Rabu, 21 November 2007

Beratnya Amanah Sebagai Dokter


Mendapatkan amanah profesi dokter adalah amanah yang berat, tetapi dalam wujud yang lebih banyak kemudahannya. Seorang dokter Obgyn pria, mendapatkan kepercayaan penuh bahkan dari sang suami wanita yang memeriksakan kesehatan kandungannya, untuk dapat melihat aurat wanita tersebut seluruhnya. Bisa saja dengan dalih agar pemeriksaan lebih jelas, tangan sang dokter obgyn pria ini usil meraba vagina wanita tersebut tanpa indikasi yang jelas, toh pasien dan suaminya tidak tahu. Bahkan di akhir sesi pemeriksaan mereka mengucapkan terima kasih dan bahkan menanyakan ”kapan bisa periksa lagi dok?” serta menanyakan ”berapa dok biaya pemeriksaannya?”

Atau misalnya pada kasus seorang dokter bedah yang melakukan operasi appendectomy. Sebenarnya orang normal pun kalau dilakukan operasi appendectomy tidak memberikan perubahan pada kondisi fisiologis orang normal tersebut. Bisa saja dokter bedah ini, memberikan informasi yang sengaja dikelirukan, sehingga orang normal ini mau menjalani operasi appendectomy, dan hasil akhirnya, menambah pundi-pundi keuangan dokter bedah yang bersangkutan.

Atau di kasus lain, seorang dokter penyakit dalam atau bahkan dokter umum, hobinya meresepi hampir semua penderita yang berobat kepadanya dengan obat-obatan dari perusahaan farmasi tertentu yang telah berkomitmen memberikan insentif keuangan. Sehingga perusahaan pesawat terbang yang dinaiki dokter tersebut ketika bepergian bukanlah ”Garuda Airways” atau ”Lion Air” atau ”Sriwijaya Air”, tetapi berubah menjadi ”Pfizer Air”, ”Kalbe Air” atau ”Sanbe Air”.

Belum lagi, tekanan masalah yang lebih memudahkan dokter jatuh pada bahaya moral (moral hazard) di atas adalah tekanan biaya ekonomi kehidupan zaman sekarang. Dokter mempunyai keluarga yang harus dihidupi, harus bisa menjamin terpenuhinya kebutuhan kesehatan dan pendidikan bermutu bagi keluarga dokter, harus bisa mengembalikan ”modal finansial” yang digunakan selama mengikuti pendidikan dokter yang kecenderungannya makin mahal. Dan tekanan besar lainnya adalah tekanan malu bila praktik dokter tidak laku. Gambar 1 menunjukkan peta masalah perjalanan karier praktik Anda sebagai dokter.


Kalau disarikan permasalahan yang ada kira-kira seperti berikut:

1. Jumlah lulusan dokter umum/spesialis semakin banyak dengan distribusi “menggerombol” di sekitar perkotaan, walaupun rasio dokter dibandingkan dengan populasi penduduk masih jauh di bawah standar

2. Pengetahuan dan kesadaran pasien akan kesehatan dan hukum semakin besar sehingga resiko tuntutan malpraktik semakin tinggi

3. Dokter sudah terlanjur dipersepsi sebagai golongan masyarakat yang kaya, dan ini banyak sudah diinternalisasi oleh dokternya sendiri. Akibatnya dokter akan sangat malu minimal minder, kalau dirinya tidak kaya. Berbagai cara akan ditempuh salah satunya sudah menjadi rahasia umum dokter berkolusi dengan perusahaan farmasi.

4. Sebagian masyarakat kita, terutama mereka yang terdidik, kaya atau minimum golongan menengah, mempersepsi dokter Indonesia kualitasnya dibawah kualitas dokter di negara lain seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Australia maupun India. Sehingga mereka yang kaya tidak akan berobat ke dokter Indonesia, tetapi ke negara-negara itu, di samping akan meningkatkan prestigenya.