Senin, 12 April 2010

Peribahasa #4: Jung Pecah Hiu Berpesta


Sekalian regresi ke masa lalu, masa kejayaan manusia Jawa di samudera Hindia-Pasifik, saya ingin mengenalkan kata ini: Jung.

Tak banyak yang tahu istilah ini, bukan? Saya juga baru ngorek-ngorek literatur kok. Jung adalah perahu tangguh Jawa pada abad 13 - 17 Masehi yang merajai perairan Asia Tenggara. Kapal ini dibuat dengan konstruksi yang kokoh tanpa menggunakan paku ataupun baut. Konstruksi perahu bercadik sangat unik. Lambung perahu dibentuk dengan menyambungkan papan-papan pada lunas kapal. Kemudian disambungkan pada pasak kayu tanpa menggunakan kerangka, baut, atau paku besi. Ujung haluan dan buritan kapal berbentuk lancip. Kapal ini dilengkapi dengan dua batang kemudi menyerupai dayung, serta layar berbentuk segi empat. Kapal Jawa jelas berbeda dengan kapal Tiongkok yang lambungnya dikencangkan dengan bilah-bilah kayu dan paku besi. Selain itu kapal Tiongkok memiliki kemudi tunggal yang dipasang pada palang rusuk buritan.
Disebutkan, jung Jawa memiliki empat tiang layar, terbuat dari papan berlapis empat serta mampu menahan tembakan meriam kapal kapal Portugis. Bobot jung rata-rata sekitar 600 ton, melebihi kapal perang Portugis. Jung terbesar dari Kesultanan Demak bobotnya mencapai 1.000 ton yang digunakan sebagai pengangkut pasukan Jawa untuk menyerang armada Portugis di Malaka pada 1513. Bisa dikatakan, kapal jung jawa ini layak disandingkan dengan kapal induk di era modern sekarang ini.

"Anunciada (kapal Portugis yang terbesar yang berada di Malaka pada tahun 1511) sama sekali tidak menyerupai sebuah kapal bila disandingkan dengan Jung Jawa." tulis pelaut Portugis Tome Pires dalam Summa Orientel (1515). Hanya saja jung Jawa raksasa ini, menurut Tome Pires, lamban bergerak saat bertempur dedengan kapal-kapal portugis yang lebih ramping dan lincah. (wikipedia)

Oke, sudah terbayang ya apa itu jung?

Jungnya pecah kenapa ya, sehingga para hiu berpesta pora menyantap daging segar di tengah lautan?
Ini peribahasa leluhur berpesan agar ketika mengarungi pelayaran hidup hati-hatilah jangan sampai konyol dijadikan lalapan gerombolan hiu bergigi gingsul dan bergusi sehat itu. Berlayar-berlayarlah... Berkapal-berkapallah jangan sampai kapal kalian, jung kalian pecah!

Nah ini dia, penerawangan saya ke masa lalu menjelaskan bagaimana peribahasa ini tercipta.
Alkisah, berlayarlah sebuah jung besar dari pelabuhan utama pesisir utara Jawa. Jung itu diciptakan untuk memenuhi ambisi menemukan ujung lautan dan mengumpulkan kisah dari seluruh dunia. Lima orang nahkoda terhebat memimpin perjalanan besar tersebut mengangkut seratus peneliti dan ilmuwan. Pokoknya ekspedisi Mbah Charles Sudarwin dengan kapal HMS Beagle belum apa-apanya dibanding tim ekspedisi ilmiah wong Jowo ini.

Karena bukan mau ndongeng ceritanya saya persingkat. Begitu, bukan? Boleh, bukan?
Ceritanya di tengah perjalanan entah kesambet setan laut ngidam, atau lupa minum antimo, atau sekedar kepengin eksyen, alih-alih bersinergi, kelima nahkoda itu berebutan kemudi.
Semua merasa paling benar. Semua merasa paling waras. Semua merasa paling baik.
Dua bilah kemudi lambang prestise bagi mereka, taji mereka, patah parah. Hilanglah kendali.

Maka limbunglah jung yang gagah perkasa.
Meliuk-liuk tak tentu arah.
Menghajar ombak.
Layar terkembang tergulung.
Lunas buritan.
Badai yang selama ini tunduk unjuk dendam.
Lambung jung terhempas-hempas di gunung karang.
Bilah-bilah kayu merekah.

Jung pecah!
Aroma maut menusuk-nusuk.
Dan hiu-hiu lapar menyeringai.
Terbahak-bahak mencium arak ketakutan.

Amboi celaka tigabelas kliwon!
Jung pecah hiu berpesta!
Pecah oleh ambisi pribadi! Pecah oleh kebenaran sendiri!
Pecah oleh waham! Pecah oleh kesombongan!

Kita ini bangsa pewaris gen cerdas dan unggul, hulubalang samudera, penguasa bahari, mencipta candi kelas internasional, menggubah kitab sastra agung, para maestro, para begawan, para maharesi, mahaguru, kenapa jadi begini?
Jadi budak di rumah sendiri.
Jadi bahan slilit hiu berhidung mancung.

Tangi!