Sabtu, 03 Februari 2007

Dokter "Peternak Ayam Jago"

Tahun 1991 adalah tahun pertama saya kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Saat yang bersamaan dengan lulusnya kakak kandung saya dan suaminya. Pada tahun itu, adalah tahun-tahun pertama kebijakan pengangkatan dokter PTT yang sebelumnya setiap dokter lulus otomatis menjadi pegawai negeri sipil [PNS] dengan kedudukan dokter kepala Puskesmas. Alasan utama waktu itu adalah mulai terbatasnya anggaran pemerintah untuk pengangkatan dokter sebagai pegawai negeri sipil dan sudah dirasakan jumlah dokter PNS yang ada sudah mencukupi kebutuhan akan tenaga dokter di jajaran pegawai pemerintah. Di samping itu dengan kontrak selama tiga tahun, maka akan tersedia dokter yang bertugas di daerah terpencil semacam propinsi Irian Jaya atau pelosok-pelosok propinsi di luar jawa atau Indonesia timur. Toh, mereka para dokter itu cuman bertugas selama tiga tahun dengan imbalan gaji yang lebih besar sehingga akan membuat tersedianya tenaga dokter di daerah terpencil. Bahkan konon dengan pengalaman pernah bertugas di daerah terpencil dijanjikan bahwa karier untuk melanjutkan sekolah spesialis akan terbuka lebih besar daripada dokter yang tidak bertugas di daerah terpencil. Dijanjikan pula kalau gaji terlambat atau tidak sampai di tempat dalam waktu yang telah ditentukan, para pejabat akan bertindak langsung dan tegas pada aparat yang menyebabkan keterlambatan penerimaan gaji dokter PTT tersebut.

Atas iming-iming gaji yang tinggi, serta janji kemudahan mengambil spesialis, serta keterjaminan ketepatan penerimaan gaji di daerah terpencil itulah kedua kakak saya bertekad untuk mengikuti program penempatan dokter PTT di daerah terpencil propinsi Bengkulu. Walaupun mereka berdua tidak tahu bagaimana sih daerah terpencil yang nantinya mereka hadapi.

Ternyata daerah terpencil, memang sesuai dengan namanya yang terpencil, berarti jauh dari fasilitas-fasilitas yang memudahkan seperti halnya yang terdapat di pulau Jawa atau daerah perkotaan. Untuk belanja harus naik mobil dinas menuju "kota" sejauh 150-an kilometer. Air bersih tidak seperti yang dibayangkan, harus "ngangsu" [mengambil air dengan ember yang ditali]. Celakanya baru dua atau tiga ember yang diambil dari air sumur rumah dinas, air sudah bercampur lumpur, karena daerah tersebut dekat dengan daerah rawa. Yang sangat menarik adalah, ternyata gaji dokter PTT yang dijanjikan bukannya tepat waktu, turunnya dirapel ENAM BULAN berikutnya. Ternyata rapelan enam bulanan itu menjadi agenda rutin penerimaan gaji. Karena sekalian dibarengkan dengan pengiriman barang-barang lain yang juga dirapel setiap enam bulan sekali. Otomatis selama menunggu gaji datang, mau tidak mau, suka
tidak suka, sukarela atau terpaksa, harus menggunakan uang pribadi dulu.

Yang menarik di sini, praktek dokter pribadi di rumah dinas berjalan lancar. Populasi penduduk lumayan jarang, kunjungan pasien yang datang ke tempat praktek dalam waktu seminggu hanya 5 sampai paling banter 10 orang. Menurut tradisi di sana, penghargaan tertinggi yang diberikan masyarakat kepada seseorang yang berjasa bagi kehidupannya adalah memberikan ayam jago kepada seseorang yang berjasa tadi. Karena dokter adalah orang yang berjasa bagi kehidupan seseorang, maka bukan imbalan uang atas jasa dokter yang diberikan, masyarakat di sana memberikan penghormatan tertinggi dengan menyerahkan ayam jago tersebut. Di sana
tidak berlaku uang sebagai alat transaksi dengan dokter. Dapat disimpulkan, penghasilan kakak dari hasil praktek adalah seberapa banyak ayam jago yang terkumpul. Kalau ayam jago banyak, berarti prakteknya laris, tetapi kalau ayam jagonya sedikit berarti praktek lagi sepi. Padahal praktek disana menggunakan sistem dispensing, artinya sekalian menyediakan obat untuk pasien yang datang berobat. Sedangkan obat harus membeli sendiri. Jadi untuk menghitung surplus atau rugi bagaimana???

Yang lebih tragis adalah ketika mengambil pendidikan spesialis beberapa tahun berikutnya, ternyata janji hanya tinggal janji. Rekomendasi daerah terpencil tidak "ngefek" alias tidak ada bedanya dengan yang lain yang tidak "berdarah biru". Untuk praktik pribadi pun ternyata
untuk memperoleh izin praktik mendapat "barier of entry" dari senior sejawatnya, sehingga harus praktik tanpa izin praktik.

KESIMPULAN (NAKAL)NYA:

1. Kita hidup di alam nyata bukan hidup di alam kehidupan novel!
2. Kita harus sibuk ngurusin urusan kita sendiri

karena pemerintah sudah terlalu sibuk mengurusi urusannya sendiri. Jadi jangan gantungkan nasib Anda sedikit pun pada harapan yang dijanjikan pemerintah!!!


Hal yang dapat dipelajari (KESIMPULAN YANG NORMATIF)

Kalau anda sebagai dokter yang terpanggil jiwanya untuk misi kemanusiaan dan misi dakwah. Untuk merealisasikan misi tersebut anda harus datang dan bermukim di daerah terpencil dalam kurun waktu tertentu, agar keberadaan misi anda bisa dirasakan oleh masyarakat yang
menjadi misi dakwah Anda. Maka tahan dululah keinginan tersebut hingga dipastikan dulu beberapa hal :

1. Kesiapan mental, kedalaman maknawiyah anda harus sudah tergembleng
2. Kesiapan finansial, jangan andalkan gaji dari pemerintah.
Gaji itu sedikit, sering datang terlambat dan dirapel. Untuk mensukseskan kesiapan finansial ini, Alernatif pertama perlulah anda kalau menurut Robert T Kiyosaki berada dalam kuadran kanan, yaitu sebagai bisnis people atau investor. Artinya sudah mengalami kebebasan finansial; tidak bekerja lagi untuk mendapatkan uang, tetapi uang sudah bekerja dengan baik kepada anda; uang anda sudah menghasilkan uang lagi. Tentunya dengan cara-cara yang syar'i. Bisa jadi anda memiliki perusahaan yang disana sudah anda temukan orang-orang kepercayaan anda dalam mengelola bisnis anda. Sehingga seperti definisi bisnis Robert T Kiyosaki: suatu usaha atau bisnis yang anda miliki, tatkala anda tinggalkan bisnis itu selama satu tahun lebih, maka ketika anda kembali, anda mendapati bisnis anda minimal tetap seperti tatkala anda tinggal atau bahkan berkembang lebih pesat lagi. Alternatif kedua; temukanlah sumber-sumber donasi yang menjamin segala kebutuhan anda tatkala berada di daerah terpencil, entah dari lembaga nir laba atau lembaga-lembaga profit oriented. Alternatif ketiga; anda sudah siap segalanya untuk menjalani kehidupan persis seperti masyarakat di sana, mencari makan dan segala sesuatunya ala mereka.

3. Kesiapan profesional; banyak dari teman-teman yang pernah tinggal di daerah terpencil karena keterbatasan dan keterpaksaan mereka bisa melakukan operasi caesar, operasi usus buntu dan tindakan-tindakan invasif lainnya.