Sabtu, 29 Mei 2010

Reformasi Perempuan oleh Islam Menurut Prof. Robert Nelly


Prof. Robert Neelly Bellah, Ph.D., seorang sosiolog terkemuka dari Amerika Serikat, dalam bukunya “Beyond belief: essays on religion in a post-traditional world”, menyebutkan pada Part Two - Chapter 8: Islamic Tradition and the Problems of Modernization:

Muhammad did not begin his preaching in a great and closely organized world empire but rather in tribal society, which had not so much to work out a relationship to an existing political order as to create a new one. Further, in a society where almost every important relationship was phrased in terms of kinship he had to develop a political organization that would transcend kinship.

There is no question but that under Muhammad, Arabian society made a remarkable leap forward in social complexity and political capacity. When the structure that took shape under the prophet was extended by the early caliphs to provide the organizing principle for a world empire, the result is something that for its time and place is remarkably modern.

It is modern in the high degree of commitment, involvement, and participation expected from the rank-and-file members of the community. It is modern in openness of its leadership positions to ability judged on universalistic grounds and symbolized in the attempt to institutionalize a nonhereditary top leadership. Even in the earliest time certain restraints operated to keep the community from wholly exemplifying these principles, but it did so closely enough to provide a better model for modern national community building than might be imagined.

Muhammad tidak memulai dakwahnya dalam sebuah dunia yang megah dan berupa kekaisaran melainkan dalam dunia yang tak lebih dari masyarakat kesukuan, yang mana harus membangun hubungan politik baru karena tak banyak yang bisa dibangun (atau diharapkan) dengan tatanan politik yang sudah ada. Lebih lanjut, dalam sebuah lingkungan di mana hampir seluruh hubungan penting diterjemahkan dalam arti pertalian keluarga, Muhammad harus membangun sebuah organisasi politik yang maknanya melebihi dari sekedar pertalian keluarga.

Tidak perlu dipertanyakan (disangsikan) lagi di bawah Muhammad, masyarakat Arab telah melakukan lompatan jauh dalam sebuah kompleksitas sosial dan kapasitas politik. Ketika struktur yang dibangun oleh sang Nabi dikembangkan kemudian oleh para Khalifah dalam rangka mewujudkan prinsip-prinsip keorganisasian untuk sebuah kekaisaran dunia, hasilnya telah membawa hal yang sangat modern bagi di jaman itu dan wilayah yang bersangkutan.

Adalah suatu hal yang modern ketika seluruh anggota lapisan masyarakat dituntut untuk berkomitmen, keterlibatan dan berpartisipasi dalam tingkat yang tinggi. Adalah juga suatu hal yang modern di mana terdapat keterbukaan dalam posisi-posisi kepemimpinan hingga kemampuan untuk memberikan keputusan dengan landasan dan simbol yang universalistik dalam rangka untuk berusaha membangun sebuah kelembagaan yang tidak didasari atas kepemimpinan yang turun-temurun (atau bukan sistem dinasti atau non hereditary). Sekalipun pada awalnya beberapa pengekangan atau pengketatan dilakukan untuk menjaga komunitas ini dari pengaplikasian secara utuh (kaffah) prinsip-prinsip tersebut, tetapi dalam kondisi ini pun sudah bisa mencukupi untuk menghadirkan sebuah model yang lebih baik lagi untuk pembangunan sebuah bangsa yang modern melebihi apa yang bisa dibayangkan sebelumnya.


Perubahan drastis” yang dibawa Nabi Muhammad s.a.w. terhadap masyarakat Arab saat itu sebagaimana yang digambarkan Prof. Robert Neelly Bellah sebagai hal yang “terlalu modern” bagi masyarakat Arab saat itu.

Berdasarkan pendapat Prof. Robert Nelly tersebut, saya tertarik untuk mencoba mengaitkannya dengan upaya Islam mereformasi peran dan derajat perempuan. Mudah-mudahan bisa bermanfaat bagi kita semua.

Khadijah binti Khuwailid merupakan contoh kasus istimewa dari sosok wanita yang beruntung diselamatkan oleh kebangsawanannya. Sedangkan al-Qur’an berbicara dengan bahasa yang universal tentang mayoritas wanita yang kondisinya menyedihkan di saat itu. Sebelum Islam hadir, wanita-wanita Arab nyaris tidak mempunyai hak bahkan hingga mencapai titik nadir pembunuhan bayi-bayi perempuan.


REFORMASI DERAJAT PEREMPUAN

Wanita dalam budaya Arab pra-Islam hampir tidak memiliki hak dan tak ubahnya dianggap sebagai sebuah komoditi sebagaimana yangdisinggung dalam al-Qur’an:

Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.
[Q.S. an-Nisaa’ 4:19]

Menurut adat sebahagian Arab Jahiliyah apabila seorang meninggal dunia, maka bila anaknya yang tertua atau anggota keluarganya yang lain ingin mengambil alih atau menguasai harta yang meninggal tersebut ataupun mewarisi janda yang telah ditinggalkannya itu, maka menggunakan cara di mana janda tersebut dikawini oleh mereka sendiri atau dikawinkan dengan orang lain yang maharnya diambil oleh pewaris atau tidak dibolehkan kawin lagi.

Bahkan melahirkan bayi perempuan dianggap sebagai sebuah aib yang memalukan sehingga untuk menutup aibnya tersebut mereka mengubur hidup-hidup bayi perempuan tersebut. Islam menghapuskan budaya tidak beradab tersebut dan secara bertahap mengembalikan hak perempuan secara proporsional.

Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya,
karena dosa apakah dia dibunuh.
” [Q.S. at-Takwiir 81:8-9]

Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan*. Maha Suci Allah, sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (yaitu anak-anak laki-laki). Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)?. Ketahuilah, Alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” [Q.S. an-Nahl 16:57-59]

* Mereka mengatakan bahwa Allah mempunyai anak perempuan yaitu malaikat-malaikat karena mereka sangat benci kepada anak-anak perempuan.

Islam datang menghapus budaya biadab tersebut sekaligus mengangkat derajat perempuan ke dalam posisinya semula yang telah lama dilupakan.

Dari Bahaz Ibnu Hakim, dari ayahnya (Mu’awiyah bin Haidah al-Qusyairi, dari kakeknya berkata, Aku berkata, “Wahai Rasulullah, kepada siapa aku berbuat kebaikan?” beliau bersabda, “Ibumu”. Aku bertanya lagi, “Kemudian siapa?” beliau bersabda, “Ibumu”. Aku bertanya lagi, “Kemudian siapa?” beliau bersabda, “Ibumu”. Aku bertanya lagi, “Kemudian siapa?” beliau bersabda, “Ayahmu, lalu yang lebih dekat, kemudian yang lebih dekat”.
[H.R. Abu Daud dan Tirmidzi. Hasan menurut Tirmidzi. Bulughul Maram – Ibnu Hajar al-‘Asqalani]

Hadits ini dengan jelas menunjukkan Islam telah mengangkat derajat kehormatan perempuan dalam tiga tingkatan yang lebih tinggi dari laki-laki.

Derajat wanita yang tinggi dalam Islam ditempatkan secara objektif dalam porsi yang proporsional di mana sekalipun telah ditinggikan, Islam tetap mengingatkan peran penting dan kodratnya sebagai seorang ibu.

...Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya.
Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

[Q.S. al-Baqarah 2:228]

Apa yang dimaksudkan laki-laki satu tingkatan lebih tinggi dari wanita adalah adanya kewajiban menafkahi keluarga yang dibebankan kepada laki-laki sebagaimana disebutkan dalam ayat lainnya:

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka...
[Q.S. an-Nisaa’ 4:34]


REFORMASI KATEGORI WANITA YANG BISA DINIKAHI

Bila kita baca dalam sejarah masa lalu, dalam budaya Yunani, Romawi dan Mesir, adalah hal yang menjadi normatif menikah dengan saudara kandung. Hal ini tercermin pula pada budaya jahiliyah Arab pra Islam khususnya dalam hal pernikahan, salah satunya tergambarkan melalui turunnya ayat larangan dari budaya jahiliyah tersebut:

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Q.S. an-Nisaa’ 4:23]

Ayat ini dengan lantang memberikan batasan tegas siapa yang halal untuk dinikahi. Maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas, dan yang dimaksud dengan anak perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian juga yang lain-lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut jumhur ulama termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya.


REFORMASI POLIGAMI

Sebelum Islam datang, bangsa Arab (dan juga di negeri lainnya) memiliki budaya yang belum menerapkan batasan maksimal dalam jumlah istri, hal ini tersirat dari kisah Nabi Sulaiman a.s.:

  • Dari Abu Hurairah, ia mengatakan, Nabi Sulaiman bin Daud berkata, “Aku benar-benar akan menggilir 70 isteri pada malam ini, yang masing-masing istri akan melahirkan seorang mujahid yang berjihad di jalan Allah”. Seorang sahabatnya berkata kepadanya, “Insya Allah”. Tetapi Nabi Sulaiman tidak mengucapkannya, dan tidak ada seorang pun dari mereka yang hamil kecuali satu orang. Nabi s.a.w. bersabda, “Seandainya ia (Nabi Sulaiman a.s.) mengucapkan ‘Insya Allah’, niscaya mereka menjadi para mujahid di jalan Allah”. [H.R. Bukhari, 3424, Ahaadiitsul Anbiyaa’]

Islam mereformasi hal ini dengan membatasi maksimal 4 (empat) istri dan Islam mendudukkan poligami dalam koridor bukan sebagai sebuah kewajiban melainkan sebagai solusi bagi umatnya yang mempunyai desakan kebutuhan tertentu dalam dirinya demi kemaslahatan (menghindari perzinahan) atau menghadapi kondisi tertentu misalnya kemandulan, menopause, populasi wanita yang lebih banyak dari laki-laki, dll.

Islam memberikan persyaratan ketat untuk berpoligami seperti di antaranya harus bersikap adil, tidak boleh mengandung unsur kedzaliman dan mampu menafkahinya, seandainya syarat-syarat tersebut tidak mampu dipenuhi, maka Islam lebih menganjurkan untuk monogami.

  • Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” [Q.S. an-Nisaa’ 4:3]

  • Dari Ibnu Umar, ia berkata, “Ghilan bin Salamah as-Saqafi masuk Islam dan memiliki sepuluh orang istri pada masa Jahiliyah (sebelum masuk Islam), bersamanya mereka juga masuk Islam, lalu Nabi s.a.w. menyuruhnya untuk memilih empat orang saja dari mereka”. [H.R. Tirmidzi. Lihat Ibnu al-Atsir dalam kitabnya Jami’ al-Ushul, juz XII, no. hadis: 9031]

Bahkan dalam berpoligami pun harus mendapat persetujuan istri sebelumnya agar terhindar dari rasa sakit hati yang berujung ketidakharmonisan di dalam poligami itu sendiri. Hal ini pernah tercatat dalam sejarah di mana Fatimah merasa keberatan dengan rencana poligami suaminya, Ali bin Abu Thalib, yang hendak menikahi putri Abu Jahal yang merupakan musuh Islam:

  • Dari al-Miswar bin Makhramah, ia berkata, bahwa Ali meminang anak perempuan Abu Jahal, padahal dia sudah beristri Fatimah, putri Nabi s.a.w. Fatimah mendengar hal tersebut, lalu mendatangi Rasulullah s.a.w., seraya berkata, “Dia menganggap engkau tidak akan pernah marah membela putri-putri engkau (wahai ayahku). Ini, Ali akan menikahi anak Abu Jahal”. Lalu Rasulullah s.a.w. bergegas, dan aku mendengar, setelah selesai shalat, beliau berkata, “Amma ba’du (maka setelah itu), aku telah menikahkan putriku terhadap Abu al-Ash bin ar-Rabi (Ali bin Abu Thalib) dan dia setia serta jujur terhadapku. Fatimah itu bagian dari diriku, aku tidak senang jika ada orang berbuat buruk terhadapnya –dalam suatu riwayat, jika ada orang yang membuat fitnah (gangguan) kepadanya-, demi Allah, tidak akan pernah bisa berkumpul putri Rasulullah dengan putri musuh Allah dalam pangkuan satu orang suami selamanya”. [H.R. Muslim dan at-Tirmidzi. Lihat Ibnu al-Atsir dalam kitabnya Jami’ al-Ushul, juz XII, no. hadits: 9026]


REFORMASI PERLAKUAN TERHADAP PEREMPUAN

Budaya perbudakan tidak hanya terjadi di tanah Arab saja melainkan ditemui pula dalam budaya-budaya di negara-negara lainnya. Secara bertahap Islam menghapuskan sistem perbudakan ini salah satunya melalui tebusan pembebasan atau pembebasan dengan cara menikahinya.

  • ...Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka,...” [Q.S. an-Nuur 24:33]

Dalam cuplikan redaksi ayat tersebut dijelaskan salah satu cara Islam untuk menghilangkan perbudakan, yaitu seorang hamba boleh meminta pada tuannya untuk dimerdekakan, dengan perjanjian bahwa budak itu akan membayar jumlah uang yang ditentukan. Pemilik budak itu hendaklah menerima perjanjian itu kalau budak itu menurut penglihatannya sanggup melunasi perjanjian itu dengan harta yang halal. Untuk mempercepat ditunaikannya perjanjian tersebut, Islam mendorong tuannya untuk ikut membantunya dengan harta yang diambilkan dari zakat atau harta lainnya. Sebagaimana kelanjutan redaksi selanjutnya:

  • ...jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu.” [Q.S. an-Nuur 24:33]

Dan pada akhirnya ayat ini dengan tegas melarang berbuat dzalim, tindakan pemaksaan ataupun eksploitasi terhadap budak-budak tersebut. Bilamana para budak-budak tersebut sudah terlanjur terpaksa melakukan perzinahan, maka terdapat pengampunan dari Allah S.W.T.

  • Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.
    [Q.S. an-Nuur 24:33]

  • Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” [Q.S. an-Nisaa’ 4:24]

Dalam riwayat Muslim, disebutkan ayat tersebut berlatar belakang peristiwa perang Authas (salah satu episode perang Hunain) di mana pasukan muslim mendapat kemenangan dan mereka bertanya tentang perlakuan terhadap tawanan-tawanan wanita dan budak-budaknya dari pihak musuh tersebut. Maka turunlah Q.S. an-Nisaa’ 2:24 yang melarang menggauli perempuan tanpa proses nikah (karena dianggap sebagai berzina), larangan menggauli perempuan yang sudah bersuami.

  • Dari Abu Said, ia berkata bahwa Nabi s.a.w. bersabda tentang tawanan wanita (dari perang) Authas, “Tidak boleh bercampur dengan wanita yang hamil hingga ia melahirkan dan wanita yang tidak hamil hingga datang haidnya sekali”. [H.R. Abu Daud. Shahih menurut Hakim]

Dan masih banyak reformasi-reformasi lainnya yang dilakukan Islam terhadap hak dan derajat kaum wanita yang terlalu panjang untuk diuraikan di sini. Baca juga artikel yang terkait tentang "Bukti Islam Memuliakan Wanita".


Photo courtesy: "Playful" by Trisha Jean-Angela.