Badan Pengawasan Obat dan Makanan memperingatkan masyarakat bahwa rokok elektronik yang telah beredar di beberapa kota adalah produk ilegal dan tidak aman.
"Produk ini belum diuji klinis oleh karena itu berbahaya. Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga telah menyatakan produk ini tidak aman dikonsumsi, merekomendasikan untuk melarang peredarannya," papar Direktur Pengawasan NAPZA Badan POM Danardi Sosrosumihardjo di Jakarta, Jumat (6/8).
"Produk ini belum diuji klinis oleh karena itu berbahaya. Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga telah menyatakan produk ini tidak aman dikonsumsi, merekomendasikan untuk melarang peredarannya," papar Direktur Pengawasan NAPZA Badan POM Danardi Sosrosumihardjo di Jakarta, Jumat (6/8).
Rokok elektronik atau "Elecronic Nicotine Delivery Systems" (ENDS) dipasarkan sebagai pengganti rokok dan diklaim tidak menimbulkan bau dan asap.
Bentuknya seperti batang rokok biasa, tetapi alih-alih membakar daun tembakau, seperti produk rokok konvensional, ENDS membakar cairan menggunakan baterai dan uapnya itu masuk ke paru-paru pemakai.
Produk itu dipasarkan dengan banyak nama, di antaranya rokok elektronik, ecigarro, electro-smoke, green-cig, dan smartsmoker.
Danardi mengatakan pihaknya telah mendapatkan laporan dari berbagai wilayah, antara lain Makasar, Semarang, Lampung, dan Palembang, mengenai beredarnya produk ilegal tersebut dan telah melakukan koordinasi dengan Kementerian Perdagangan untuk penertiban.
"Karena ilegal, Badan POM tidak dapat melakukan pengawasan. Produk ini juga belum terdaftar sebagai rokok sehingga tidak dapat ditertibkan oleh Bea Cukai," papar Danardi.
Dalam sebuah leaflet atau selebaran, salah satu produk tersebut yang bernama Rokok Elektrik Surabaya memasarkan dua jenis rokok, yakni berwarna hitam dan hijau.
Rokok warna hitam dijual seharga Rp190 ribu dan warna hijau seharga Rp160 ribu. Produk itu juga mengklaim telah mendapatkan sertifikat internasional dan nasional yang dibantah keras oleh Badan POM.
"Produk ini belum didaftarkan di Indonesia. Di banyak negara juga beredar secara ilegal. China dan Hong Kong sekarang sudah melarang karena dianggap beracun," kata Danardi.
Industri ENDS disebutnya tidak secara jelas mengungkapkan kombinasi bahan kimia yang dimasukkan selama proses pembuatan. "Jumlah industri juga tidak jelas, tapi dari pencarian internet paling sedikit terdapat 24 perusahaan yang berizin dan lebih banyak merek dan modelnya," papar Danardi.
Badan POM Amerika Serikat, FDA pada Mei 2009 lalu melakukan analisis terhadap rokok tersebut dan menguji kandungan e-cigarette dari dua perusahaan. Hasilnya adalah ditemukan adanya kandungan dietilen glikol dan nitrosamin yang spesifik dalam tembakau.
Studi FDA juga menunjukkan ketidakkonsistenan kadar nikotin dalam wadah dengan label yang sama. Bahkan, dalam wadah ENDS berlabel tidak mengandung nikotin masih ditemukan nikotin.
"The World Health Organization" (WHO) pada September 2008 telah menyatakan bahwa mereka tidak menyetujui dan tidak mendukung rokok elektronik dikonsumsi sebagai alat untuk berhenti merokok.
Pada 6-7 Mei 2010 lalu, WHO kembali mengadakan pertemuan membahas mengenai peraturan terkait keselamatan ENDS dan menyatakan bahwa produk tersebut belum melalui pengujian yang cukup untuk menentukan apakah aman dikonsumsi.
Atas pertimbangan itu, maka Badan POM menyarankan agar produk tersebut dilarang beredar, dan kepada masyarakat agar tidak mengonsumsi produk alternatif rokok tersebut. "Kami ingin mengatakan kepada masyarakat, produk ini tidak aman," kata Danardi menegaskan.(Ant/BEY)
Bentuknya seperti batang rokok biasa, tetapi alih-alih membakar daun tembakau, seperti produk rokok konvensional, ENDS membakar cairan menggunakan baterai dan uapnya itu masuk ke paru-paru pemakai.
Produk itu dipasarkan dengan banyak nama, di antaranya rokok elektronik, ecigarro, electro-smoke, green-cig, dan smartsmoker.
Danardi mengatakan pihaknya telah mendapatkan laporan dari berbagai wilayah, antara lain Makasar, Semarang, Lampung, dan Palembang, mengenai beredarnya produk ilegal tersebut dan telah melakukan koordinasi dengan Kementerian Perdagangan untuk penertiban.
"Karena ilegal, Badan POM tidak dapat melakukan pengawasan. Produk ini juga belum terdaftar sebagai rokok sehingga tidak dapat ditertibkan oleh Bea Cukai," papar Danardi.
Dalam sebuah leaflet atau selebaran, salah satu produk tersebut yang bernama Rokok Elektrik Surabaya memasarkan dua jenis rokok, yakni berwarna hitam dan hijau.
Rokok warna hitam dijual seharga Rp190 ribu dan warna hijau seharga Rp160 ribu. Produk itu juga mengklaim telah mendapatkan sertifikat internasional dan nasional yang dibantah keras oleh Badan POM.
"Produk ini belum didaftarkan di Indonesia. Di banyak negara juga beredar secara ilegal. China dan Hong Kong sekarang sudah melarang karena dianggap beracun," kata Danardi.
Industri ENDS disebutnya tidak secara jelas mengungkapkan kombinasi bahan kimia yang dimasukkan selama proses pembuatan. "Jumlah industri juga tidak jelas, tapi dari pencarian internet paling sedikit terdapat 24 perusahaan yang berizin dan lebih banyak merek dan modelnya," papar Danardi.
Badan POM Amerika Serikat, FDA pada Mei 2009 lalu melakukan analisis terhadap rokok tersebut dan menguji kandungan e-cigarette dari dua perusahaan. Hasilnya adalah ditemukan adanya kandungan dietilen glikol dan nitrosamin yang spesifik dalam tembakau.
Studi FDA juga menunjukkan ketidakkonsistenan kadar nikotin dalam wadah dengan label yang sama. Bahkan, dalam wadah ENDS berlabel tidak mengandung nikotin masih ditemukan nikotin.
"The World Health Organization" (WHO) pada September 2008 telah menyatakan bahwa mereka tidak menyetujui dan tidak mendukung rokok elektronik dikonsumsi sebagai alat untuk berhenti merokok.
Pada 6-7 Mei 2010 lalu, WHO kembali mengadakan pertemuan membahas mengenai peraturan terkait keselamatan ENDS dan menyatakan bahwa produk tersebut belum melalui pengujian yang cukup untuk menentukan apakah aman dikonsumsi.
Atas pertimbangan itu, maka Badan POM menyarankan agar produk tersebut dilarang beredar, dan kepada masyarakat agar tidak mengonsumsi produk alternatif rokok tersebut. "Kami ingin mengatakan kepada masyarakat, produk ini tidak aman," kata Danardi menegaskan.(Ant/BEY)
source: metrotvnews.com
Blog Editor: dr. Wahyu triasmara