Sabtu, 17 Februari 2007

Pak, mbok “Parfumnya” Ganti-ganti tho!!

Pak Kromo, pemuda 40 tahun yang lalu, berarti sekarang usianya 60-an tahun. Itulah kenyataan yang banyak dihadapi petugas pelayanan kesehatan di daerah pedesaan. Para pemuda 40 – 50 tahun yang lalu dapat dikatakan hampir semuanya tidak tahu pasti berapa usia mereka. Hal ini dikarenakan persoalan mendasar dalam penghitungan usia, yaitu tidak adanya tanggal lahir. Jangankan tanggal lahir, tahun saja masih dikira-kira.

Biasanya untuk mengatasi masalah ini, seringkali para petugas kesehatan ini menanyakan “rabine pas jaman Jepang utawi jaman Gestok mbah?”[menikahnya ketika jaman Jepang atau jaman G30SPKI?] atau dengan semacam pertanyaan “rumiyen pas Jaman Mardhika sampun saget playon mbah? (dulu saat sudah merdeka sudah bisa lari belum mbah?) Susahnya ketika ditanya berapa usianya, jawaban mereka sangat sederhana, bahkan terkesan meremehkan “pun panjenengan kinten-kinten kemawon, nggih selangkung lah” (Anda kira-kira saja lah, ya dua puluh lima tahun lah) padahal mereka sudah kakek-kakek dan nenek-nenek. Puas…. Puas…. Puas!!!?

Mbah Kromo ini, karena produk generasi jaman “super lempung” artinya kurang tersentuh produk-produk industri modern seperti sabun mandi, shampoo, pasta gigi dan sikat gigi apalagi parfum biar mampu “menggaet” lawan jenis. Bagi mbah Kromo, yang dikatakan bersih, artinya terlihat mata bahwa ia itu bersih. Jadi cukup dengan dibasuh dengan air dan digosok-gosok saja, kalau sudah terlihat bersih,

“ngapain harus pakai sabun?”

pikirnya dalam hati.

Tetapi biar tidak dianggap “lain” dari kebanyakan orang, beliau pakai saja sabun mandi, walaupun hanya dipakai sore hari, habis kerja dari sawah biar keringatnya terbasuh bersih. Tetapi kalau pagi hari jangan ditanya

“pakai sabun ndak mbah mandi pagi ini?”

dipastikan jawabannya “mboten” (tidak).

Ini baru masalah sabun, shampoo hampir dikatakan tidak pernah, sikat gigi dengan pasta gigi juga hampir tidak pernah.

Akibatnya sangat terasa, karena kulit manusia kaya akan asam lemak yang mudah teroksidasi menjadi aldehid. Inilah yang diyakini menyebabkan ketengikan minyak. Keringat kaya akan amonia dan berbagai macam asam. Di daerah mulut apalagi sisa-sisa makanan plus pencernaan bakteri yang menguraikan asam-asam amino yang kaya unsur pembentuk amonia, dan sulfur pembentuk H2S. Kesemua senyawa ini plus unsur-unsur tembakau rokok tingwe (linting dewe [digulung sendiri]), membuat berbagai aroma yang bila dicium, akan bersatu padu, bersama-sama membentuk BAU. Hasil akhir inilah yang diserang oleh produk-produk industri modern yang terklasifikasi dalam satu kelompok industri toiletries. Karena hasil akhirnya jelas, maka produk-produk itu tidak perlu diiklankan dengan bahasa-bahasa yang rumit dan susah, seperti yang dikuliahkan para pakar di bidangnya. Cukup dengan penangkal bau, baik dari mulut maupun badan.

Karena kebiasaan itu, mbah Kromo menunjukkan TRIAS gejala tidak menggunakan produk toiletries modern.

Pertama, badan bau khas (bau badan khas ini, konon berguna dalam situasi peperangan terlebih di dalam hutan, bau ini menyatu dengan alam, sehingga tidak terdeteksi kehadirannya oleh musuh).

Kedua, gigi tampak seperti batu karang bersalut mentega. Karang berwarna coklat kehitaman, terlebih akibat pengecatan tembakau, serta mentega berwarna kuning, produk sisa makanan yang mengumpul tidak tersapu.

Ketiga, berbicara menjadi amat bau.

Karena setiap berobat di Puskesmas, mbah Kromo selalu menunjukkan TRIAS gejala tidak memakai produk toiletries modern, ditambah selalu menggunakan minyak kayu putih, maka seperti kata orang marketing membentuk “merek” bau mbah Kromo. Seperti kata pepatah, gayung bersambut, “ciri khas” mbah Kromo ini akhirnya menuai respons. Respons itu datangnya dari petugas yang melayani di Poliklinik Puskesmas. Mbak Warti namanya, biasa asertif, ada sesuatu yang tidak suka langsung dia katakan, tidak peduli dokter kepala puskesmas, kepala dinas atau kolega lain di Puskesmas, tetapi juga kepada pasien-pasien yang beliau tangani. Salah satu dari sekian banyak pasien yang mendapat umpan balik asertif dan lugas adalah mbah Kromo ini.

“Pak Kromo, kalau periksa ke sini, mbok “parfumnya” ganti-ganti tho pak!”

Dengan wajah merah padam, entah karena marah atau malu, yang jelas hanya beliau saja yang tahu, pak Kromo meninggalkan ruang pemeriksaan untuk menebus resep.

PERTANYAAN :

APA KIRA-KIRA JAWABAN MBAH KROMO?