Senin, 19 Maret 2007

Pasien sekali pakai (the disposable patient)

Sakit lever yang mendera mbah Kromo makin menyekik saja… muntah darah yang tiada henti membuatnya mau tidak mau harus dilarikan ke rumah sakit. Permasalahannya adalah masalah memilih di rumah sakit manakah yang tepat agar mbah Kromo segera mendapatkan pertolongan.

Memang kondisi penyakit mbah Kromo harus secepatnya mendapatkan pertolongan, tetapi memilih rumah sakit mana itu juga jauh lebih penting…. Apalagi ini menyangkut nyawa…jangan sampai salah memilih rumah sakit…

Semua anak mbah Kromo berkumpul dalam suasana tegang dan genting… Kebanyakan mereka adalah petani desa dan mewarisi tanah sawah dari mbah Kromo… jadi jumlah tanah yang mereka kerjakan semakin menyempit ketimbang mbah Kromo ketika muda.

“Di Rumah Sakit pemerintah saja!”

“Jangan!!! Di sana ada co-ass dan residen…aku tidak mau bapak untuk ajang percobaan…apalagi susternya galak-galak”

“Di rumah sakit Mukti Bea saja…pelayananya bagus dan cepat”

“Iya pelayanannya bagus…. Biayanya???”

“Masalah biaya…kita pikir nanti… yang penting bapak segera mendapatkan pertolongan”

“ Ya sudah… kita bawa ke rumah sakit Mukti Bea… Arjo kamu nyari mobil untuk membawa bapak ke sana”

“Iya mas… aku tak pinjam Pak Sumantri… beliau orangnya sangat longgar apalagi kalau dimintai bantuan dalam suasana genting seperti ini” Rapat Darurat keluarga akhirnya memutuskan mbah Kromo di bawa ke Rumah Sakit Mukti Bea..

Segera mbah Kromo dibawa ke Rumah Sakit Mukti Bea… untuk mendapatkan pertolongan. Dan benar…pelayanannya benar-benar OK. Mbah Kromo segera terpasang infus, mendapatkan obat, diinjeksi dan mendapatkan transfusi darah… semuanya berlangsung cepat… dan mbah Kromo segera segar kembali… dan yang istimewa lagi tagihan yang harus terbayar bisa ditanyakan setiap saat…

Pada hari kedua… Arjo anak bungsu mbah Kromo yang masih lajang… iseng-iseng menanyakan tagihan yang harus mereka bayar… petugas bagian billing dengan ramah menyapa Arjo…

“Ada yang bisa saya bantu mas?”

“Ini mbak… saya mau menanyakan berapa tagihan untuk pasien bapak Siswo Dikromo”

“Tunggu sebentar ya biar saya lihat dulu di komputer”

……………………………………

“Pasien bapak Siswo Dikromo…. Biaya sampai tadi malam…satu juta enam ratus tujuh puluh lima ribu rupiah…mas”

“Itu hari kemarin saja kan mbak?”

“Iya mas”

“Terima kasih mbak” dengan berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya Arjo…segera beranjak menuju kamar tempat dirawat ayahnya… dan segera mengajak semua saudaranya untuk rapat darurat.

………………………………………..

Singkat cerita akhirnya mbah Kromo dibawa pulang paksa… dan pindah rawat ke rumah sakit pemerintah.. yang kondisinya jauh berbeda dengan rumah sakit Mukti Bea…dan yang lebih membuat mbah Kromo heran, ternyata dokternya sama dengan yang merawatnya di Rumah Sakit Mukti Bea… dan tidak mengenali sama sekali beliau… dan kelihatan angkuh.. dan suka pamer…apalagi di depan Co-Ass dan Residen..

Kok baru dibawa disini tho mbah… sakit sudah berat kayak begini???” tanya dokter Hendro… yang sebelumnya “pamer” kelebihannya dibanding dokter penyakit dalam lainnya di depan Co-Ass dan Residen yang membuntutinya selama visite siang itu…

“Saya ini baru dirawat satu hari di rumah sakit swasta….habisnya sudah satu juta tujuh ratusan ribu dok…tapi belum ada kacéke

“Sebelumnya dirawat dimana tho? Pasti tidak kontrol di tempat saya..” lanjut dokter Hendro

“Dokter ini gimana tho...lha yang ngerawat sebelumnya ya… panjenengan sendiri!!!” ucap mbah Kromo agak dongkol…

“Masak kok lupa dengan pasiennya sendiri tho dok?”

“?!#$” dokter Hendro berdiri kaku…dan pura-pura memeriksa dan menulis resep… seperti halnya bila Anda menelefon seseorang, tetapi tidak ada yang menjawab… maka operator elektroniknya akan bilang

“Tidak ada respons” itulah yang dilakukan dokter Hendro…. Sementara Co-Ass dan Residen di belakangnya… saling memberi kode aneh.. senyum dalam ketegangan wajah…serba tidak enak….

PELAJARANNYA ADALAH

Banyak pasien yang masuk ke Rumah Sakit Pemerintah karena sudah di rawat di rumah sakit swasta beberapa waktu lamanya, kemudian kehabisan dana, baru pindah rawat di rumah sakit pemerintah, dengan harapan dapat meringankan biaya.

Atau mereka mengurus kartu sehat untuk mendapatkan perawatan gratis. Atau nekat ngemplang, tidak membayar tagihan karena pasien sudah mengalami handicap atau sudah meninggal.

Pasien-pasien seperti itu dan keluarga mereka, sudah mengorbankan banyak dari tabungan pribadi, sudah menjual barang-barang berharga bahkan hingga menjual rumah yang ditempati untuk menutup standar biaya yang harus ditanggung di rumah sakit swasta. Dan pengorbanan yang habis-habisan ini…ternyata tetap masih kurang!!!

Pasien-pasien seperti ini, dilihat dari sudut pandang ekonomis sebagai sumber pendapatan rumah sakit dapat dikategorikan sebagai pasien disposable. Sudah habis “manis”nya tinggal “pelepah yang sepah” dan “dibuang” atau dalam bahasa medis “sekali pakai”.

Sehingga di negera kita tidak usahlah meributkan bagaimana status hukum euthanasia, banyak kasus euthanasia terjadi karena telah berstatus the disposable patient tinggal menunggu detik-detik kematian yang tidak tentu kapan akan terjadi.

Penyebab menjadi the disposable patient yang lain adalah sebelumnya telah menjadi the disposable citizen. Pada kasus ini, masih ingat kasus Supriyono seorang gelandangan, pemulung yang malang, anaknya yang bungsu menderita sakit diare hingga meninggal dan harus pontang-panting membawa jenazah anaknya selama tiga hari hanya sekedar untuk mencari biaya untuk mengurus pemakamannya.

Karena gelandangan, tidak mempunyai identitas formal, seperti KTP atau KK, sehingga mana bisa mengurus kartu sehat.

Karena itu perlu dipikirkan sistem pembiayaan kesehatan… untuk mengurangi jumlah “the disposable patient”… dan saat ini pemerintah telah menelurkan program asuransi kesehatan untuk keluarga miskin… program ini sangat besar pengaruhnya dalam membantu mengurangi jumlah pasien sekali pakai….

Tetapi sistem ini masih perlu pembuktian keberhasilannya… mengingat masih banyaknya rumah sakit yang masih tombok untuk menutup biaya sebelum diganti oleh PT Askes… jumlahnya bisa puluhan miliar per satu rumah sakit daerah.. mudah-mudahan rumah sakit daerah masih kenyal daya tahan keuangannya….

Belum lagi masalah pendataan dan sosialisasi program.. yang belum sepenuhnya diketahui oleh target sasaran program… atau target sasaran enggan memakai jasa rumah sakit daerah karena buruknya mutu pelayanan yang ada….

Satu potensi besar yang belum digali dengan maksimal… adalah dana dari Corporate Social Responsibility… cuman kalo mengandalkan yang terakhir ini… harus siap Rumah Sakit penuh pesan-pesan iklan sponsor….. Atau dana yang dihimpun melalui Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shodaqoh… bisa pula diarahkan untuk ini…