Sebagian besar umat muslim memilih tetap menjalankan puasa meskipun sedang sakit. Pola makan yang berubah membuat jadwal minum obat penderita penyakit menahun seperti hipertensi dan diabetes ikut berubah. Bagimana pola minum obat yang benar ketika sedang berpuasa?
Keputusan mengubah jadwal minum obat memang dikhawatirkan membahayakan keadaan orang sakit. Jadi perlu sikap yang baik untuk membuat jadwal minum obat sesuai dengan kondisi saat puasa.
Keputusan mengubah jadwal minum obat memang dikhawatirkan membahayakan keadaan orang sakit. Jadi perlu sikap yang baik untuk membuat jadwal minum obat sesuai dengan kondisi saat puasa.
Sebuah penelitian dilakukan pada 81 orang pasien di Maroko. Sebanyak 58% mengubah pola makan obat ketika bulan Ramadan yaitu 35 orang menghentikan pengobatan, 8 orang mengganti jadwal minum obat, dan 4 orang meminum obat yang dijadwalkan beberapa kali minum dalam sehari menjadi hanya satu kali minum.
Penelitian yang melibatkan jumlah pasien yang lebih banyak (325 orang) dilakukan di Kuwait. Sebanyak 64% diantara mereka mengubah pola minum obat mereka, dan 18% diantaranya meminum obat yang seharusnya untuk sehari dalam satu kali minum. Laporan medis di negara tersebut menyebutkan bahwa pada awal bulan Ramadan banyak pasien yang masuk ke unit gawat darurat maupun ke ICU karena tidak mau minum obat saat Ramadan, atau mengubah jadwal minumnya dengan cara yang salah.
Fenomena yang hampir sama dialami di Indonesia. Pada setiap pertengahan bulan puasa dan awal lebaran banyak pasien yang dirawat di rumah sakit. Hal ini salah satunya karena ketidakdisiplinan para pasien penyakit menahun dalam mengkonsumsi obat.
Seringkali pasien mengubah pola konsumsi obatnya tanpa berkonsultasi dengan dokter. Disamping itu, banyak pula diantara para dokter tidak memperhatikan pola pemberian obat saat puasa. Misalnya adalah pemberian obat antibiotik 3 kali sehari saat puasa. Hal ini tidak mungkin dilakukan oleh dokter jika pasien tetap menginginkan untuk tetap menjalankan kewajiban puasa. Seorang dokter harus dapat memilih pola konsumsi obat yang paling sesuai untuk para pasiennya.
"Untuk mencapai tujuan pengobatan, pemberian obat harus selalu memperhatikan beberapa aspek penting pengobatan, yaitu aspek jalur pemberian, jadwal pemberian, dan interaksi obat dengan makanan. Aspek-aspek ini menjadi sangat penting di bulan Ramadan karena perubahan pola hidup kita di bulan suci tersebut," kata dr Nur Azid Mahardinata dari Pusat Kajian Bioetika dan Humaniora Kedokteran FK-UGM, Rabu (19/8/2009) seperti dikutip dari tulisannya.
Jalur Pemberian
Menurut keputusan bersama para ahli agama dan kesehatan, jalur pemberian obat yang tidak membatalkan puasa adalah obat tetes untuk mata, telinga, hidung; obat semprot hidung dan inhaler; semua macam obat yang diserap melalui kulit (salep, krim, dll); penyuntikan melalui kulit, otot, sendi, atau vena (kecuali infus); oksigen dan gas-gas anestesia (obat bius); obat penyakit jantung angina (tablet nitrogliserin yang diletakkan di bawah lidah); penyegar mulut (spray ataupun cairan yang tidak ditelan); pemasangan sipral pencegah kehamilan, pembersih vagina, obat supositoria (ke dalam vagina atau anus); dan pembedahan dengan anestesi umum jika pasien memutuskan untuk berpuasa.
Perhatian yang utama diberikan kepada pemberian cairan infus. Cairan infus banyak sekali macamnya dan diberikan juga dengan tujuan yang berbeda-beda. Pemberian cairan dan obat dengan cara ini tidak diperbolehkan karena dianggap membatalkan puasa, sehingga pasien-pasien yang mendapatkan jalur pengobatan ini harus membatalkan puasanya dan menggantinya dihari lain di luar bulan Ramadan.
Jadwal Pemberian
Jadwal pemberian obat sangat tergantung kepada jenis obat yang diberikan. Obat-obatan yang dijual dipasaran, misalnya obat sakit flu atau batuk, biasanya memiliki komposisi untuk diminum 3 kali sehari. Obat antibiotik misalnya amoksisilin juga diberikan 3 kali sehari. Pada saat puasa, jadwal pengobatan ini harus diperhatikan karena alih-alih mendapatkan manfaat dari pengobatan, bisa jadi kita mengalami efek samping dari obat-obatan tersebut.
Manjur tidaknya sebuah obat dan muncul tidaknya efek samping sebuah obat sangat dipengaruhi oleh proses fisiologis dan biokimiawi tubuh. Pada keadaan puasa, proses-proses tersebut berubah terutama karena adanya perubahan pola makan dan aktifitas. Dokter harus dapat memberikan pilihan obat yang paling tepat bagi pasien mereka jika mereka tetap menginginkan untuk menjalankan ibadah puasa.
Bagi pasien yang memiliki jadwal minum obat satu kali sehari tidak akan memiliki masalah yang berarti. Mereka dapat mengkonsumsi obat tersebut saat sahur atau berbuka. Akan tetapi, harus diingat bahwa beberapa macam obat dapat terganggu efektifitasnya jika diberikan pada waktu-waktu tertentu. Hal ini terutama terkait dengan interaksinya dengan makanan. Seorang dokter harus yakin bahwa perubahan jadwal minum obat (saat sahur atau buka) tidak akan mengurangi kemanjuran obat.
Sebuah penelitian terhadap obat theofilin (biasa digunakan untuk pasien asma) membuktikan bahwa terdapat penurunan jumlah obat yang terserap secara signifikan antara pemberian obat tersebut pada jam 8 malam (kurang lebih 2 jam setelah buka) dibandingkan dengan pemberian pada jam 4 (segera setelah sahur). Perbedaan ini dijelaskan dengan adanya perubahan asam lambung dan ritme serta kualitas makanan selama Ramadan.
Obat lain yang terpengaruh secara signifikan saat bulan suci adalah obat anti kejang (asam valproat). Absorbsi obat ini terhambat jika diberikan pada jam 8 malam (setelah buka), sedangkan pemberian segera setelah sahur menunjukkan adanya penurunan eliminasi (pembuangan) kadar obat dalam darah secara bermakna dibandingkan dengan pemberian dalam waktu yang sama di bulan lain di luar Ramadan. Cimetidin obat yang sering digunakan pada gangguan lambung, paling baik digunakan pada malam hari (sebelum tidur) karena selain mengurangi sekresi asam lambung pemberian pada malam hari juga bisa membantu penyembuhan dan mengurangi kemungkinan terjadinya ulkus (luka) lambung.
Pada penelitian terhadap pasien-pasien hipertensi (tekanan darah tinggi) tidak terdapat perbedaan yang berarti pada bulan Ramadan dan bulan-bulan di luar bulan suci. Pasien hipertensi yang menggunakan pengobatan tunggal tidak perlu khawatir dengan adanya perubahan jam minum obat, baik setelah buka atau setelah sahur, karena tidak ada perbedaan yang berarti antara 2 waktu tersebut. Hanya sebagai catatan, propanolol,--obat untuk tekanan darah tinggi,-- lebih baik diserap oleh tubuh jika diminum pada pagi hari dibandingkan jika diminum pada malam hari.
Penelitian yang melibatkan jumlah pasien yang lebih banyak (325 orang) dilakukan di Kuwait. Sebanyak 64% diantara mereka mengubah pola minum obat mereka, dan 18% diantaranya meminum obat yang seharusnya untuk sehari dalam satu kali minum. Laporan medis di negara tersebut menyebutkan bahwa pada awal bulan Ramadan banyak pasien yang masuk ke unit gawat darurat maupun ke ICU karena tidak mau minum obat saat Ramadan, atau mengubah jadwal minumnya dengan cara yang salah.
Fenomena yang hampir sama dialami di Indonesia. Pada setiap pertengahan bulan puasa dan awal lebaran banyak pasien yang dirawat di rumah sakit. Hal ini salah satunya karena ketidakdisiplinan para pasien penyakit menahun dalam mengkonsumsi obat.
Seringkali pasien mengubah pola konsumsi obatnya tanpa berkonsultasi dengan dokter. Disamping itu, banyak pula diantara para dokter tidak memperhatikan pola pemberian obat saat puasa. Misalnya adalah pemberian obat antibiotik 3 kali sehari saat puasa. Hal ini tidak mungkin dilakukan oleh dokter jika pasien tetap menginginkan untuk tetap menjalankan kewajiban puasa. Seorang dokter harus dapat memilih pola konsumsi obat yang paling sesuai untuk para pasiennya.
"Untuk mencapai tujuan pengobatan, pemberian obat harus selalu memperhatikan beberapa aspek penting pengobatan, yaitu aspek jalur pemberian, jadwal pemberian, dan interaksi obat dengan makanan. Aspek-aspek ini menjadi sangat penting di bulan Ramadan karena perubahan pola hidup kita di bulan suci tersebut," kata dr Nur Azid Mahardinata dari Pusat Kajian Bioetika dan Humaniora Kedokteran FK-UGM, Rabu (19/8/2009) seperti dikutip dari tulisannya.
Jalur Pemberian
Menurut keputusan bersama para ahli agama dan kesehatan, jalur pemberian obat yang tidak membatalkan puasa adalah obat tetes untuk mata, telinga, hidung; obat semprot hidung dan inhaler; semua macam obat yang diserap melalui kulit (salep, krim, dll); penyuntikan melalui kulit, otot, sendi, atau vena (kecuali infus); oksigen dan gas-gas anestesia (obat bius); obat penyakit jantung angina (tablet nitrogliserin yang diletakkan di bawah lidah); penyegar mulut (spray ataupun cairan yang tidak ditelan); pemasangan sipral pencegah kehamilan, pembersih vagina, obat supositoria (ke dalam vagina atau anus); dan pembedahan dengan anestesi umum jika pasien memutuskan untuk berpuasa.
Perhatian yang utama diberikan kepada pemberian cairan infus. Cairan infus banyak sekali macamnya dan diberikan juga dengan tujuan yang berbeda-beda. Pemberian cairan dan obat dengan cara ini tidak diperbolehkan karena dianggap membatalkan puasa, sehingga pasien-pasien yang mendapatkan jalur pengobatan ini harus membatalkan puasanya dan menggantinya dihari lain di luar bulan Ramadan.
Jadwal Pemberian
Jadwal pemberian obat sangat tergantung kepada jenis obat yang diberikan. Obat-obatan yang dijual dipasaran, misalnya obat sakit flu atau batuk, biasanya memiliki komposisi untuk diminum 3 kali sehari. Obat antibiotik misalnya amoksisilin juga diberikan 3 kali sehari. Pada saat puasa, jadwal pengobatan ini harus diperhatikan karena alih-alih mendapatkan manfaat dari pengobatan, bisa jadi kita mengalami efek samping dari obat-obatan tersebut.
Manjur tidaknya sebuah obat dan muncul tidaknya efek samping sebuah obat sangat dipengaruhi oleh proses fisiologis dan biokimiawi tubuh. Pada keadaan puasa, proses-proses tersebut berubah terutama karena adanya perubahan pola makan dan aktifitas. Dokter harus dapat memberikan pilihan obat yang paling tepat bagi pasien mereka jika mereka tetap menginginkan untuk menjalankan ibadah puasa.
Bagi pasien yang memiliki jadwal minum obat satu kali sehari tidak akan memiliki masalah yang berarti. Mereka dapat mengkonsumsi obat tersebut saat sahur atau berbuka. Akan tetapi, harus diingat bahwa beberapa macam obat dapat terganggu efektifitasnya jika diberikan pada waktu-waktu tertentu. Hal ini terutama terkait dengan interaksinya dengan makanan. Seorang dokter harus yakin bahwa perubahan jadwal minum obat (saat sahur atau buka) tidak akan mengurangi kemanjuran obat.
Sebuah penelitian terhadap obat theofilin (biasa digunakan untuk pasien asma) membuktikan bahwa terdapat penurunan jumlah obat yang terserap secara signifikan antara pemberian obat tersebut pada jam 8 malam (kurang lebih 2 jam setelah buka) dibandingkan dengan pemberian pada jam 4 (segera setelah sahur). Perbedaan ini dijelaskan dengan adanya perubahan asam lambung dan ritme serta kualitas makanan selama Ramadan.
Obat lain yang terpengaruh secara signifikan saat bulan suci adalah obat anti kejang (asam valproat). Absorbsi obat ini terhambat jika diberikan pada jam 8 malam (setelah buka), sedangkan pemberian segera setelah sahur menunjukkan adanya penurunan eliminasi (pembuangan) kadar obat dalam darah secara bermakna dibandingkan dengan pemberian dalam waktu yang sama di bulan lain di luar Ramadan. Cimetidin obat yang sering digunakan pada gangguan lambung, paling baik digunakan pada malam hari (sebelum tidur) karena selain mengurangi sekresi asam lambung pemberian pada malam hari juga bisa membantu penyembuhan dan mengurangi kemungkinan terjadinya ulkus (luka) lambung.
Pada penelitian terhadap pasien-pasien hipertensi (tekanan darah tinggi) tidak terdapat perbedaan yang berarti pada bulan Ramadan dan bulan-bulan di luar bulan suci. Pasien hipertensi yang menggunakan pengobatan tunggal tidak perlu khawatir dengan adanya perubahan jam minum obat, baik setelah buka atau setelah sahur, karena tidak ada perbedaan yang berarti antara 2 waktu tersebut. Hanya sebagai catatan, propanolol,--obat untuk tekanan darah tinggi,-- lebih baik diserap oleh tubuh jika diminum pada pagi hari dibandingkan jika diminum pada malam hari.
Bagi pasien yang memiliki jadwal minum obat 2 kali sehari atau lebih menghadapi kendala yang lebih sulit karena distribusi obat dalam darah secara optimal tidak akan bisa tercapai dengan baik. Pasien dengan dosis 2 kali minum dapat meminum obatnya pada saat buka dan sahur. Tetapi karena perbedaan jangka waktu antara sahur-buka dan buka-sahur, dosis optimal obat dalam darah tidak akan tercapai. Terlebih lagi pada pasien dengan dosis 3 kali minum obat, kadar optimal obat dalam darah tidak akan tercapai dengan baik.
Keadaan ini harus sangat diperhatikan terutama pada pemberian obat dengan dosis pengobatan yang sempit karena adanya resiko tinggi untuk terjadinya keracunan atau munculnya efek samping obat. Dalam keadaan ini, dokter diharapkan dapat memberikan pilihan pengobatan yang sesuai, yaitu dengan mengubah pilihan obat menjadi dosis 1 kali minum atau memilih jenis/kelas obat lain yang sesuai dengan efek eliminasi yang lebih panjang. Jika tidak memungkinkan, maka pilihan untuk membatalkan puasa mungkin adalah resep yang paling baik bagi pasien tersebut.
Sebagai contoh adalah penggunaan obat anti inflamasi non-steroid yang biasa digunakan sebagai obat pada penyakit sendi (artritis), seperti misalnya ibuprofen. Untuk mencapai dosis optimalnya, obat-obat ini harus diminum 3-4 kali dalam sehari, sehingga perlu diganti dengan obat yang memiliki waktu pembuangan dari darah yang lebih lama, seperti misalnya piroksikam yang cukup diminum 1 kali dalam sehari. Selalu tanyakan kepada dokter Anda tentang pilihan obat yang bisa Anda dapatkan.
Sebagai catatan penting adalah untuk obat-obat bebas dipasaran, misalnya obat flu, beberapa macam obat antibiotik, dan lain-lain. Biasanya obat-obatan ini dijadwalkan untuk pemberian 3 kali sehari. Jika kemudian seseorang meminumnya sekaligus dalam sekali minum atau merubah jam pemberian menjadi malam hari (antara waktu buka hingga sahur) dikhawatirkan akan timbulnya efek samping obat. Alangkah lebih baik jika kita mengalami sakit ketika berpuasa, kita mengkonsultasikan diri kita kepada dokter sehingga mendapatkan keputusan yang paling tepat.
Interaksi dengan makanan
Secara umum, pengaruh makanan terhadap obat adalah mengurangi, memperlambat, atau meningkatkan ketersediaan obat secara sistemik. Besarnya pengaruh tersebut tergantung pada bentuk obat secara fisik atau kimia; formulasi obat (kombinasi antara zat aktif obat dengan zat-zat lainnya dalam obat); jenis makanan; dan waktu antara makan dan minum obat. Pada bulan Ramadhan, 2 faktor terakhir dapat berefek positif pada pengobatan karena ritme dan komposisi/kualitas makanan menjadi lebih teratur.
Minuman seperti teh, kopi, dan jeruk dapat meningkatkan asam lambung yang dapat meningkatkan penyerapan obat yang memiliki sifat asam lemah seperti salisilat, dipiridamol, sulfamida, dan beberapa jenis antibiotik dan hipnotik. Sedangkan obat-obatan seperti petidin, amitriptilin, dan antihistamin (obat anti alergi) akan menjadi terhambat. Konsentrasi karbohidrat dan lemak yang tinggi dalam makanan juga dapat mempengaruhi bioavailability (ketersediaan hayati) obat dalam tubuh, tetapi hal ini tergantung pada formulasi obat yang digunakan.
Sebagai contoh adalah pengobatan dengan asam bebas fenitoin dalam bentuk serbuk Hidantol yang dengan adanya kandungan lemak yang tinggi dalam makanan dapat meningkatkan ketersediaan hayati obat tersebut dalam tubuh. Tetapi, efek sebaliknya akan muncul jika fenitoin sodium lepas lambat (Phenytek) diminum bersama dengan lambung yang penuh dengan makanan berkadar lemak tinggi.
Efek klinis yang muncul karena pengaruh makanan terhadap obat tergantung kepada lebar sempitnya efek terapetik masing-masing obat. Turunnya ketersediaan hayati obat dalam tubuh sebagai akibat dari interaksi obat dan makanan dapat mengakibatkan efek yang serius terhadap kadar obat dalam dalam, khususnya obat dengan indeks terapetik yang sempit, sehingga mengakibatkan berkurangnya kemanjuran obat atau meningkatkan risiko terjadinya efek samping obat.
"Ketiga faktor diatas (jalur pemberian, jadwal minum obat, dan interaksi obat dengan makanan) harus diperhatikan oleh dokter dan pasien saat mereka memutuskan untuk tetap berpuasa meskipun dalam keadaan sakit. Hendaklah para dokter dapat memberikan pilihan obat yang paling sesuai bagi mereka yang tetap menginginkan berpuasa saat ramadhan dengan tetap mendapatkan hasil yang optimal dari pengobatan yang diberikan," tutur dr Nur Azid.
source: http://forum.um.ac.id
blog editor: dr. Wahyu triasmara