Selasa, 22 Mei 2012

Perlukah Terus Terang Tentang Masa Lalu ke Istri?

Semenjak SMA saya baru menyadari jika saya adalah seorang homoseksual, namun baru mengenal hubungan seks pada saat semester 4. Sebagai muslim saya merasa risau dengan kondisi saya dan setelah sekian lama saya berpetualang dengan banyak pria yang kebanyakan saya kenal lewat dunia maya. Saya berpikir untuk mulai berhenti dan salah satu jalan yang efektif agar saya dapat berhenti adalah dengan menikah.

Alhamdulillah saat ini saya telah menikah, namun saya masih kesulitan dalam melakukan hubungan suami istri, saya selalu merasa was-was, takut dan panas dingin, dan pada malam pertama saya gagal ereksi padahal saya sudah membayangkan bercinta dengan pria idaman saya. Saya takut lama kelamaan istri saya curiga dan menyadari jika saya pria homoseksual.

Apa yang harus saya lakukan? Apakah saya harus berterus terang tentang diri saya dan menceritakan masa lalu saya yang kelam? Apa saya kekurangan hormon testosteron sehingga saya kurang agresif dan kurang mudah tergoda dengan istri saya? Apa suntik hormon testoteron efektif dan aman untuk mengatasi masalah saya tersebut? Demikian konsultasi saya, sebelumnya saya ucapkan terimakasih.

Tio S (Pria Menikah, 29 Tahun), tiosXXXXXXX@gmail.com
Tinggi Badan 176 Cm dan Berat Badan 68 Kg

Jawaban

Pernikahan yang diakui di negara kita hanyalah pernikahan antara laki-laki dan perempuan, agama apapun juga tidak memperbolehkan pernikahan antara sesama jenis. Dan seperti yang Tio sudah alami, ternyata pernikahan tidak secara automatis mengubah keadaan.

Tio tidak kekurangan hormon testosteron, karena Tio tidak ada masalah ereksi kalau berhubungan dengan idaman Tio. Istri sebagai orang yang terdekat, mungkin juga akan tahu, tetapi itu mungkin risiko yang harus Tio hadapi.

Berterus terang dan menceritakan masa lalu tentulah akan melukai perasaan istri, karena ia akan merasa dibohongi, sebab Tio menceritakan sesudah pernikahan.

Apa tujuan Tio untuk berterus terang? Kalau supaya istri bisa membantu Tio berubah, mungkin bisa berguna karena Tio akan didampingi atau diingati oleh istri, walaupun itu juga akan menyakiti istri.

Kalau tujuannya supaya istri bisa memahami Tio, dan Tio tidak ada keinginan untuk berubah, saya rasa itu keputusan yang berat sebelah.

Jadi yang penting di sini, apa keputusan sebenarnya yang ingin menjadi keputusan Tio, ingin berubah atau tidak. Dan seberapa besar keinginan Tio, apakah hanya sekedar keinginan ditambah usaha dan doa, atau sudah merupakan keputusan yang harus dilaksanakan tanpa alasan lain.

Semua orang bisa mengontrol dan harus bertanggung jawab akan kelakuannya, misalnya dengan siapa ia berhubungan intim. Tetapi kita memang tidak bisa mengontrol perasaan, misalnya kepada siapa kita merasa 'tertarik'. Yang bisa kita lakukan, mungkin kita tetap 'tertarik', tetapi kita tidak 'melakukannya'.

Dr. Elly Ingkiriwang, SpKJ