Jumat, 04 Juni 2010

Adil Itu Bukanlah Membagi Rata


Adil” bukanlah sebagai suatu “pembagian yang rata” atau “perlakuan yang sama” sebagaimana umumnya dipahami orang-orang, tetapi makna dari “adil” sebenarnya adalah keseimbangan antara objektifitas dan proporsional. Seandainya kita artikan “adil” sebagai suatu “pembagian yang rata”, niscaya pada akhirnya hasil dari “adil” tersebut justru akan menjadi “tidak adil”.

Sebagai akibat bila kita menempatkan “membagi rata” sebagai suatu pemahaman yang berdiri sendiri tanpa diintegrasikan dengan unsur-unsur lainnya di antaranya:

  • Baik yang berbuat curang maupun yang jujur akan sama-sama lulus ujian;
  • Baik yang rajin bekerja maupun yang malas tetap akan mendapat upah yang sama;
  • Ataupun, baik yang berahlak mulia maupun yang jahat akan sama-sama masuk surga.

Jadi, “membagi rata” atau “perlakuan yang sama” baru bisa kita laksanakan apabila unsur-unsur penunjang lainnya sudah terpenuhi, misalkan terlebih dulu kita sudah memisahkan atau membedakan atau menyaring (filterisasi) mana yang layak untuk dibagi mana yang tidak masuk kategori kelayakan. Bukankah kita sering mendengar istilah “Studi Kelayakan”?

Seorang yang rajin layak untuk diberi upah karena ia telah menunjukkan kerjanya, sedangkan yang malas tidak layak menerima upah karena ia tidak mengeluarkan energi dan dedikasinya. Jadi sebelumnya kita harus menyaring dulu orang-orang yang rajin dari orang-orang yang malas sebagai upaya untuk mengumpulkan atau mengidentifikasi mana yang layak untuk diberi upah atau penghargaan.

Proses penyaringan ini tidak berhenti sampai di sini saja karena kadar rajin bekerja masing-masing individu berbeda-beda besarnya. Di sini biasanya kita melakukan pengelompokkan sesuai prestasi dan dedikasinya.

Orang yang bekerja lembur pasti akan dibayar lebih sebagai kompensasi dari ekstra waktu dan energinya. Apakah akan terasa “adil” bila yang lembur maupun tidak dibayar dengan upah yang sama?

Bukankah Direktur layak diberi gaji paling besar dari buruh pekerja karena posisi direktur sangat menentukan gerak perusahaan secara keseluruhan sedangkan buruh pekerja bertanggung jawab atas bagian tertentu saja dari perusahaan tersebut. Apakah bisa disebut “adil” bila Direktur dan Buruh Pekerja digaji sama besarnya?

Ketika kita menemukan adanya kesamaan prestasi dan dedikasinya, barulah kita bisa melakukan “pembagian yang rata” atau “memperlakukan mereka dengan sama”. Sehingga falsafah “Sama Rasa Sama Kaya” bisa disebut sebagai sebuah keadilan bila sebelumnya dilakukan dulu studi kelayakannya serta pengurutan ranking prestasi dan dedikasi kerjanya.

Sehingga menerapkan “adil” sebagai suatu “pembagian rata” atau “memperlakukan sama” tidak bisa langsung diterapkan atau dilakukan di awal melainkan sebelumnya harus dipenuhi unsur kelayakan dan objektifitasnya. Inilah pengertian “adil” yang sebenar-benarnya di mana orang yang sholeh akan masuk surga sedangkan orang yang zalim akan masuk neraka.

Bukankah akan menjadi hal yang sia-sia belaka perjuangan ibadahnya orang yang sholeh ketika saat di surga ia pun mendapati di antara penghuninya adalah orang-orang yang berbuat zalim atau pendosa?

Begitupun seharusnya kita jangan merasa iri hingga terburu-buru merasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian reward atau insentif atau bonus, bisa jadi adanya suatu perbedaan itu karena memang telah disesuaikan secara proporsional dengan prestasi dan resiko kerja.

Di sinilah Rasulullah s.a.w. selalu mengingatkan tugas berat seorang pemimpin untuk selalu berbuat adil tidak boleh condong kepada suatu individu atau golongan, dan Rasulullah s.a.w. pun mengingat pula kepada para yang dipimpinnya untuk tidak bersangka buruk (Su’udzon) terhadap keputusan pemimpinnya sebelum meneliti secara objektif dengan cara yang bijak.

Photo courtesy: "Balance" by Patrick Jacobson.