Jumat, 02 Maret 2007

“Jualan” Dokter di Sekolah

Saya harus belajar dari istri saya dalam hal kemampuan dan keuletannya dalam negosiasi. Kompetensi negosiasi yang diperlihatkan oleh istri saya mulai dari negosiasi harga ketika berbelanja di pasar hingga negosiasi untuk urusan-urusan yang lebih rumit. Negosiasi yang menonjol bagi saya adalah negosiasi untuk menjadi dokter di sekolahan.

Istri saya melihat bahwa sekolah dengan jumlah siswa lebih dari 400 siswa membutuhkan dokter.

Walaupun kehadiran dokter tidak harus setiap hari diperlukan, setidaknya dengan adanya dokter dapat ditingkatkan status kesehatan siswa, guru dan karyawannya. Dengan pemikiran dan perhitungan yang matang, akhirnya jadilah proposal sederhana untuk memperkirakan anggaran keuangan yang dibutuhkan oleh sekolah untuk mengadakan dokter sekolah beserta sistem kesehatan yang ditawarkan. Istri saya menghitung-hitung kebutuhan obat dasar, tanpa ada antibiotik, mulai dari obat turun panas, obat mules, obat pilek hingga obat maag. Jadwal kunjungan dokter dirancang seminggu sekali hingga ada yang sebulan dua kali atau sebulan sekali tergantung kemampuan anggaran yang dikeluarkan sekolah untuk sistem pemeliharaan kesehatan yang ditawarkan istri saya.

Setelah proposal selesai dibuat dengan berbagai alternatif biaya yang ditawarkan, maka tugas selanjutnya adalah “berburu” mencari sekolah sasaran. Pada saat inilah baru terlihat kompetensi, kesabaran, ketekunan, daya tahan banting dalam bernegosiasi istri saya. Saking bersemangatnya pernah suatu hari melakukan presentasi di empat sekolahan. Semua ini dilakukan SENDIRI tanpa saya antar.

“Wow luar biasa!”

Pernah ketika memasuki suatu sekolah menengah atas, ada seorang guru yang berkomentar

“Wah… jadi dokter sekarang sulit ya nyari kerja…”

“Iya pak! Harus berjuang, dan disitulah seninya, saya menyukainya” kata istri saya dalam hati, sambil mengurai senyum kepada pak Guru yang berkata tadi.

“Harus ‘menjual’ dokter di sekolah segala, seperti yang saya lakukan sekarang pak!” kata istri saya dalam hati, dengan agak dongkol.

Hal yang dapat dipelajari

Dokter lulusan jaman sekarang harus kreatif. Pintar melihat peluang. Energik dalam mengaktualisasikan apa yang menurutnya adalah suatu peluang. Pintar “mengutak-atik” puzzle yang terpencar-pencar yang berada di sekitarnya sehingga menjadi suatu jawaban yang memberikan banyak kemanfaatan bagi lebih banyak pihak, dan memberikan keuntungan bagi dokter sendiri.

Apa yang dilakukan istri saya adalah meminjam istilah W. Chan Kim dan Renée Mauborgne penulis buku best seller Blue Ocean Strategy1 upaya strategi blue ocean marketing, menghindari strategi red ocean marketing. Red ocean marketing diwarnai dengan perang harga, saling menjatuhkan satu sama lain untuk memperebutkan pasar. Sedangkan blue ocean marketing adalah bagaimana menciptakan peluang baru, pasar baru dan menghindari perang terbuka.

Umumnya dokter begitu lulus, yang mereka pikir pertama adalah mencari peluang kerja di poliklinik-poliklinik atau rumah sakit yang ramai dan menjanjikan. Padahal yang berpikir seperti itu adalah banyak. Seperti pepatah mengatakan “ada gula ada semut”.

Ketika ada sebuah poliklinik yang laris atau rumah sakit yang ramai kunjungan pasiennya, maka akan memberikan “manisnya” kesejahteraan setiap orang yang berada di dalamnya. Karena “manisnya” kesejahteraan itu maka akan mengundang banyak “semut-semut” yang datang. Dokter-dokter, perawat-perawat, fisioterapis, ahli gizi yang dalam jumlah banyak memperebutkan posisi yang terbatas.

Terkadang ada sebagian dari mereka yang menghalalkan segala cara.

“Yang penting masuk dulu, berapapun uang yang dikeluarkan, toh nanti uang akan kembali”

begitulah kira-kira perkataan orang yang ambisinya sangat kuat melebihi kenyataan yang dihadapi. Atau:

“Siapa yang punya otoritas policy maker untuk penerimaan SDM disini?”

“Dimana rumahnya?”

“Cara ngasih uangnya gimana?”

“Masuk rekening atau langsung dalam amplop?”

“kita bisa pinjam uang dulu di bank, untuk bisa masuk!”

adalah pertanyaan-pertanyaan untuk menindaklanjuti ambisi yang menghalalkan segala cara.

Saya dan istri sama-sama berprinsip, cara-cara tersebut bertentangan dengan nilai-nilai yang kami pegang teguh.

Kalau kita berpikiran “selalu ada jalan” maka hati kita akan “kaya”.

Tidak sempit, tidak akan berkata

“Ini satu-satunya jalan”

“Saya harus!”

“Tidak ada cara lain”.

Sebaliknya akan mengatakan

“masih banyak cara”

“Allah maha kaya, banyak pintu Rizqi yang harus kita eksplorasi” dan sebagainya.

Inilah pemikiran dari blue ocean, laut yang tenang, damai, penuh keselamatan, memperkaya dengan nilai-nilai kemanusiaan, laut yang mempertautkan hati-hati dalam persaudaraan.

Menjadi dokter sekolahan bagi kebanyakan dokter adalah kurang “keren”. Lagi pula setiap orang yang mengetahui profesi dokter, selalu menanyakan,

“praktik di rumah sakit mana dokter?” atau

“dinasnya dimana dokter?” atau bahkan

“dokter praktik di berapa rumah sakit?”.

Karena orang selalu bertanya demikian maka banyak dari teman sejawat pasca PTT, “terpaksa” mengajar di berbagai lembaga pendidikan kesehatan, ketika saya tanya seperti kebanyakan orang sering menjawab

“ini koq, ngajar di AKPER atau AKBID… blablabla…” terus dilanjutkan pernyataan :

“yang penting sudah punya status koq, walaupun ngajar di…” atau “yaa…biar dapat status” “soalnya kalau ditanya orang, biar bisa menjawab!”

Lha kalau istri saya ditanya seperti itu, jawabnya gimana?

“’Jualan’ dokter di sekolah”

?!?;^#- Mak Ge..llloo...daaaaak

1 W. Chan Kim dan Renée Mauborgne, 2005, Blue Ocean Strategy, Harvard Business School Publishing Corporation, Boston; Edisi terjemahan Indonesia, Blue Ocean Strategy (Strategi Samudra Biru), Penerjemah Satrio Wahono, Penerbit PT Serambi Ilmu Semesta, Januari 2006