Sabtu, 03 Februari 2007

Marketing Rumah Sakit.....Pak Becak Bicara...

Seorang dokter spesialis senior, tidak seperti biasanya naik vespa kesayangan menuju rumah sakit tempat ia bekerja untuk melakukan visite malam pada pasien yang baru saja masuk malam jam 22.30 tadi. Saat itu jam dinding menunjukkan malam sudah larut jam 23.15, berarti ia harus bergegas pulang. Mengingat masih padatnya acara besok pagi, harus memanfaatkan waktu yang ada untuk istirahat. Vespa putih kesayangan yang sudah lama tidak beliau kendarai akhirnya meluncur dalam "lecutan" gas berpacu keluar menyusuri ruang parkir menuju keluar rumah sakit.

"Braak....ciiiit....buk" suara benturan, rem dan tubuh yang jatuh berurutan memecah ketenangan suasana. Vespa itu jatuh, dan dokter spesialis yang mengendari jatuh berlumuran darah di muka dan dadanya. Tabrakan bis menghantam Vespa putih itu baru keluar dari halaman rumah sakit YY hingga terpental menatap trotoar jalan.

Pak-pak becak dan orang-orang yang berkerumun segera menggotong tubuh dokter spesialis itu. "Bawa ke RS XX!" teriak salah seorang dari mereka. Kontan kerumunan dadakan itu membawa sang dokter spesialis ke Rumah Sakit XX yang letaknya 1 ½ kilometer dari Rumah Sakit YY tempat dokter spesialis itu bekerja.

Tepat di UGD RS XX, segera dokter jaga menghampiri, memeriksa dan menyimpulkan dokter spesialis itu sudah meninggal dunia.

Usut punya usut, yang mendorong seseorang dalam kerumunan untuk membawa dokter spesialis yang sedang sekarat ke rumah sakit XX adalah motivasi mendapatkan imbalan uang sebesar Rp. 30.000,- dari manajemen rumah sakit XX. Seandainya bila dirawat di rumah sakit YY keadaan mungkin masih bisa tertolong karena segera mendapatkan pertolongan, ketimbang
harus diangkut ke rumah sakit XX yang berjarak satu setengah kilometer dengan kendaraan ala kadarnya.

Sangat tragis.

Apakah begini kiat atau trik untuk meningkatkan jumlah pemakaian bed di rumah sakit?

Siapa yang salah?

Rumah sakit tidak berdiri di atas ruang hampa. Ia berdiri dalam sejarah dan budaya masyarakatnya. Kasus di atas adalah kisah nyata yang terjadi di kota Solo. Sebuah kota tempat jatuhnya pesawat Lion Air di bandara Adi Sumarmo. Ada kesamaan antara kisah di atas dengan kisah yang terjadi di seputar kecelakaan pesawat Lion Air di dekat bandara Adi Sumarmo. Ada yang menarik selama kecelakaan pesawat tersebut. Pesawat jatuh di luar bandara tepatnya di pemakaman umum agak jauh dari pemukiman penduduk dalam suasana hujan deras dan hari mulai memasuki malam. Beberapa saat setelah pesawat jatuh tidak ada pertolongan sama sekali dari instansi-instansi yang berwenang. Yang pertama datang di sana adalah warga setempat. Memang ada yang benar-benar menolong, tetapi banyak pula yang justru memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan penumpang yang kesakitan dan meregang nyawa. Melihat banyaknya barang berharga dan jumlah uang dalam jumlah besar....membuat banyak pemuda
kampung tidak lagi memperhatikan keselamatan jiwa para penumpang tersebut. Mereka berebut "rampasan perang" barang-barang berharga di tengah erangan orang-orang yang meregang nyawa...setelah itu berlarian menuju kampungnya masing-masing dengan memamerkan uang-uang bergepok-gepok tanpa sedikit pun tersirat rasa dosa........
Kisah Lion Air ini juga kisah nyata, seperti yang dituturkan orang-orang desa yang berada di sekitar lokasi kecelakaan....

Hubungannya..?

Cara beroperasi rumah sakit sangat dipengaruhi oleh bagaimana cara, budaya, nilai-nilai dalam masyarakat itu bekerja. Pak Becak atau siapa saja yang berada di jalanan atau dalam kerumunan cenderung kehilangan rasa tanggung jawab kemanusiaan... akibatnya yang dipikirkan apa keuntungan saya...mereka bisa mengambil dari korban kecelakaan atau bisa saja meminta "paksa" pihak rumah sakit memberikan "upah" dari mengirim pasien... karena peristiwa itu terus berulang.... Maka jadilah ada semacam "daftar tarif terima kasih" yang diberikan rumah sakit dan tentu saja berbeda-beda antara rumah sakit yang satu dengan yang lain. Jadi mengapa kok bisa seperti ini?

Tanyakanlah kepada rumput yang bergoyang