Rabu, 24 Desember 2008

Cinta itu Asa


Bu En terbaring lemah di bed. Infus terpasang di tangan kanannya, ia terlihat sesak yang karenanya sebuah kanul oksigen bertengger di lobang hidungnya. Dia letih, pucat dan sembab. Bu En adalah pasien Gagal Ginjal Kronik yang sudah tiga hari mondok di RSIAM Taman Puring. Perawat meminta Dokter Hasan untuk 'melihatnya' dan membujuk untuk bersedia menjalani hemodialisis sebagai jalan terapi satu-satunya. ia sudah 5 bulan didiagnosa GGK dan telah dianjurkan untuk menjalani Hemodialisis oleh dokter-dokter ahli yang merawatnya, namun alih-alih bersedia yang terjadi justru ia menolak dan kondisinya semakin buruk. Berbagai upaya telah ditempuh suami dan keluarga agar Bu En mau di-HD, termasuk mendatangkan temannya yang pernah mengalami penyakit dan terapi serupa. saudara iparnya yang perawat di RS PELNI pun telah kehabisan usaha. Nah, dr Iman ahli hipertensi dan nefrologi di RSIAMTP yang sekarang merawat BU En juga menganjurkannya menjalani HD sebab kadar Ureum, Creatininnya telah jauh melebihi batas, ia hanya bisa kencing 10cc padahal telah diberi Lasix 2x3 ampul. Badannya semakin sembab dan pucat. Perawat ruangan meminta Dokter Hasan melakukan tugas yang asing: memotivasi Bu En!
Selesai mengenalkan diri, Dokter Hasan memulai obrolan dengan beberapa pertanyaan seputar keadaan si ibu saat ini. Bu En berumur 40 tahun, bekerja di sebuah BUMN dan memilki seorang anakperempuan berumur 8 tahun. Entah sengaja untuk menutupi kepucatannya, bibirnya berpoles lipstik. Namun kelopak matanya tak mampu menyembunyikana anemia yang ia derita. Nafasnya terlihat payah, pikirannya acap terlihat kosong.
Setelah melihat si ibu, Dokter Hasan mengajak suaminya bicara di ruang perawat dan menanyakan beberapa informasi seputar sakit sang istri dan sejauh mana usaha yang telah ditempuh. Agaknya sang suami yang terlihat lebih muda 5 tahun dari Bu En itu sudah pasrah juga tidak tahu harus bagaimana memotivasi sang istri tercintanya. matanya berkaca-kaca saat bekata,"Akhirnya saya harus berdiri di pihak istri saya, karena yang ia butuhkan kini hanyalah dukungan. Semua orang, para dokter dan saudar-saudaranya mengeroyoknya dengan bujukan untuk HD tapi bagaiman ia sendiri tidak mau? Saya harus ada di sisinya, di pihaknya dan berhenti menyinggung masalah HD ini"
"Saya faham," kata Dokter Hasan kalem. Ia dari tadi lebih banyak mendengar dan mengikuti alur fikiran sang suami. Ia sedang memberikan empati. Matanya menyelami apa yang dirasakan sang suami. Beberapa kali kontak mata yang dalam terjadi antara Dokter Hasan dengan suami Bu En. "Kalau sudah begitu banyak termasuk para dokter ahli menjelaskan ke ibu dan membujuk untuk HD tapi tak berhasil Kira-kira siapa menurut Bapak yang bisa melakukannya ya? Ada orang yang bisa ia percaya?"
Sekali lagi Dokter Hasan menatap suami Bu En. Bertanya-tanya. Prihatin.
Suami Bu En mengelap matanya, lalu berkata, "Kelihatannya dokter bisa?"
Dokter Hasan terdiam. Orang ini memberikan kepercayaan kepadanya. Orang ini berharap darinya. apakah aku terlihat mampu? pakah karena tidak ada orang lain lagi? Ataukah ia hanya trial and error? Dokter Hasan tersenyum, "Saya akan coba..."
Dokter Hasan kembali mengetuk pintu kamar rawat Bu En, sebuah kamar kelas 2 yang lumayan nyaman. Bu En masih seperti tadi. Dan mungkin masih seperti 5 bulan yang lalu. Begitulah hari-harinya. Kosong, sembab dan memucat.
Dengan pakaian batik sehabis kondangan siangnya, Dokter Hasan tidak seperti seorang dokter. Barangkali ini menguntungkan, karena ia sudah menyingkirkan bayang-bayang seram seorang dokter yang menjatuhinya vonis mengerikan ini: gagal ginjal, penyakit tak tersembuhkan!
Sang dokter tampil lebih rileks. Ia duduk lebih dekat kearah Bu En. Di ruang itu ada dia, Bu En, ibunda Bu En dan Ve, anak gadisnya yang manis berumur 8 tahun. "Saya sudah bicara dengan suami Ibu. Saya memahami perasaan ibu. Saya sekarang ada di sebelah Bu En untuk mendengar langsung dari ibu, kenapa ibu tidak mau cuci darah?"
Bu En berhenti mengamati baju batik sang dokter. Fokus matanya melambung ke sebuah titik, jauh dari ruang kami bicara. Di titik entah. Biarkan ia senyap. Kadang senyap berguna. Ia jadi punya kesempatan untuk menjawab pertanyaan dengan sadar. Dengan sangat sadar.
"Takut." jawabnya tanpa ekspresi. Dan hampir tak terdengar.
"Ya. Takut,semua orang pasti takut sakit. Takut menjalani pengobatan yang belum pernah dilakoni. Tapi apa yang Bu En takutkan?"
Seperti tadi, perlu waktu beberapa puluh detik untuk menunggu jawaban dari bibir pucat berlipstik itu. Dan jawabannya hanya: "Sakit.." Sedatar dan sepelan yang pertama.
Lantas mulailah dokter yang masih muda itu berkisah apa itu Gagal Ginjal Kronik, bagaimana hemodialisis itu dikerjakan, apa akibatnya kalau dibiarkan, kisah-kisah penderita GGk yang sukses menjalani hidup dengan wajar, tentang harapan, tentang peran Allah dalam sakit seseorang dan kesembuhannya. Tentang cinta, tentang asa. sesekali ia menyentuh kaki si ibu yang terbalut selimut tebal. Ia percaya sentuhan mengalirkan kedekatan, menembus sekat, membuka pintu percaya. Kata-kata yang ia pilih adalah kata-kata penuh harapan. Nadanya diuntai selembut cinta.
"Ibu masih muda. Lihat nih anak ibu yang manis, kepengin dia lihat mamanya sehat. Jalan-jalan bareng. Ibu juga punya orang tua yang perhatian banget nungguin di RS..." tangan dokter Hasan menepuk-nepuk bahu Ve, anak Bu En itu.
Saat itulah, sekelebat dokter Hasan menangkap ada kilat di mata Bu en, tidak selayu tadi. Agaknya Bu En mulai percaya pada sang dokter pengisah. (Dokter ini bukan orang asing, lihatlah ia merangkul anakku. Ia tidak memandangku seperti pasien biasa. Tiba-tiba ia seperti orang yang sudah lama kukenal. Sepertinya tak salah kalau aku menuruti yang ia katakan..)
Dokter Hasan terus berkisah dengan sehati-hati mungkin, jangan sampai kepercayaan yang ia bangun roboh dengan sekali salah ucap. Ia masih meneruskan cerita-ceritanya. Masih berusaha menghadirkan asa dari cinta orang-orang terdekat Bu En. Tidak mudah membangun rasa percaya. Tidak mudah membangun kepercayaan diri Bu En yang sudah terlanjur putus asa. Antara yakin dan tidak yakin akan kemampuan dirinya, dokter Hasan terus mendekati sebuah titik: titik kepercayaan itu. Titik bernama kuncup asa.
Perlu waktu setengah jam untuk sampai kepada sebuah pernyataan yang telah ditunggu-tunggu selama 5 bulan. Ketika dengan suara yang masih lemah namun tidak terlalu datar:"Baiklah, saya pasrah.."
"Bagaimana, Bu En? Jadi mau ya cuci darah?
Ia mengangguk.
Ibunda Bu En menangis haru. Ia merangkul Dokter Hasan sambil tak henti-hentinya mengucap terima kasih dan alhamdulillah. Dokter Hasan menjabat tangan Bu En, memastikan dirinya akan turut mendoakan bagi kesembuhannya.
Di luar kamar, suami Bu En dan keluarganya berbahagia menemukan sebuah harapan tumbuh pada Bu En. Sore yang gerimis itu beberapa orang berbahagia. Sebahagia hati dokter Hasan.

NB: ketika menulis ini saya teringat ketika dokter Linda Yaunin SpKJ, dosen saya
dulu mendekati pasiennya seorang gadis yang mencoba bunuh diri (tentamen suicide). Secara tak sadar, tokoh dokter Hasan sedang mengadopsi gaya beliau. terima kasih, dokter Linda.