Mencari-cari keburukan seseorang bukanlah sifat orang yang beriman dan sudah pasti adalah dosa besar karena perbuatan itu terlahir dari kedengkian, iri hati, ambisi untuk menjatuhkan seseorang, dan balas dendam yang tak berujung pangkal. Jadi tak ada sedikitpun nilai ibadah di dalamnya.
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”
[Q.S. al-Hujuraat 49:12]
[Q.S. al-Hujuraat 49:12]
Setelah keburukan seseorang akhirnya diketahui, selanjutnya pasti akan dijadikan sebagai bahan untuk digunjingkan bersama orang lain sehingga menjadi tersebarlah keburukan seseorang itu.
Orang yang keburukannya telah disebarluaskan akan menjadi terpuruk psikologisnya sekalipun mungkin keburukannya tersebut hanya terjadi di masa lalu atau dirinya sudah bertaubat. Keadaan ini kemudian dijadikan sebagai pembuktian kebenaran dari perbuatan penggunjingan yang telah dilakukan.
Dampak buruknya, orang tersebut akan menjadi malu untuk bersilaturrahiim, malu pergi ke masjid dan pengajian, dengan kata lain akan semakin jauh dari agama bahkan pada titik tertentu akan menyebabkan seseorang untuk melakukan percobaan bunuh diri.
Bagaimana kita akan mempertanggungjawabkan perbuatan kita tersebut di hadapan Allah kelak seandainya saja akibat dari perbuatan kita tersebut telah menyebabkan seseorang menjadi enggan untuk bertaubat dan memperdalam agama?
Apa keuntungannya bila kita mencari-cari dan menggunjingkan keburukan seseorang? Tidak ada sama sekali, yang ada hanyalah fitnah besar bagi yang digunjingkan dan dosa besar bagi yang menggunjingkannya.
Oleh karena itu bila kita mengaku sebagai orang yang beriman, janganlah mencari-cari keburukan seseorang apalagi menggunjingkannya, seandainya bila memang kita mengetahui ada keburukan pada seseorang, maka bukankah Allah dan Rasul-Nya menyuruh kita untuk berdakwah amar ma’ruf dengan lembut? Adapun bila kita jumpai kekurangan seseorang, maka tutuplah kekurangan orang tersebut jangan disebarluaskan ataupun digunjingkan, itulah sebenar-benarnya sifat seorang yang beriman dan pasti ada nilai ibadahnya.
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhoan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.”
[Q.S. an-Nisaa’ 4:114]
[Q.S. an-Nisaa’ 4:114]
Inilah salah satu kesempurnaan dari Islam yang mungkin sering dilupakan atau bahkan secara tidak sadar diabaikan oleh umatnya, yaitu menjaga umatnya dari dampak bahaya mencari-cari dan menggunjing keburukan (aib) seseorang. Alasan mengapa Islam tidak memperbolehkan perbuatan menyebarluaskan keburukan seseorang ini karena dampak negatifnya atau madharat-nya lebih besar.
Kita akan menjadi cenderung melebih-lebihkan berita dari fakta sebenarnya sehingga kita sendiri menjadi sangat rawan untuk menghakimi langsung tanpa proses pembuktian di peradilan. Yang mengerikan lagi, orang yang tidak bersalah berikut harta bendanya yang tidak ada sangkut pautnya dengan gosip permasalahan tersebut, ikut menjadi korban.
Perbuatan ini pun justru akan semakin mempersempit peluang orang yang bersangkutan untuk bertaubat dan semakin enggan untuk memperdalam agama.
Islam punya tingkatan-tingkatan tertentu dalam aturan hukumnya untuk menyelesaikan suatu masalah. Dan apabila dipahami dengan benar oleh umatnya, niscaya akan diketahui bahwa metode dalam Islam bersifat holistik tidak tertuju pada satu objek yang dipermasalahkan saja.
Tidak hanya orang yang bersalah diatur cara hukumannya, tetapi kita yang tidak terlibat pun disuruh untuk bermuhasabah (intropeksi diri). Bisa jadi orang tersebut melakukan kesalahannya karena kita sendiri yang tidak mau mengamalkan apa yang dianjurkan oleh Islam, seperti di antaranya:
- Berahlak mulia (ahlakul karimah) sebagaimana ahlak Rasulullah s.a.w.,
- Berdakwah mendidik dan memberi pengetahuan yang baik kepada lingkungan sekitar,
- Kepedulian sosial membantu dan menyantuni orang-orang yang tidak mampu,
- Menasehati dengan lembut dan mendidik orang yang bersalah agar ia mau bertaubat dan kembali ke jalan yang benar.
Begitulah kesempurnaan Islam yang selalu bersifat holistik dalam mengatur gerak hidup umatnya. Sifat holistik ini ditunjukkan dalam falsafah “Islam Rahmatan Lil ‘Alamin”:
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
[Q.S. al-Anbiyaa’ 21:107]
[Q.S. al-Anbiyaa’ 21:107]
ADZAB YANG BESAR BAGI YANG MENCARI-CARI DAN MENYEBAR KEBURUKAN SESEORANG
Sebagai pelajaran hikmah dampak buruk dari perbuatan mencari-cari dan menggunjingkan serta menyebarluaskan keburukan seseorang, bacalah al-Qur’an surat an-Nuur 24:11-20 yang berlatar belakang tentang kisah pembelaan Allah terhadap Aisyah yang ditimpa fitnah besar dan kemudian bagaimana Allah mengutuk dan mengadzab perbuatan tersebut.
11: “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.”
12: “Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminah tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: Ini adalah suatu berita bohong yang nyata."
13: “Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta.”
14: “Sekiranya tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong itu.”
15: “(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.”
16: “Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu: Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar."
17: “Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali berbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.”
18: “Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
19: “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.”
20: “Dan sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua, dan Allah Maha Penyantun dan Maha Penyayang, (niscaya kamu akan ditimpa azab yang besar).”