Sabtu, 17 November 2007

Contoh Kasus Hipotetik Malpraktik

Kasus 1

Kasa tertinggal berakibat osteomielitis

Mas Parjo datang ke Rumah Sakit Remen Waras karena fraktur di tulang femur. Dokter Ndang Sun Tiken SpB menangani kasus ini adalah dokter bedah satu-satunya di kota Sarwo Saras. Parjo dijadwalkan operasi, dengan melalui prosedur-prosedur rutin rumah sakit, informed concent telah ditanda tangani oleh Parjo sendiri. Parjo sangat sadar dengan apa yang ia tanda tangani. Sebelum mengoperasi Parjo pada jam 10.00, dr. Ndang Sun Tiken sudah melakukan tiga operasi elektif satu operasi cito. Malam harinya dr. Ndang Sun Tiken mengoperasi dua operasi cito. Operasi reposisi Parjo telah berhasil dengan baik, dari foto rontgen pasca operasi, pen telah menancap pada tempat yang benar, kelurusan tulang telah sesuai dengan yang diharapkan. Parjo setelah recovery dan perawatan di bangsal yang memadai akhirnya bisa dipulangkan. Belum ada seminggu, di tempat luka operasi, setiap saat selalu keluar nanah, hingga membuat pembalut luka selalu diganti.

Parjo bermaksud kontrol lagi ke Rumah Sakit Remen Waras, tetapi ia mendapati antrian begitu panjang, dan sudah menunggu mulai dari jam 8.00 hingga 11.00 dokter Ndang Sun Tiken tidak kunjung datang. Berkali-kali ia bertanya kepada perawat poliklinik, selalu saja jawabannya masih melakukan operasi. Karena tidak nyaman dengan apa yang dialaminya, serta tidak enak dengan pandangan-pandangan orang di sekitar yang tampaknya jijik melihat kondisi pahanya. Parjo dan keluarga memutuskan untuk memeriksakan dirinya ke rumah sakit Arto Wedi yang letaknya ratusan kilometer dari rumah tinggalnya.

Masuk rumah sakit arto wedi, dengan biaya yang lebih tinggi, Parjo langsung diperiksa oleh dokter Hangabehi SpBO. FICS. Ahli ortopedi yang sudah terkenal hingga jauh di luar daerah. Oleh dokter Hangabehi, Parjo segera dilakukan prosedur rutin, roentgen ulang dan segera dijadwalkan operasi. Kembali dilakukan prosedur rutin, termasuk informed concent telah ditanda tangani dan Parjo sadar betul dengan apa yang dilakukannya. Secara umum kondisi Parjo menjelang operasi baik. Hanya dari luka operasi sebelumnya saja yang terus menerus mengalir nanah.

Akhirnya operasi debridement untuk mengatasi pus yang terus-menerus mengalir dari tulang yang didiagnosis mengalami osteomielitis dilakukan. Selama debridement dilakukan betapa mengejutkan yang dihadapi tim operasi dokter Hangabehi…. Mereka menemukan kassa tertinggal di tulang yang telah direposisi. Masih syukur tulang mau menyatu.

Keluarga pasien ingin mengetahui mengapa terjadi “bencana” demikian pada Parjo. Dengan terpaksa dokter Hangabehi SpBO FICS menjelaskan ini semua karena adanya kasa yang tertinggal di ruang antara tulang dan otot. Mendengar penjelasan itu kontan keluarga Parjo marah dan tidak terima dengan kinerja dokter Ndang Sun Tiken beserta timnya. Mereka sepakat untuk melakukan somasi dengan melayangkan surat dugaan malpraktik kepada dokter Ndang Sun Tiken beserta direktur Rumah Sakit Remen Waras lewat kuasa hukum mereka Gawe Ribut SH. Mereka menuntut ganti rugi senilai 1 miliar rupiah atas kerugian materiil dan imateriil yang dialami.

……………………………………………………..

Analisa hal yang terjadi

Yang ditimpa masalah adalah Rumah Sakit Remen Waras. Sedangkan rumah sakit Arto Wedi tidak dalam posisi bermasalah. Rumah Sakit Arto Wedi dalam posisi “penemu” kesalahan yang dilakukan oleh Rumah Sakit Remen Waras.

Dalam kasus ini diasumsikan tidak ada masalah administrasi pada dokter-dokter yang berpraktik baik di Rumah Sakit Remen Waras maupun Rumah Sakit Arto Wedi.

Jadi tidak ada kasus perbuatan melanggar hukum. Permasalahannya adalah operasi yang dilakukan oleh dokter Ndang Sun Tiken terdapat bukti kelalaian yaitu kasa tertinggal di ruang antara otot dan tulang. Berdasarkan criteria 4 D jelas memenuhi criteria tersebut. Ada wan prestasi (D1 & D2 ; duty dan dereliction of duty) yang dilakukan oleh dokter Ndang Sun Tiken SpB; sudah ada kontrak hubungan terapetik dan ada bukti melalaikan kewajiban yaitu kasa tertinggal.. Juga terdapat “damage” yaitu adanya osteomielitis dan akibat osteomielitis ini berkaitan dengan tertinggalnya kasa yang berada di ruang antara otot dan tulang.

skenario penyelesaian masalah etikolegalnya

Pembuktian

ü Pembuktian yang dilakukan yaitu laporan operasi dokter Hangabehi SpBO yang menyebutkan kasa tertinggal

ü Pembuktian laporan operasi dari dokter Ndang Sun Tiken SpB

Bukti yang meringankan

ü Dokter Ndang Sun Tiken SpB, sudah mengajukan penambahan dokter bedah di Kabupaten Sarwo Saras karena dia merasa sudah overload secara tertulis kepada direktur. Dan direktur RS juga menindak lanjutinya dengan pengajuan penambahan dokter bedah ke Departemen Kesehatan pusat dua tahun yang lalu, dan hingga kasus Parjo muncul ke permukaan belum terpenuhi permintaan tersebut.

Berikut juga merupakan contoh kasus malpraktik, memenuhi kriterian 4 D, dan ternyata penyebab kelalaian bukan pada dokter ataupun perawat dalam tim operasi tetapi, di luar dugaan pada sistem logistik.

Kasus 2

Gas Medik Yang Tertukar [1]

Seorang pasien menjalani suatu pembedahan di sebuah kamar operasi. Sebagaimana layaknya, sebelum pembedahan dilakukan anestesi terlebih dahulu. Pembiusan dilakukan oleh dokter anestesi, sedangkan operasinya dipimpin oleh dokter ahli bedah tulang (ortopedi).

Operasi berjalan lancar. Namun, tiba-tiba sang pasien mengalami kesulitan bernafas. Bahkan setelah operasi selesai dilakukan, pasien tetap mengalami gangguan pernapasan hingga tidak sadarkan diri. Akibatnya, ia harus dirawat terus menerus di perawatan intnsif dengan bantuan mesin pernapasan (ventilator). Tentu kejadian ini sangat mengherankan. Pasalnya, sebelum dilakukan operasi, pasien dalam keadaan baik, kecuali masalah tulangnya.

Usut punya usut, ternyata kedapatan bahwa ada kekeliruan pada pemasangan gas anestesi (N2O) yang dipasang pada mesin anestesi. Harusnya gas N2O, ternyata yang diberikan gas CO2. Padahal gas CO2 dipakai untuk operasi katarak. Pemberian CO2 pada pasien tentu mengakibatkan tertekannya pusat-pusat pernapasan (respiratory distress) sehingga proses oksigenasi menjadi sangat terganggu, pasien menjadi tidak sadar dan akhirnya meninggal. Ini sebuah fakta penyimpangan ”sederhana”, namun berakibat fatal.

Dengan kata lain, ada sebuah kegagalan dalam proses penempatan gas anestesi. Dan ternyata, di rumah sakit tersebut tidak ada standar-standar (SOP) pengamanan pemakaian gas yang dipasang di mesin anestesi. Padahal harusnya ada standar, siapa yang harus memasang, bagaimana caranya, bagaimana monitoringnya, dan lain sebagainya. Idealnya dan sudah menjadi keharusan bahwa perlu ada sebuah standar yang tertulis (misalnya warna tabung gas yang berbeda), jelas, dengan formulir yang memuat berbagai prosedur tiap kali harus ditandai (cross) dan ditandatangani. Seandainya, prosedur ini ada, tentu tidak akan ada, atau kecil kemungkinan terjadinya kekeliruan. Dan kalaupun terjadi, akan cepat diketahui siapa yang bertanggung jawab.

Karena itulah, aturan-aturan dan SOP ini sangat penting, yang termasuk dalam PDRS (peraturan dasar rumah sakit) atau PD Medik (peraturan dasar medik / Hospital by Laws & Medical by Laws) dan dapat dipakai untuk pertimbangan-pertimbangan dalam memutuskan perkara karena Hospital by Laws dapat merupakan ”perpanjangan tangan hukum”.



[1] Health and Hospital, Oktober 2006 hal 50