Sabtu, 10 Oktober 2009

Care bangsa kita yang memprihatinkan

Care atau peduli sesama, tampaknya mulai luntur dalam budaya kontemporer kita dewasa ini. Beberapa yang lalu saat hari raya kemarin, kami sekeluarga istirahat di suatu rumah makan, pada saat jam makan siang dan jam sholat dzuhur. Kami memesan makanan, sembari menunggu, kami sekeluarga berbagi, ada yang menunggu dan ada yang sholat. Ketika saya menunggu bersama mas Rizqi, di meja makan kami sudah mulai penuh makanan yang kami pesan..... eee nylonong seorang ibu dengan santainya mengambil kursi di samping saya tanpa minta izin atau permisi... terus saya bilang ke dia "maaf bu ini kursi sudah dipesan dan orangnya masih sholat" kemudian saya menunjuk kursi kosong yang bisa beliau ambil... eee orangnya pergi tanpa sepatah kata apa pun. Kejadian ini berulang sampai tiga kali......

Saya jadi teringat kisah berikut:

Suatu ketika Ubaidah bin Shamit menerima hadiah, dan beliau memiliki keluarga sebanyak 12 orang. Kemudian sahabat Ubaidah berkata, pergilah kalian dengan hadiah ini kepada keluarga fulan, karena mereka lebih membutuhkan hadiah ini daripada saya. Kemudian Wahid bin Ubadah membawa hadiah ini kepada keluarga lain. Akan tetapi, ketika ia telah sampai pada keluarga tersebut, mereka mengatakan hal yang sama. Begitu seterusnya, akhirnya hadiah itu kembali pada keluarga Ubadah sebelum waktu subuh. Dalam riwayat lain, khalifah Umar ra, pernah mendapatkan hadiah dari gubernur di Azerbaijan, Utbah bin Farqad. Kemudian utusan itu ditanya oleh khalifah: ”Apakah semua masyarakat di sana menikmati makanan ini?” Utusan itu menjawab : ”Tidak wahai Amirul Mukminin, ini adalah makanan khusus”. Khalifah berkata: ”Bawalah hadiah ini, kembalikan kepada pemiliknya, dan katakan padanya, ’Bertakwalah kepada Allah, kenyangkanlah kaum Muslimin dengan makanan yang engkau makan hingga kenyang.”[1]

Itsar atau altruisme di jaman kita sekarang tampak menjadi suatu barang yang sangat mewah. Dasar dari care terhadap orang lain adalah ketika kita memulai memikirkan orang lain. Kita melepaskan pemenuhan ambisi pribadi, beralih memenuhi kebutuhan dasar orang-orang yang berada di sekitar kita.

Perkembangan sosial teknologi terakhir, menurut Daniel Goleman[2], telah menciptakan cangkang yang membuat seseorang terisolasi dengan lingkungan sosialnya. Headphone, iPod, juga telefon seluler, membuat kita hanya bisa hadir secara fisik di lingkungan sosial kita sendiri-sendiri. Tanpa kita sadari, kita asyik mendengarkan ribuan musik yang siap kita dengarkan lewat iPod atau headphone. Si pendengar iPod asyik dengan penyanyi yang berdengung di telinganya, sementara ia tidak tahu apa yang terjadi di sekitar kehidupan riilnya. Ketika kita bercengkerama secara fisik, tiba-tiba handphone berdering entah itu ada telefon atau SMS, saat itu juga mencabut ”kehadiran” kita di lingkungan fisik, perhatian terbelah ataupun bahkan terabaikan, konsentrasi pada apa yang ada di telinga....hadir yang tidak ”hadir”. Secara sosial kita mengalami korosi. Menjadi kurang care terhadap sesama.




[1] Diambil dari Ahmad Ibrahim Abu Sinn, 1996, Al-Idaarah fil Al-Islam; Edisi Indonesia, Manajemen Syariah, 2006, Penerbit RajaGrafindo Persada, Jakarta

[2] Daniel Goleman, 2006, Social Intelligence, Edisi Indonesia, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2007