SEPERTI dipojokkan rasanya. Belum juga pulih dari melahirkan dan masih tergeletak di kamar bersalin, saya sudah ditodong oleh suster akan diberikan susu apa bayi saya. Suster itu menyebutkan sejumlah merek susu bayi yang saya tidak kenal baik buruknya. Suster itu memaksa dengan alasan air susu saya belum keluar. Saya jadi panik, lalu asal saja menyebutkan merek yang pernah saya dengar namanya," ungkap Irin (29) tentang pengalamannya melahirkan di sebuah rumah sakit swasta di Surabaya.
KETIKA sudah di rumah, Irin baru menyadari ternyata susu formula yang dia pilih bukanlah merk dengan harga terjangkau dan mudah didapat di pasar swalayan. Adapun untuk mengganti dengan susu formula lain, Irin tidak berani karena khawatir tidak cocok dengan pencernaan bayinya.
Tri (35) pun mengalami hal yang sama di rumah sakit bersalin di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Tanpa persetujuan dari Tri, bayinya telah diberi susu botol, juga dengan alasan air susu ibu (ASI) Tri belum keluar. Di dalam boks bayi, Tri juga melihat sebuah merek susu tertulis di boks itu. Begitu juga di selimut, di jam dinding, dan di beberapa tempat lainnya.
Ketika Tri akan pulang, seorang suster langsung memberi susu yang sudah siap minum di botol. Katanya untuk di perjalanan. Padahal, saat itu suster tahu bahwa ASI Tri telah keluar dengan cukup banyak dan si kecil sudah bisa menyusu ASI (!!). Selain itu, suster juga memberi satu kaleng susu formula dengan merk yang sama sebagai hadiah dari rumah sakit. "Yang paling menyebalkan, ketika bayi saya sakit dan harus dirawat di rumah sakit anak di Depok. Untuk pagi dan siang hari saya bisa memberi ASI, tetapi pada malam hari suster menyarankan untuk memberikan susu formula. Dia menolak memakai susu formula dari saya dan memberikan susu formula merk lain tanpa seizin saya," kata Tri dengan marah.
Poster tentang kelebihan ASI yang terpampang di dinding rumah sakit tampaknya hanya menjadi hiasan dinding belaka. Pihak rumah sakit juga tidak memberi pelatihan bagaimana cara menyusui yang benar agar ASI bisa keluar. Dengan sengaja mereka melakukan kerja sama dengan produsen susu formula yang jelas-jelas ingin meningkatkan omzet penjualan.
Masalah susu formula dipromosikan lewat rumah sakit dan petugas kesehatan sebenarnya sudah dilarang oleh Kode Etik Internasional tentang Pemasaran Pengganti Air Susu Ibu yang dibuat oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO). Kode ini hanya berlaku untuk produk yang secara langsung atau tidak langsung dapat mengganti peran ASI sebagai menu utama bayi, yaitu pada bayi usia 0-6 bulan.
Di Indonesia kode etik internasional ini diadopsi melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 237/Menkes/SK/IV/1997 yang merupakan penyempurnaan dari Permenkes No 240/Menkes/Per/V/1985. Menurut Pridy Soekarto dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), pelanggaran terhadap kode etik ini terus-menerus terjadi, namun sampai sekarang masih belum ada tindakan yang tegas dari instansi berwenang. "Biarpun sudah diadopsi, namun baru sebatas peraturan. Pelaksanaan di lapangan tidak ada," kata Pridy.
Dia menjelaskan, sebenarnya setiap produsen susu yang merupakan perusahaan multinasional sangat terikat pada peraturan negara di mana kantor pusat berada. "Sebagian besar produsen susu yang beroperasi di Indonesia berasal dari Eropa dan Amerika, yang sesungguhnya menjalankan peraturan ini dengan ketat. Namun, di negara berkembang seperti Indonesia, praktik seperti ini mereka biarkan."
Dia mencontohkan, "Pemasangan poster dengan nama atau logo produk memang bukan pelanggaran. Namun, jika poster berlogo itu dipasang di tempat yang biasa didatangi ibu hamil, ibu menyusui, ataupun ruang anak, itu sebuah pelanggaran. Pelanggaran juga terjadi jika poster itu menampilkan gambar ibu menyusui, bayi cantik sehat, tokoh cerita anak, atau bentuk-bentuk lain yang biasanya dihubungkan dengan bayi. Perusahaan itu ingin mengasosiasikan perusahaannya dengan bayi sehat. Padahal, belum tentu."
PELANGGARAN tidak hanya dilakukan oleh produsen susu formula. Produsen botol susu dan dot bayi pun melakukan hal sama. Mereka bahkan melakukan promosi melalui media massa seperti majalah dan televisi. "Pelanggaran yang sangat jelas adalah mereka mengaku dot buatannya sudah seperti puting susu ibu. Kenyataan sebenarnya, kita tidak tahu," kata Pridy menegaskan.
Menurut dr Utami Roesli, Ketua Sentra Laktasi Indonesia, penjualan susu bayi 0-6 bulan sebesar 11 miliar dollar AS setiap tahunnya (!!). "Ini jumlah yang sangat besar dan tentu saja sangat menggiurkan produsen susu. Pemasaran komersial mereka sangat berhasil. Mereka bisa mengubah yang normal menjadi tidak normal. Ibu menyusui itu sangat normal, namun mereka bisa membuat ibu malu menyusui (?!)," kata Utami. Dia menekankan bahwa pemberian ASI eksklusif–artinya bayi hanya diberi ASI–untuk Indonesia adalah dari usia bayi 0-4 bulan. "Jika tidak ada instansi yang berani melakukan tindakan tegas pada produsen dan rumah sakit yang melanggar kode etik, saya anjurkan agar para ibu berani menolak untuk mengatakan tidak pada susu formula. Yakinlah bahwa dirinya bisa menyusui karena hanya satu dari seribu ibu yang tidak bisa menyusui. Dan ASI akan keluar sebanyak yang dibutuhkan," ujar Utami. (ARN)
KETIKA sudah di rumah, Irin baru menyadari ternyata susu formula yang dia pilih bukanlah merk dengan harga terjangkau dan mudah didapat di pasar swalayan. Adapun untuk mengganti dengan susu formula lain, Irin tidak berani karena khawatir tidak cocok dengan pencernaan bayinya.
Tri (35) pun mengalami hal yang sama di rumah sakit bersalin di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Tanpa persetujuan dari Tri, bayinya telah diberi susu botol, juga dengan alasan air susu ibu (ASI) Tri belum keluar. Di dalam boks bayi, Tri juga melihat sebuah merek susu tertulis di boks itu. Begitu juga di selimut, di jam dinding, dan di beberapa tempat lainnya.
Ketika Tri akan pulang, seorang suster langsung memberi susu yang sudah siap minum di botol. Katanya untuk di perjalanan. Padahal, saat itu suster tahu bahwa ASI Tri telah keluar dengan cukup banyak dan si kecil sudah bisa menyusu ASI (!!). Selain itu, suster juga memberi satu kaleng susu formula dengan merk yang sama sebagai hadiah dari rumah sakit. "Yang paling menyebalkan, ketika bayi saya sakit dan harus dirawat di rumah sakit anak di Depok. Untuk pagi dan siang hari saya bisa memberi ASI, tetapi pada malam hari suster menyarankan untuk memberikan susu formula. Dia menolak memakai susu formula dari saya dan memberikan susu formula merk lain tanpa seizin saya," kata Tri dengan marah.
Poster tentang kelebihan ASI yang terpampang di dinding rumah sakit tampaknya hanya menjadi hiasan dinding belaka. Pihak rumah sakit juga tidak memberi pelatihan bagaimana cara menyusui yang benar agar ASI bisa keluar. Dengan sengaja mereka melakukan kerja sama dengan produsen susu formula yang jelas-jelas ingin meningkatkan omzet penjualan.
Masalah susu formula dipromosikan lewat rumah sakit dan petugas kesehatan sebenarnya sudah dilarang oleh Kode Etik Internasional tentang Pemasaran Pengganti Air Susu Ibu yang dibuat oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO). Kode ini hanya berlaku untuk produk yang secara langsung atau tidak langsung dapat mengganti peran ASI sebagai menu utama bayi, yaitu pada bayi usia 0-6 bulan.
Di Indonesia kode etik internasional ini diadopsi melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 237/Menkes/SK/IV/1997 yang merupakan penyempurnaan dari Permenkes No 240/Menkes/Per/V/1985. Menurut Pridy Soekarto dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), pelanggaran terhadap kode etik ini terus-menerus terjadi, namun sampai sekarang masih belum ada tindakan yang tegas dari instansi berwenang. "Biarpun sudah diadopsi, namun baru sebatas peraturan. Pelaksanaan di lapangan tidak ada," kata Pridy.
Dia menjelaskan, sebenarnya setiap produsen susu yang merupakan perusahaan multinasional sangat terikat pada peraturan negara di mana kantor pusat berada. "Sebagian besar produsen susu yang beroperasi di Indonesia berasal dari Eropa dan Amerika, yang sesungguhnya menjalankan peraturan ini dengan ketat. Namun, di negara berkembang seperti Indonesia, praktik seperti ini mereka biarkan."
Dia mencontohkan, "Pemasangan poster dengan nama atau logo produk memang bukan pelanggaran. Namun, jika poster berlogo itu dipasang di tempat yang biasa didatangi ibu hamil, ibu menyusui, ataupun ruang anak, itu sebuah pelanggaran. Pelanggaran juga terjadi jika poster itu menampilkan gambar ibu menyusui, bayi cantik sehat, tokoh cerita anak, atau bentuk-bentuk lain yang biasanya dihubungkan dengan bayi. Perusahaan itu ingin mengasosiasikan perusahaannya dengan bayi sehat. Padahal, belum tentu."
PELANGGARAN tidak hanya dilakukan oleh produsen susu formula. Produsen botol susu dan dot bayi pun melakukan hal sama. Mereka bahkan melakukan promosi melalui media massa seperti majalah dan televisi. "Pelanggaran yang sangat jelas adalah mereka mengaku dot buatannya sudah seperti puting susu ibu. Kenyataan sebenarnya, kita tidak tahu," kata Pridy menegaskan.
Menurut dr Utami Roesli, Ketua Sentra Laktasi Indonesia, penjualan susu bayi 0-6 bulan sebesar 11 miliar dollar AS setiap tahunnya (!!). "Ini jumlah yang sangat besar dan tentu saja sangat menggiurkan produsen susu. Pemasaran komersial mereka sangat berhasil. Mereka bisa mengubah yang normal menjadi tidak normal. Ibu menyusui itu sangat normal, namun mereka bisa membuat ibu malu menyusui (?!)," kata Utami. Dia menekankan bahwa pemberian ASI eksklusif–artinya bayi hanya diberi ASI–untuk Indonesia adalah dari usia bayi 0-4 bulan. "Jika tidak ada instansi yang berani melakukan tindakan tegas pada produsen dan rumah sakit yang melanggar kode etik, saya anjurkan agar para ibu berani menolak untuk mengatakan tidak pada susu formula. Yakinlah bahwa dirinya bisa menyusui karena hanya satu dari seribu ibu yang tidak bisa menyusui. Dan ASI akan keluar sebanyak yang dibutuhkan," ujar Utami. (ARN)