Minggu, 15 April 2007

Cocok Infusnya ato Cocok Plate-nya?

Terjun dalam aktivitas “dakwah” membuat saya memunyai banyak kenalan dengan beraneka ragam profesi dan karakter. Kenalan sekaligus teman saya bisa berprofesi guru SD sampai perguruan tinggi, pengacara, aktivis LSM, dokter, perawat, fisioterapis, penulis, dai, dan bahkan penjual es dawet ayu.

Dalam sebuah acara, terjadi dialog yang sangat menyentil hati saya….

Teman saya yang berprofesi guru SD mengalami kecelakaan beserta istrinya, naik sepeda motor dan sama-sama menderita multiple trauma. Sempat hampir seminggu masuk ICU. Menjalani dua kali operasi, yaitu operasi pembetulan saluran kencingnya yang mengalami rupture (putus) dan reposisi tulang belikatnya. Luar biasa parahnya demikian pula istrinya jauh lebih parah lagi serta dalam keadaan hamil 5 bulan.

Singkat cerita….BADAI telah berlalu. Keduanya selamat, bayi yang dikandungnya selamat, saat ini tumbuh kembang anaknya berjalan normal seperti bayi yang lain. Masalah keuangan untuk biaya masuk rumah sakit, sungguh sangat luar biasa melihat keguyuban keluarga dan para teman yang sama-sama aktif memakmurkan masjid, serta teman sekantornya. Berbagai sumbangan bantuan datang mengalir ikut meringankan beban keuangan yang harus ditanggung teman guru SD saya itu. Dia sendiri “hanya” menjual satu sepeda motor milik orang tuanya. Hingga saat ini tidak ada sisa beban keuangan yang masih menjadi tanggungannya.

Kembali pada dialog antara teman guru SD dan pengacara tadi…

“Pak Hani lho……habis operasi dan masuk rumah sakit…kok….tambah gemuk saja…” saya memulai dialog.

Pak Hani hanya tersenyum saja dengan mata yang berbinar kepada saya…

Berarti cocok infusnya pak…” tiba-tiba pak Widodo teman saya yang pengacara nylonong masuk dalam pembicaraan kami..

“ha ha ha ha ha” kami pun tertawa… geli

………………………………………

Ketegangan yang diceritakan dalam suasana santai apalagi suasana humor adalah obat ampuh dalam mengobati PTSD (Post Traumatic Stress Disorder)…. Demikian yang dikatakan Daniel Goleman dalam bukunya yang fenomenal Emotional Intelligence…

Saya jadi teringat akan novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman Alshirazi… yang bercerita tentang…Eksan anak orang miskin desa… yang merayakan ulang tahunnya dengan mengundang anak-anak sedesa…sama-sama miskinnya… anak-anak itu saling berbagi..saling cuil-mencuil makanan… dalam suasana riang gembira…dan Eksan menjadi percaya diri…merasa bahwa dirinya diterima…lupa akan kemiskinan yang melilit dirinya… kata Habiburrahman…orang desa itu miskin harta tetapi KAYA CARA AKAN MENCIPTAKAN KEBAHAGIAAN…..

……………………………

“Sebentar pak Widodo…pak Hani kan…juga terpasang plate di tulang belikatnya… jadi sebenarnya yang membuat gemuk itu… cocok infusnya atau cocok platenya…”

“ha ha ha ha ha ha ha..” suara ketawa kembali meledak dahsyat..sedahsyat letusan gunung merapi yang meletus…

……………………………………….

Moral lesson for doctor is

Dengan inspirasi dari Ust Habiburrahman, maka

dokter kaya adalah dokter yang kaya akan cara mewujudkan kebahagiaan yang dapat dirasakan, baik untuk dirinya, keluarganya, koleganya sesama dokter, bersama-sama dengan pasien, maupun keluarganya.

Sebaliknya, dokter yang miskin adalah dokter yang miskin alternatif cara mewujudkan kebahagiaan yang seimbang baik untuk diri sendiri, keluarga, kolega sesama dokter, pasien maupun keluarganya.

Dokter yang miskin dalam pengertian ini, bisa jadi ia sangat kaya materi, tetapi kualitas interaksi dan hubungan dengan keluarganya, koleganya sesama dokter, pasien dan keluarga pasien sangat kurang. Bisa jadi praktiknya laris, pasien banyak yang sembuh, tetapi interaksi dokter-pasien bersifat matematis transaksional, tidak ada ruh emosional silaturahim yang mewarnai hubungan tersebut. Pasien merasa dokter hanya buru-buru, basa-basi, dan yang dibutuhkan dokter hanyalah uang pasien. Pasien juga merasa bahwa tidak ada rasa tanggung jawab terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan dokternya. Apalagi bila ada masalah dalam pelayanan, pasien lebih mudah membayar pengacara mengajukan tuntutan tindakan malpraktik kepada dokter.

Dokter yang kaya cara menciptakan kebahagiaan, mempunyai tanggung jawab penuh terhadap usaha pasien untuk menciptakan jalan yang paling efektif dan efisien untuk memproduksi kesehatan.

Dokter tipe ini, sadar betul bahwa

biaya kesehatan yang dihasilkan dari pelayanan kesehatan yang dia selenggarakan, secara makro akan berdampak pada meningkatnya biaya total produksi masyarakat.

Yang selalu menjadi pikirannya adalah bagaimana masyarakat bisa menghemat pengeluaran belanja kesehatannya.

Bila salah satu unsur biaya produksi turun, sumber daya yang bersifat materi dan nonmateri serta waktu yang terbuang bisa dialokasikan untuk kepentingan-kepentingan lain yang lebih mendesak sehingga produktifitas masyarakat secara umum akan meningkat.