Selasa, 19 Maret 2013

Travel notes: Mata Jitu Waterfall, Moyo Island, Sumbawa



Oke sebelum kecewa, gue di sini mau nulis tentang pengalaman pergi ke Pulau Moyo. Bukan liburan a la Lady Di atau Bill Gates di Amanwana, tempatnya sih masih di pulau yang sama, tapi itu resort yang selain tamu emang ga boleh masuk, kecuali mau nyamar jadi pegawai yee. FYI, per malam di sana $800 + supplementary cost $135/orang. Jelas secara pendanaan, seorang dokter internsip gak bakal mampu nginep di sana.

Trip ini direncanain dadakan banget. Awalnya gara-gara di Pantai Kencana ada bapak-bapak lagi sepedahan ngajak ngobrol Bang Nico (kakaknya Sandry) trus bapak itu cerita tentang Pulau Moyo. Kakaknya Sandry emang dari awal penasaran dengan pulau ini. Di akhir pembicaraan Bang Nico dapet nomer nelayan yg bisa ngangkut kita pake kapalnya dengan harga Rp 600.000/kapal.

Ekspektasi awal kami tentang kapal ini emang gak boleh tinggi, namanya juga kapal nelayan. Udah ekspektasi gak tinggi, begitu liat kapalnya tetep aja kaget! Kecil banget cuy, udah gitu bakal diisi 10 orang termasuk Pak Kaharudin (nelayan). Suara mesin kapal cukup untuk membuat Noise-Induced Hearing Loss (NIHL) apalagi paparan berjam-jam. Info awal perjalanan ke Moyo ini sekitar 1-2 jam, ternyata pas naik kapal dikasih tau kalo pake kapal ini perjalanan 3 jam lebih. Buat orang-orang yang mengutamakan keselamatan emang ga direkomendasi pake moda transportasi ini. Bisa naik Travira Air dari Denpasar ke Moyo mendarat di air dengan harga $400/orang/one-way.

bentukan kapalnya, diisi oleh 10 orang

Perjalanan pun dimulai. Walaupun kapalnya jalan di atas air, tapi getaran mesin rruaaarrr biasaaa. Getarnya bisa disamain sama getaran bajaj, bahkan lebih. Suer kaga pake bohong. Ibarat naik bajaj 3 jam dari Jakarta-Bandung lewat puncak.

Selama perjalanan, berbekal sedikit ilmu pengetahuan THT dan Kesehatan Okupasi, kami membuat tutup telinga darurat menggunakan kertas tissue dan kertas resep.
penutup telinga darurat, anti NIHL

Satu jam perjalanan, takjub dengan kejernihan laut Sumbawa. Walaupun gue liat gelas Ale-ale asik ngapung di tengah laut siih... Tapi masih membuat gue kagum.
Sekitar setengah perjalanan, tiba-tiba Pak Kaharudin pindah tempat duduk dan buka bagian bawah kapal. Dengan santainya dia ambil gayung dan ngomong “saya mau nimba, kapalnya bocor”. Oke, ini baru setengah perjalanan loh.
"saya mau nimba air, bocor kapalnya..."

Di ¾ perjalanan, kita dikagetkan dengan sirip-sirip di permukaan laut. Setelah diperhatikan, ternyata kawanan lumba-lumba! Mereka bener-bener loncat-loncat tinggi banget. Begitu kapal mendekat, mereka seperti ‘mengawal’ bajaj laut kami. Ini untuk kali pertamanya sih liat Lumba-lumba liar langsung di alam bebas. Selain lumba-lumba juga banyak ikan terbang yang lalu-lalang di sekitar kapal.


Video Lumba-lumba diambil pake kamera gue biar sekalian denger betapa berisiknya kapal ini.


Disambut Lumba-lumba
Jernih banget airnya
Pulau Moyo dari Kapal


Oke, sampailah kami di Pulau Moyo. Kami masuk dari perkampungan Labuhan Aji, Kecamatan Labuhan Badas. Penduduk sini hampir 50% adalah karyawan Amanwana Resort. Sisanya bekerja sebagai buruh tani, ternak, guru, atau berdagang.



Suasana Kampung di Pulau Moyo


Begitu sampe, langsung kencing di warung, terus makan siang di pinggir pantai. Pantai di perkampungan ini harusnya indah. Tapi masyarakatnya belum bisa merawat rumahnya sendiri. Sampah plastik bergelimpangan di atas pasir. Makanya trip kali ini gue ga terlalu main sama laut, pantai, dan sejenisnya. Bahkan guide kami buang sampah sembarangan, dan akhirnya malah kami yang mungut sampahnya dia.



View pantai di Labuhan Aji, Pulau Moyo

Selesai makan, kami langsung menuju ke Air Terjun Mata Jitu yang berjarak 4 km dari kampung ini dan ditempuh dalam waktu kurang lebih satu jam. Kami menyewa guide lokal yang pekerjaan sehari-hari adalah guru SD. Sebetulnya tanpa guide juga bisa sampe, karena jalannya cuma itu-itu aja. Tapi buat amannya dan ngasih pemasukan warga lokal akhirnya kami menyewa guide dengan biaya Rp 75.000,-.

Perjalanan ke Air Terjun Mata Jitu cukup melelahkan, apalagi bagi yang belum terbiasa trekking. Perjalanan menanjak landai dan sesekali banyak batu-batu kapur tajam di tengah jalan. Kami karena tanpa persiapan, pake sendal jepit aja naiknya. Sendal jepit ini memakan satu korban, Endrika kakinya melepuh karena gesekan sendal yang akhirnya putus di tengah jalan.

Jalan menuju Air Terjun Mata Jitu

Begitu sampe di Air Terjun rasa capek terbayar sudah. Hamparan sungai berair biru-muda-kehijauan dengan dasar batu kapur berwarna putih cukup untuk bikin gue ga bisa nahan diri untuk langsung nyebur. Airnya seger banget, ditambah ga ada orang sama sekali. Lingkungan bersih tanpa sampah.





Mata Jitu Waterfall

Begitu selesai main air, kami langsung turun karena kami dikejar waktu biar gak malem banget sampe di Labuhan Sumbawa. Di perjalanan pulang, cuaca cerah banget dan dapet ngeliat sunset sampe berubah jadi terang bulan sabit. Langitnya penuh bintang, bener-bener full kayak taburan pasir mengkilap, mungkin gue terlalu lebay kali ya liat langit begini. Di Jakarta sih jangan harap.



Suasana Perjalanan Pulang