Senin, 08 November 2010

Persalinan Vakum Ekstrasi ? Siapa Takut !!!

http://www.ayahbunda.co.id/support/image.content/02/001/007/850/PMengapa sampai terjadi persalinan dengan vacuum dan benarkah bayi yang lahir di-vacuum akan menjadi bodoh jika mereka besar nanti?

Anak jadi bodoh karena ketika lahir di-vacuum? Ah, yang benar saja! Buktinya, seperti diutarakan dr. Nanang Hasani, SpOG dari RSIA Hermina Podomoro, ketiga anaknya lahir dengan cara tersebut. “Yang sulung, sekarang sudah SMP dan ketika lulus SD ia memiliki NEM paling tingi. Kedua adiknya, selalu juara kelas.” Bodoh tidaknya anak, kata Nanang, “Bukan karena lahirnya di-vacuum, melainkan 80 persen karena faktor genetik.”

Hal senada ditegaskan dr. Kishore R.J., Sp.A. “Persalinan vacuum tak ada pengaruhnya sama sekali terhadap perkembangan otak si bayi.” Sebab, jelasnya, yang ditarik di-vacuum) bukan otak bayi, melainkan kulit dan jaringan di bawah kulit kepala. “Itu pun tak akan membuat perubahan bentuk kepala,” tukasnya.

DARAH TINGGI
Tapi ngomong-ngomong apa, sih, yang disebut vacuum?. Ternyata ia merupakan alat kebidanan yang digunakan untuk melahirkan janin dengan cara melakukan tarikan pada kepala janin. Alat ini ada yang berbentuk seperti sendok.

“Persalinan dengan vacuum dilakukan bila ada indikasi pada si ibu atau si anak, maupun keduanya,” terang Nanang. Indikasi pada ibu, misalnya, karena persalinan yang lama, ibu menderita penyakit tertentu seperti jantung, darah tinggi (hipertensi), terutama dengan kejang-kejang (pre-eklampsia). Begitu pula jika ibu memiliki bekas operasi. “Penanganannya harus lebih intensif karena sudah ada jaringan parut di rahimnya,” jelas Nanang.

Sedangkan indikasi pada anak, bila terjadi gawat janin. “Misalnya waktu diperiksa, denyut jantung janin lebih atau kurang dari normal. Normalnya, kan, 120-160/menit. Kalau lebih atau kurang dari itu, disebut gawat janin.” Bisa pula karena terjadi perbedaan variabel antara denyut yang satu dengan lainnya. Setiap menit, denyut jantung bayi diukur, semenit kemudian diistirahatkan untuk kemudian diukur kembali. “Jika pada pengukuran pertama denyutnya 140 dan kedua 120, berarti ada perbedaan besar.”

TIGA SYARAT
Kendati sudah ada indikasi, dokter tak selalu memutuskan ibu menjalani persalinan vacuum. Masih ada persyaratan lain yang harus dipenuhi. “Pertama, tak ada disproporsi kepala panggul. Artinya, panggul ibu tak sempit atau anaknya besar,” terang Nanang. Panggul yang sempit atau anak yang terlalu besar tidak memungkinkan dilakukan persalinan vacuum, karena bayi tidak mungkin “terlalu” dipaksa keluar dengan alat tersebut. Umumnya, kondisi semacam itu mengharuskan si ibu melahirkan dengan operasi Caesar.

Syarat kedua, pembukaan sudah lengkap. “Kalau belum lengkap, vacuum tak dapat dilakukan. Selain itu, bagian terbesar kepala si bayi sudah memasuki pintu atas panggul. Jadi, sudah ada di dasar panggul ibu.” Dan terakhir, ketuban negatif atau sudah pecah (tak ada lagi).

Namun begitu, persyaratan ini masih bisa diperlonggar bila memang sangat diperlukan. Misalnya, ibu atau bayi mengalami payah jantung atau terjadi kejang-kejang. “Kalau tak segera ditolong, keluhannya akan makin berat dan bisa membahayakan ibu maupun janinnya,” terang Nanang. Nah, dalam keadaan demikian, kendati pembukaannya baru 7 cm atau penurunan kepala masih sedikit di atas dasar panggul, persalinan dengan vacuum dapat dilakukan.

Idealnya, proses persalinan dengan vacuum berlangsung 20 menit. Kendati bisa juga mencapai 40 menit. Sebelum dilakukan penarikan pada kepala janin, dokter akan memeriksa ada tidaknya jaringan vagina ibu yang terjepit oleh alat vacuum. Pengecekan dilakukan dua menit setelah alat vacuum dimasukkan dan sebelum penarikan.

Bila dalam proses ternyata setelah ditarik kepala si bayi tak mau turun juga, “Penarikan harus dihentikan dan ibu harus langsung dioperasi,” jelas Nanang. Kegagalan itu, lanjutnya, bisa disebabkan oleh disproporsi kepala panggul atau janin sangat besar. “Bisa juga terjadi, di perut ibu ada tumor yang sebelumnya tidak terdeteksi.”

TAK BERDAMPAK
Persalinan vacuum tak berdampak buruk bagi ibu. “Paling-paling terjadi laserasi atau perlukaan pada jalan lahir, juga perdarahan di jalan lahir.”
 
Lalu apa dampak yang bakal terjadi jika bayi lahir lewat persalinan vacuum “Selama penarikan tidak dipaksa, tak ada efeknya, kok,” jelas Nanang. Setiap kelahiran, tuturnya, selalu mengandung risiko. “Pada kelahiran normal pun ada risikonya. Misalnya, kemungkinan infeksi.”

Umumnya risiko vacuum pada bayi ialah terjadinya luka atau lecet di kulit kepala. Ini pun dapat diobati dengan obat antiseptik. Bisa pula terjadi cephal hematoma atau pendarahan yang tidak keluar di antara tulang-tulang kepala, berwarna merah kebiruan. “Biasanya akan hilang sendiri setelah bayi usia seminggu.” Yang parah adalah bila terjadi pendarahan infrakranial (pendarahan dalam otak). Untungnya, kasus seperti ini jarang sekali terjadi.

Yang jelas, kata Kishore pada kesempatan terpisah, alat vacuum tak berdampak apa pun pada bayi. “Yang mempengaruhi kondisi bayi setelah kelahiran adalah proses persalinan yang lama itu tadi.” Misalnya, ibu sudah mengejan dan ketuban pun sudah pecah, tapi bayi tak jua lahir. “Sudah tentu terjadi kompresi dari pembuluh darah ibu ke bayi. Akibatnya, bayi tak mendapatkan suplai darah yang cukup sehingga ia lahir dengan kondisi asfiksia,” terang Kishore.

Tapi kondisi asfiksia ini, terangnya lebih lanjut, juga bisa dialami pada bayi dengan persalinan normal maupun operasi caesar. Asfiksia sendiri bisa diketahui dari tes Apgar yang dilakukan setelah bayi lahir. Tak ada perbedaan antara asfiksia karena vacuum maupun operasi caesar atau lahir normal. “Jadi, sama saja,” tukas Kishore.

Nah, asfiksia inilah yang bisa membuat tumbuh kembang anak terganggu. Tapi itu pun jika asfiksianya termasuk dalam kategori berat. Dampaknya, bayi mengalami keterlambatan perkembangan motorik. Jika pada umumnya bayi sudah bisa tengkurap pada usia 3 bulan, sampai umur 6 bulan ia belum mampu melakukannya. Kemungkinan terburuk, bayi mengalami keterbelakangan mental. “Tapi jika asfiksianya sedang, tumbuh kembang tak akan terganggu jika cepat ditangani.”

Jadi, kalau satu saat Anda harus menjalani persalinan vacuum, Anda bisa bilang dengan suara lantang, “Di-vacuum? Siapa takut!”


Source : Nakita, Julie Erikania
blog editor: dr. wahyu triasmara