Sebuah gambaran betapa rapuhnya ilmu dan teknologi kedokteran
Judul di atas sepertinya tepat untuk menggambarkan bagaimana ilmu kedokteran barat maupun timur yang ada selama ini. Ilmu kedokteran barat saat ini memang demikian luas dan maju serta pesat perkembangannya dibandingkan dengan sistem kedokteran manapun di dunia saat ini. Namun demikian, bagian yang diketahui baik ilmu kedokteran barat yang demikian sophisticated dan complicated digabung dengan sistem kedokteran timur atau sistem kedokteran tradisional mana pun di belahan bumi yang terpencil, masih belum ada apa-apanya bila dibandingkan dengan bagian yang tidak diketahui. Kedokteran barat sangat menonjol dalam penanganan infeksi, trauma dan operatif. Kedokteran timur dalam beberapa hal bisa menjadi komplemen dalam meringankan penyakit-penyakit degeneratif. Namun baik kedua sistem kedokteran ini tidak ada yang mengklaim bisa menyembuhkan semua penyakit hingga tuntas termasuk bebas efek samping sama sekali.
Sebagai contoh, dulu sebelum ditemukannya obat penurun kadar gula darah, penyakit diabetes melitus adalah penyakit yang mematikan. Dipastikan orang dengan gejala trias diabet klasik, banyak makan, banyak minum dan banyak kencing dengan kadar gula tinggi akan meninggal dalam waktu dekat, karena tidak ada obat yang bisa membantu menangani permasalahan akibat koma hiperglikemi. Sebaliknya setelah para ahli di bidang farmasi dan kedokteran bisa menemukan obat antidiabet dengan merangsang pankreas untuk memproduksi insulin, untuk sementara penderita diabet dapat bernafas lega dalam beberapa tahun bahkan berpuluh tahun kemudian bahkan bisa memasuki kehidupan lanjut usia. Sementara usia penderita bisa bertahan lama, pada saat yang sama beban yang dihadapi semakin membebani dan semakin tumpuk menumpuk sejalan dengan lamanya penyakit dan bertambahnya satu demi satu komplikasi yang muncul. Biaya ekonomi jelas merupakan akibat yang harus ditanggung bersamaan dengan jumlah obat dan pelayanan kedokteran dan pendukungnya yang harus dikonsumsi untuk memperpanjang kesempatan hidup “normal” penderita. Dengan berjalannya waktu, komplikasi makin bertambah, melibatkan banyak gangguan dan kerusakan berbagai organ, dan lagi-lagi perawatan bertambah dan terus bertambah dan tentu saja biaya yang kian membengkak.
Masih banyak lagi contoh penyakit-penyakit yang sampai saat ini masih tetap misteri. Penyakit keganasan, penyakit kelainan genetik, penyakit autoimun, penyakit-penyakit yang menyerang sisi mental manusia dan masih banyak yang tidak bisa disebutkan, yang akhirnya manusia lewat ilmu dan teknologi kedokteran akhirnya hanya bisa melakukan tindakan paliatif, sebuah tindakan yang memberikan efek minimal pada perbaikan penyakit.
Namun harus secara jujur diakui ada peningkatan pesat di satu sisi, di sisi lain, ada harapan yang dilambungkan demikian tingginya pada sisi psikologis manusia modern yang sakit, juga tidak lupa biaya kesehatan yang menyertainya. Perkembangan lainnya adalah beberapa dampak dari pengaruh pasar yang merembes dan merasuk dalam praktik kedokteran dan farmasi yang ikut andil dalam membuat mahalnya biaya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal. “Fatwa” dokter ternyata bisa dibeli oleh pengaruh “pasar” yang mengontaminasi praktik kedokteran dan farmasi ini. Beberapa hal mungkin bisa dibenarkan, misalnya sebagai ganti biaya riset yang memakan waktu yang lama dan menghabiskan biaya besar. Juga hak kekayaan intelektual yang harus dihargai.
Agak utopis mungkin, kalau berharap dokter bisa kaya di luar dari praktik pelayanan kedokteran yang mereka berikan kepada masyarakat. Dokter melakukan praktik didasari “hobi” yang dilakukan secara serius. Seperti ulama fiqh yang fenomenal dalam sejarah intelektual umat Islam Imam Abu Hanifah, seorang ulama yang mengkhidmadkan diri pada penetapan hukum Islam di semua sektor kehidupan umat Islam, tidak peduli dalam pengaturan kehidupan khalifah (penguasa) yang penuh kuasa dan bisa memaksa. Selain ulama dia seorang pengusaha, yang jenis usahanya tidak ada kaitannya sama sekali dengan penguasaan ilmu hukum Islam. Beliau adalah pengusaha yang memfokuskan diri pada perdagangan kain sutera hingga lintas negara. Ungkapannya yang begitu fenomenal adalah “Aku kaya karena aku tidak ingin fatwaku terbeli oleh siapapun”. Dalam konteks yang sebanding, alangkah indahnya bila seorang dokter yang mengatakan “aku kaya (bukan dari pasien) agar fatwaku (resepku) tidak terbeli (oleh semangat pasar yang merasuki kehidupan pelayanan dokter dan farmasi)”. Sungguh indah sekali.
Memang akhirnya hanya bisa berkata, tidak ada yang sempurna. Kedokteran beserta sistem pendukungnya hanyalah setetes air laut yang tertinggal di jarum setelah dia dicelupkan dari lautan yang sangat luas. Wallahua’lam