Jumat, 06 Juni 2008

Berhenti Sejenak

Mari kita berhenti sejenak di sini! Kita sudah relatif jauh berjalan bersama dalam kereta dakwah. Banyak sudah yang kita lihat dan yang kita raih. Tapi juga banyak hal yang masih kita keluhkan; ada begitu banyak rintangan yang menghambat laju kereta, ada begitu banyak goncangan yang melelahkan fisik dan jiwa kita, atau suara-suara gaduh dari mereka yang mengobrol tanpa ilmu dalam kereta ini yang memekakkan telinga kita, atau tikungan-tikungan tajam yang menegangkan. Tapi juga banyak pemandangan indah yang terlewatkan dan tak sempat kita potret, juga banyak kursi kosong dalam kereta dakwah ini yang semestinya bisa ditempati oleh penumpang-penumpang baru tapi tidak sempat kita muat. Dan masih banyak lagi!


Jadi, mari kita berhenti sejenak di sini! Kita memerlukan saat-saat seperti ini; saat dimana kita melepaskan kepenatan yang seringkali mengurangi ketajaman hati, saat dimana kita membebaskan diri dari rutinitas yang seringkali mengurangi kepekaan spiritual, saat dimana kita melepaskan sejenak beban dakwah yang selama ini kita pikul dan mungkin menguras stamina dakwah kita. Kita memerlukan saat-saat seperti ini karena mungkin kita perlu membuka kembali peta perjalanan dakwah kita; melihat-lihat jauhnya jarak yang telah kita tempuh dan sisa jarak perjalanan yang masih harus kita lalui, menengok kembali hasil-hasil yang telah kita raih, meneliti rintangan yang mungkin menghambat laju pertumbuhan dakwah kita, memandang ke alam sekitar karena mungkin banyak aspek dari lingkungan strategis kita telah berubah.

Tapi ternyata bukan hanya kita para duat yang perlu berhenti. Para pelaku bisnis juga mempunyai kebiasaan seperti ini. Orang-orang yang mengurus dunia itu memerlukan saat-saat seperti ini untuk menata ulang bisnis mereka. Mereka menyebut kebiasaan ini sebagai penghentian. Tapi sahabat-sahabat Rasulullah saw., generasi pertama yang telah mengukir kemenangan-kemenangan dakwah dan karenanya berhak meletakkan kaidah-kaidah dakwah, menyebutnya majelis iman. Maka Ibnu Mas’ud berkata, "ijlis bi na, nu’min sa’ah - Duduklah bersama kami, biar kita beriman sejenak"

Majelis iman atau tradisi penghentian adalah wacana yang kita butuhkan untuk dua keperluan. Pertama, untuk memantau keseimbangan antara berbagai perubahan pada lingkungan strategis dengan kondisi internal dakwah serta laju pertumbuhannya. Yang ingin kita capai dari upaya ini adalah memperbaharui dan mempertajam orientasi kita, melakukan penyelarasan dan penyeimbangan berkesinambungan antara kapasitas internal dakwah, peluang yang disediakan lingkungan eksternal dan target-target yangdapat kita raih. Kedua, untuk mengisi ulang hati kita dengan energi baru sekaligus membersihkan debu-debu yang melekat padanya di sepanjang jalan dakwah. Yang ingin kita raih di balik ini adalah memperbarui komitmen dan janji setia kita kepada Allah swt; bahwa kita akan tetap teguh memegang janji itu, bahwa kita akan tetap setia memikul beban amanat dakwah ini, bahwa kita akan tetap tegar menghadapi semua tantangan, bahwa yang kita harap dari semua ini hanyalah ridha-Nya. Hari-hari panjang yang kita lalui bersama dakwah ini akan menguras seluruh energi jiwa yang kita miliki. Maka majelis iman seperti ini adalah tempat kita berhenti sejenak untuk mengisi hati dengan energi yang tercipta dari kesadaran baru, semangat baru, tekad baru, harapan baru dan keberanian baru.

Rasanya majelis iman atau tradisi penghentian seperti ini semakin kita butuhkan ketika perjalanan dakwah kita sudah semakin jauh. Pertama, karena tahap demi tahap dari keseluruhan marhalah yang kita tetapkan dalam grand strategy dakwah kita perlahan-lahan kita lalui. Mulai dari rekruitmen dan pengkaderan qiyadah dan junud dakwah yang kita siapkan untuk memimpin ummat meraih kejayaannya kembali, kemudian melakukan mobilisasi sosial untuk menyiapkan dan mengkondisikan ummat untuk bangkit, sampai akhirnya kita membentuk partai sebagai salah satu wadah yang kita butuhkan untuk merepresentasikan dakwah pada tingkat institusi. Kedua, karena kita hidup pada sebuah masa dengan karakter yang tidak stabil. Perubahan-perubahan besar pada lingkungan strategis berlangsung dalam durasi dan tempo yang sangat cepat. Dan perubahan-perubahan seperti itu selalu menyediakan peluang dan tantangan yang sama besarnya. Dan apa yang dituntut dari kita -kaum duat- adalah melakukan pengadaptasian, penyelarasan, penyeimbangan dan pada waktu yang sama, meningkatkan kemampuan untuk memanfaatkan momentum. Ketiga karena kita mengalami seleksi dari Allah swt secara kontinyu, sehingga banyak duat yang berguguran, juga banyak yang berjalan tertatih-tatih.

Semua itu membutuhkan perenungan yang dalam. Maka dalam majelis iman atau melalui tradisi penghentian ini, kita mengukuhkan sebuah wacana bagi proses pencerahan pikiran, penguatan kesadaran, penjernihan jiwa dan pembaruan niat dan semangat jihad. Dan inilah yang dibutuhkan oleh dakwah kita saat ini.

Tradisi penghentian atau majelis iman semacam ini harus kita lakukan dalam dua tingkatan; individu atau jamaah (organisasi). Pada tingkatan individu, tradisi ini dikukuhkan melalui kebiasaan merenung, menghayati dan menyelami telaga akal kita untuk menemukan gagasan baru yang kreatif, matang dan aktual, di samping kebiasaan muhasabah, memperbaharui niat, menguatkan kesadaran dan motivasi serta memelihara kesinambungan semangat jihad. Hasil-hasil inilah yang kemudian kita bawa ke dalam majelis iman untuk kita bagi kepada yang lain, sehingga akal individu melebur dalam akal kolektif, semangat individu menyatu dalam semangat kolektif dan kreativitas individu menjelma menjadi kreativitas kolektif.

Kalau ada pemaknaan yang aplikatif terhadap hakikat kekhusyukan yang disebutkan Al-Quran, maka inilah salah satunya. Penghentian seperti inilah yang mewariskan kemampuan berpikir strategis, penghayatan emosional yang menyatu secara kuat dengan kesadaran, dan keterarahan yang senantiasa terjaga di sepanjang jalan dakwah yang berliku dan curam. Maka Allah swt mengatakan, "Belumkah datang saat bagi orang-orang beriman untuk mengkhusyukan hati dalam mengingat Allah dan dalam (menjalankan) kebenaran yang diturunkan. Dan bahwa hendaklah mereka tidak menjadi seperti orang-orang yang telah diberikan Alkitab sebelumnya (di mana) ketika jarak antara mereka (dengan sang Rasul) telah jauh, maka hati-hati mereka menjadi keras, dan banyak dai mereka yang menjadi fasik." (Q.S. Alhadid: 16)

Beginilah akhirnya kita memahami mengapa Rasulullah saw menyunnahkan ummatnya melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, atau mengapa Allah swt menanamkan kegemaran berkhalwat pada Rasulullah saw tiga tahun sebelum beliau diangkat menjadi Rasul, atau bahkan mengapa Umar bin Khattab mempunyai kebiasaan i’tikaf di Masjidil Haram sekali sepekan di masa jahiliyah. Begini pula akhirnya kita memahami mengapa majelis-majelis kecil para sahabat Rasululah saw di masjid atau di rumah-rumah mereka berubah menjadi wacana yang melahirkan gagasan-gagasan besar atau tempat merawat kesinambungan iman dan semangat jihad. Maka ucapan mereka, kata Ali bin Abi Thalib, adalah zikir, dan diam mereka adalah perenungan.

Tradisi inilah yang hilang di antara kita sehingga diam kita berubah jadi imajinasi yang liar, dan ucapan kita kehilangan arah dan makna. Maka dakwah kehilangan semua yang ia butuhkan; pikiran-pikiran baru yang matang dan brilian, kesadaran yang senantiasa melahirkan kepekaan dan semangat jihad yang tak pernah padam di sepanjang jalan dakwah yang jauh dan berliku.

Adalah kerugian besar bila tradisi ini pergi menguap dari wilayah perhatian kita hanya dikarenakan kesibukan dan rutinitas yang mulai kehilangan makna serta orientasi. Wallahu’alam.



di kutip dari http://beranda.blogsome.com/