti barat, karena yang di benci bukanlah golongan, ras atau agamanya. Tetapi yang di kecam adalah pembantaian, terorisme, ketidakadilan dalam interaksi antara satu manusia dan manusia yang lain. Siapapun dia, dari agama, suku, atau golongan apapun. Selama dia membuat dunia menjadi tidak tenteram dan aman dengan perilakunya, maka dia adalah musuh bersama umat islam dan umat manusia sedunia.
Wallahu ’Alamu Bisshowab....