Tentang Mimpi dan Narasi Besar PKS
Muhammad Iqbal Sandira
Penggiat Pusat Studi Demokrasi dan Kebangsaan (PUSDEK) Indonesia
Penggiat Pusat Studi Demokrasi dan Kebangsaan (PUSDEK) Indonesia
Saya harus mengakui, tanggapan saudara Fajlurrahman kepada saudara Irwan agak bernuansa sarkasme. Tetapi sebagai seorang aktivis muda yang gairah idealismenya masih tinggi maka saya sangat memaklumi ungkapan–ungkapan kekecewaan dari saudara saya tersebut. Tanpa mengenyampingkan seloroh sarkasme saudara Fajlurrahman, kita harus obyektif bahwa banyak tersurat argumen bernas dari beliau. Tulisan saya ini merupakan tanggapan berantai tulisan di harian tribun timur dari saudara Aswar Hasan (18/12), Irwan (22/12), Fajlurrahman (27/12) dan terakhir Yaumil Jannah (05/01) yang semuanya saya kenal secara pribadi.
Negeri Mimpi
Saudari Yaumil mengambil contoh tentang mimpi putra – putra Amerika seperti Wright bersaudara, Thomas Alfa Edison, Frederick W Smith. Analogi itu ada benarnya, tetapi saya kira tidak lengkap point of view-nya. Kita tahu bahwa cikal bakal Negara Amerika Serikat adalah kesepakatan para pemberani yang ingin lepas dari jeratan landlord yang mayoritas menguasai daratan eropa pada saat itu. Mereka nekat mengarungi samudera yang luas hanya untuk mewujudkan mimpinya tersebut. Jikalau khilafah islamiah besar karena kemapanan sebuah wahyu, maka AS besar karena pergolakan filosofis tentang ide dan mimpi yang memakan waktu beratus –ratus tahun.
Orang–orang Amerika memang sangat menyenangi mimpi, salah satu contoh kecil adalah banyaknya tokoh superhero kartun yang lahir disana. Mulai dari Superman sampai Spiderman memberikan inspirasi kepahlawanan kepada anak – anak Amerika bahkan dunia. Orang Amerika memang senang bermimpi, tetapi mimpi mereka tidak pernah set back lagi ke masa lalu.
Ketika ratusan tahun yang lalu nenek moyang mereka berangkat ke Amerika dengan status pekerja atau buruh pelayan para tuan tanah Eropa, maka ketika perang dunia ke 2 cucu-cucu mereka datang kembali ke Eropa dengan status sebagai pahlawan untuk menyelamatkan benua yang pernah menyepelekan mereka. Hingga hasilnya, di akhir perang dunia ke 2 Amerika berhasil menggeser posisi Inggris sebagai negara superpower dunia. Sampai detik ini, tidak pernah seorang Amerikapun bersuara ingin kembali pada keadaan dimana mereka inferior dibanding Eropa.
Atau ketika mimpi para afro-American untuk setara dengan warga Negara Amerika lainnya sudah tercapai, bahkan salah satu di antaranya sudah menjadi presiden (Obama). Maka sebuah langkah mundur ketika masih mengenang masa tahun 60-an disaat rasisme kulit hitam memuncak. Karena mimpi mereka terus maju ke depan bukan menapak mundur.
Kembali ke soal mimpi PKS, alih–alih berpikiran ke depan, PKS malah mencuatkan kembali isu–isu lawas seperti politik aliran, dendam antargenerasi, lalu menyematkan gelar pahlawan dan guru bangsa kepada Suharto. Lantas tanpa rasa bersalah menyebut semua itu adalah impian masa depan. Sehingga nampaknya PKS ingin mengajak kita untuk kembali bernostalgia ke masa lalu. Karena secara tidak langsung (semoga tidak) pernyataan tersebut mengakui bahwa keadaan di bawah rezim Suharto lebih baik atau minimal setara dengan kebebasan yang kita hirup saat ini.
Saya sebenarnya khawatir, ketika isu-isu lama ini dicuatkan kembali di berbagai media massa maka yang terjadi bukan kebaikan seperti yang diidamkan oleh PKS. Tetapi yang terjadi adalah merapatnya kembali barisan yang tersinggung, ternostalgiakannya lagi massa akar rumput akan isu-isu politik aliran.
Politik Aliran
Selain Suharto, argumen kekhawatiran terhadap politik aliran juga merupakan sebuah langkah yang mundur. Karena politik aliran tidak bisa lepas dari pengalaman masa lampau. Clifford Geertz yang pertama kali mengenalkan istilah politik aliran di Indonesia. Geertz saat itu mengamati perpolitikan di Indonesia pada masa pasca-kemerdekaan. Ia sebenarnya membandingkan dengan apa yang diamatinya di negeri Belanda, di mana politik di negeri itu didasarkan dengan pilar-pilar sosial tertentu.
Dr. Mochtar Pabottingi, peneliti utama LIPI, berpendapat, dikotomi nasional-Islam tidak relevan atau tidak mengena lagi. Karena peta politik dunia dan di Indonesia sudah berubah, sudah tidak ada lagi politik aliran. Munculnya kekhawatiran yang dilontarkan banyak kalangan (salah satunya saudara Irwan) terhadap adanya politik aliran di Indonesia, sama sekali tidak mendasar. Politik aliran di Indonesia sangat sulit terjadi pada era 2000-an ini.
Kenapa kekhawatiran tersebut sama sekali tidak mendasar? Jawabannya sangat sederhana. Dalam konteks politik tahun 2000-an sama sekali berbeda dengan politik masa pasca-kemerdekaan. Untuk itu, kehadiran Islam dan politik Indonesia kontemporer tak ada kaitannya dengan politik aliran. Namun merupakan konsekuensi logis dari proses politik di Indonesia.
Ditambah lagi saat ini, hubungan antara umat Islam dengan orsospol, mayoritas tidak lagi bersifat ideologis. Tapi, lebih bersifat aspiratif. Hubungan kiai sebagai patron dan santri sebagai klien telah dipengaruhi oleh pola modernisasi yang terus berkembang. Dalam hal agama, hubungan patron-klien masih bisa diterapkan. Tapi, dengan politik, si klien tidak bisa lagi mengikuti pola hubungan itu. Jadi, dalam masalah politik, telah terjadi penurunan peran kiai sebagai patron dan broker (perantara) politik. Dalam hubungan politik, santri tidak segan-segan berbeda pandangan dengan kiainya.
Sedangkan kalau kita lihat di Amerika, dimana Negara ini bisa dilukiskan sebagai melting pot atau pluralistic society. Meskipun secara sepintas budaya Eropa Barat khususnya Inggris terlihat mendominasi gaya hidup orang AS, banyak imigran tetap mempertahankan karakteristiknya dari generasi ke generasi. Karena perbedaan karakteristik itulah, banyak orang di AS senang membanggakan dirinya dengan sebutan seperti Italian-American, Afro-American, Chinese-American, Portuguese-American dan seterusnya. Sebagian besar orang AS menganggap bahwa perbedaan-perbedaan kebudayaan yang banyak itu memberikan kekuatan dan kekayaan bangsa. Bukan malah menjadi jangkar buat kemajuan bangsa Amerika seperti yang di”tesis”kan oleh saudara Irwan, tetapi keragaman itu malah akan menjadi sumbu buat perpaduan akselerasi yang harmonis bagi perkembangan bangsa dan negara.
Dendam Antar Generasi
Salah satu alasan lain yang diungkapkan oleh Irwan untuk membenarkan iklan tersebut adalah untuk menghilangkan dendam antar generasi.
Membangun negara adalah membangun sebuah peradaban yang estafetik, sulit terputus total satu generasi ke generasi yang lain. Dan itu yang terjadi di Negara Indonesia. Sejarah Indonesia memaparkan: tidak pernah ada cut off 100 % dalam proses pergantian generasi. Ketika rezim orde lama berakhir dan muncul orde baru, pelaku–pelaku orde baru adalah kader-kader terbaik orde lama. Ketika orde reformasi menggantikan orde baru, yang berkuasa pun kader-kader terbaik orde baru. Juga tidak ada yang saling kutuk berlebihan. Yang saling kutuk itu adalah orang–orang di luar lingkar kekuasaan. Para pewaris amanat malah saling kontak. Mengambil yang baik – baik dari orde sebelumnya, bahkan yang buruk-burukpun diteruskan oleh orde berikutnya. Contoh nyata warisan tersebut adalah korupsi!
Sehingga saya lebih cenderung sepakat pada ide “memutus satu generasi plus kepemimpinan kaum muda ” yang pernah diapungkan dan dipelopori oleh saudara Irwan ketika masih menjadi pimpinan salah satu organisasi intra kampus (2002 – 2003). Karena dengan memutus mata rantai setan tersebut secara tidak langsung akan memutus warisan – warisan masa lalu yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Semoga saudara Irwan tidak benar – benar (maaf) mengidap “amnesia politik” untuk mengingat lagi ide tersebut.
Tentang Mimpi
Setiap orang boleh bermimpi, setiap orang boleh bercita–cita. Tetapi bagi sebuah partai politik ada aturan main tersendiri yang harus dipatuhi. Dengan konsideran bahwa setiap tindak–tanduknya merupakan representasi aspirasi konstituennya maka alangkah bijaksananya jikalau setiap kebijakan yang dikeluarkan tidak menyakiti hati dan perasaan konstituen yang pernah mendukungnya.
Sebagai salah satu unsur/anggota partai politik yang mewakili aspirasi konstituennya, adalah sangat tidak etis ketika merespon sebuah kritikan dengan mengatakan bahwa mimpi partainya tidaklah menyakiti siapapun atau hendak mencederai siapapun (faktanya: aktivis 98 meradang). Ditambah lagi dengan ungkapan bahwa yang mengkritik bukanlah bagian dari orang yang harus berdarah-darah dan bergelimang air mata untuk membesarkan partainya tercinta, apa urusan yang mengkritik?
Pernyataan ini adalah sebuah pernyataan yang (maaf) “tidak tahu diri”. Harusnya saudari Yaumil sedikit bercermin, darimanakah sumber suara PKS hingga menjadi besar seperti sekarang ini ? Apakah saudari Yaumil pura – pura tidak tahu berapa pemilih PKS dalam pemilu 2004 ? Jumlahnya 8.325.020 pemilih (Site KPU). Lantas, berapa di antaranya yang merupakan kader PKS ? Hanya 300.000 orang ( PKS Online, tahun 2005). Artinya apa ? Berarti 96,37% adalah pemilih non kader, atau istilah lainnya swing voter, dan mungkin saja termasuk saudara Fajlurrahman di dalamnya. Kalau setiap swing voter ini mengkritik PKS, lantas beranikah anda untuk mengatakan kepada mereka semua : apa hak anda untuk mengkritik? Apakah anda sudah berlinang–linang air mata dan berdarah-darah untuk membangun PKS? Terus dimanakah posisi slogan : PKS Mendengar? Ataukah cuma slogan pragmatis menjelang 2009? Semoga tidak.
Yang perlu diingat lagi dari bahasan ini, bahwa partai politik adalah sebuah organisasi politik publik. Artinya ketika sebuah komunitas memutuskan dirinya menjadi partai politik maka sudah selayaknya dia siap untuk menerima berbagai komentar dalam berbagai bentuk, apakah sanjungan, pujian ataukah kritikan dan cercaan. Bukan lantas menjadi pihak antikritik yang hanya siap mendengar kabar baik tetapi sulit menerima berita buruk tentang partainya. Itulah resiko ketika menjadi partai politik, harus siap disoroti gerak–geriknya, siap di kritik secara publik. Dan saya rasa, kritikan itu bukan ditujukan buat PKS semata, tetapi untuk seluruh partai yang ingin atau telah menceburkan dirinya dalam kehidupan politik praktis. Kedewasaan menerima kritik adalah salah satu indikasi utama, apakah partai anda akan bisa menjadi partai yang besar kedepannya atau tidak.
Finnitto!
Selayang Pandang Dari Ikbal :
Apalagi sebenarnya yang melempar isu itu sendiri adalah pihak yang tidak bisa lepas dari politik tokoh dan politik simbol. Artinya apa nih ikbal? Artinya, figuritas tokoh dalam PKS sendiri bukanlah barang langka.
Hampir semua kader PKS tahu bahwa di struktur DPP ada satu tokoh yang sangat didengar pendapatnya dan nyaris mendominasi seluruh kebijakan partai. Yang bertentangan dengan beliau pasti akan tergusur (ustad Mshd, ustad DR, ustad Ihsn T, dan masih banyak yang lain menjadi contoh) dan kalau ada kebijakan syuro yang tidak sesuai dengan beliau maka digunakanlah hak yang mirip dengan “veto”-nya Amerika di PBB.
Apakah saya mengarang atau memfitnah? Demi Allah dan RasulNya! Saya pernah mengalaminya sendiri! Sewaktu pilpres tahun 2004 (saya masih ikut ngaji di PKS), syuro DPP PKS adalah mendukung Amin Rais. Tapi pada hari H pencoblosan ada SMS liar yang tersebar pada beberapa jalur halaqah untuk mendukung Wiranto. SMS itu sampai ke saya di waktu subuh hari selanjutnya untuk memastikan saya ditelepon oleh rekan “satu jalur”. Kata teman saya tersebut MR menyuruh kita untuk coblos Wiranto. Terus saya bertanya : “Lho, katanya milih Amin Rais oleh DPP?”. Teman saya menjawab : “Sudah, antum taat saja! Ini taklimat!” Gubrak…Bingung saya?
Belakangan saya baru tahu dari beberapa sumber, bahwa sidang majelis syuro diulang sampai 9 kali karena tidak sesuai dengan pendapat “The Grand Master”. Akhirnya, karena sudah terlalu lama memakan waktu beliau menerima saja hasil syuro tersebut. Tapi bukannya melaksanakan sesuai dengan kaidah syuro, banyak bukti manuver-manuver diluar syuro yang sangat mencederai hasil ijtihad ini. Seperti taklimat yang saya terima di hari H tersebut.
Sedangkan pada isu politik simbol, dengan menggunakan slogan “PKS kuning tonji” (meminjam istilah ustad Aswar Hasan, “nah lho?hehehe) maka secara tidak langsung merupakan cermin kenaifan berpolitik. Meskipun berapologi bahwa ini adalah salah satu taktik untuk menghilangkan politik simbol itu sendiri. Tetapi kalau dicermati lebih jauh maka yang nampak adalah PKS terperangkap dalam ruang sempit analoginya.
Karena dengan begitu, maka PKS menganggap bahwa masyarakat sekarang adalah masyarakat yang sama dengan masyarakat di tahun awal kemerdekaan yang diamati oleh embah Geertz. Sama dari pranata sosialnya, sama dari sisi pendidikan politiknya, sama dari jaringan informasinya, sama dari segala sisi. Kalau PKS masih berpendapat seperti itu, saya takutkan partai yang pernah menjadi harapan terbesar saya untuk mengubah negeri ini akan terperangkap dalam kuldesak politik yang rumit dan melelahkan. Semoga tidak…amin…
Mungkin ada diantara anda kader PKS yang mengatakan : Apa hak ente bicara tentang PKS? Emang ente sudah berbuat apa ke PKS? Emang ente kader PKS? Jangan pintar komen doang!
Jawab : Saya bukan kader PKS, dan saya belum menyumbang apapun buat PKS. Tetapi ingat saya salah satu pemilih anda di tahun 2004! Entah tahun 2009, masih liat2 dulu (hehe), yang jelas saya tidak akan golput. …Apakah saya salah jikalau saya mengkritik partai yang pernah saya sumbangkan saham 1 biji suara itu ?
Dalam logika politik demokrasi, sebuah kebijakan partai berhak dikritisi oleh konstituennya. Jadi kalau tidak siap dengan konsekwensi itu, kenapa memutuskan terjun ke politik praktis? Dan logika seperti inilah yang menjadi ambigu persepsi terhadap semboyan jamaah adalah partai, partai adalah jamaah. Insya Allah saya akan menerbitkan tulisan saya tentang masalah ini tidak lama lagi. Tunggu saja.hehehehe….
Wassalam …
Ketika ratusan tahun yang lalu nenek moyang mereka berangkat ke Amerika dengan status pekerja atau buruh pelayan para tuan tanah Eropa, maka ketika perang dunia ke 2 cucu-cucu mereka datang kembali ke Eropa dengan status sebagai pahlawan untuk menyelamatkan benua yang pernah menyepelekan mereka. Hingga hasilnya, di akhir perang dunia ke 2 Amerika berhasil menggeser posisi Inggris sebagai negara superpower dunia. Sampai detik ini, tidak pernah seorang Amerikapun bersuara ingin kembali pada keadaan dimana mereka inferior dibanding Eropa.
Atau ketika mimpi para afro-American untuk setara dengan warga Negara Amerika lainnya sudah tercapai, bahkan salah satu di antaranya sudah menjadi presiden (Obama). Maka sebuah langkah mundur ketika masih mengenang masa tahun 60-an disaat rasisme kulit hitam memuncak. Karena mimpi mereka terus maju ke depan bukan menapak mundur.
Kembali ke soal mimpi PKS, alih–alih berpikiran ke depan, PKS malah mencuatkan kembali isu–isu lawas seperti politik aliran, dendam antargenerasi, lalu menyematkan gelar pahlawan dan guru bangsa kepada Suharto. Lantas tanpa rasa bersalah menyebut semua itu adalah impian masa depan. Sehingga nampaknya PKS ingin mengajak kita untuk kembali bernostalgia ke masa lalu. Karena secara tidak langsung (semoga tidak) pernyataan tersebut mengakui bahwa keadaan di bawah rezim Suharto lebih baik atau minimal setara dengan kebebasan yang kita hirup saat ini.
Saya sebenarnya khawatir, ketika isu-isu lama ini dicuatkan kembali di berbagai media massa maka yang terjadi bukan kebaikan seperti yang diidamkan oleh PKS. Tetapi yang terjadi adalah merapatnya kembali barisan yang tersinggung, ternostalgiakannya lagi massa akar rumput akan isu-isu politik aliran.
Politik Aliran
Selain Suharto, argumen kekhawatiran terhadap politik aliran juga merupakan sebuah langkah yang mundur. Karena politik aliran tidak bisa lepas dari pengalaman masa lampau. Clifford Geertz yang pertama kali mengenalkan istilah politik aliran di Indonesia. Geertz saat itu mengamati perpolitikan di Indonesia pada masa pasca-kemerdekaan. Ia sebenarnya membandingkan dengan apa yang diamatinya di negeri Belanda, di mana politik di negeri itu didasarkan dengan pilar-pilar sosial tertentu.
Dr. Mochtar Pabottingi, peneliti utama LIPI, berpendapat, dikotomi nasional-Islam tidak relevan atau tidak mengena lagi. Karena peta politik dunia dan di Indonesia sudah berubah, sudah tidak ada lagi politik aliran. Munculnya kekhawatiran yang dilontarkan banyak kalangan (salah satunya saudara Irwan) terhadap adanya politik aliran di Indonesia, sama sekali tidak mendasar. Politik aliran di Indonesia sangat sulit terjadi pada era 2000-an ini.
Kenapa kekhawatiran tersebut sama sekali tidak mendasar? Jawabannya sangat sederhana. Dalam konteks politik tahun 2000-an sama sekali berbeda dengan politik masa pasca-kemerdekaan. Untuk itu, kehadiran Islam dan politik Indonesia kontemporer tak ada kaitannya dengan politik aliran. Namun merupakan konsekuensi logis dari proses politik di Indonesia.
Ditambah lagi saat ini, hubungan antara umat Islam dengan orsospol, mayoritas tidak lagi bersifat ideologis. Tapi, lebih bersifat aspiratif. Hubungan kiai sebagai patron dan santri sebagai klien telah dipengaruhi oleh pola modernisasi yang terus berkembang. Dalam hal agama, hubungan patron-klien masih bisa diterapkan. Tapi, dengan politik, si klien tidak bisa lagi mengikuti pola hubungan itu. Jadi, dalam masalah politik, telah terjadi penurunan peran kiai sebagai patron dan broker (perantara) politik. Dalam hubungan politik, santri tidak segan-segan berbeda pandangan dengan kiainya.
Sedangkan kalau kita lihat di Amerika, dimana Negara ini bisa dilukiskan sebagai melting pot atau pluralistic society. Meskipun secara sepintas budaya Eropa Barat khususnya Inggris terlihat mendominasi gaya hidup orang AS, banyak imigran tetap mempertahankan karakteristiknya dari generasi ke generasi. Karena perbedaan karakteristik itulah, banyak orang di AS senang membanggakan dirinya dengan sebutan seperti Italian-American, Afro-American, Chinese-American, Portuguese-American dan seterusnya. Sebagian besar orang AS menganggap bahwa perbedaan-perbedaan kebudayaan yang banyak itu memberikan kekuatan dan kekayaan bangsa. Bukan malah menjadi jangkar buat kemajuan bangsa Amerika seperti yang di”tesis”kan oleh saudara Irwan, tetapi keragaman itu malah akan menjadi sumbu buat perpaduan akselerasi yang harmonis bagi perkembangan bangsa dan negara.
Dendam Antar Generasi
Salah satu alasan lain yang diungkapkan oleh Irwan untuk membenarkan iklan tersebut adalah untuk menghilangkan dendam antar generasi.
Membangun negara adalah membangun sebuah peradaban yang estafetik, sulit terputus total satu generasi ke generasi yang lain. Dan itu yang terjadi di Negara Indonesia. Sejarah Indonesia memaparkan: tidak pernah ada cut off 100 % dalam proses pergantian generasi. Ketika rezim orde lama berakhir dan muncul orde baru, pelaku–pelaku orde baru adalah kader-kader terbaik orde lama. Ketika orde reformasi menggantikan orde baru, yang berkuasa pun kader-kader terbaik orde baru. Juga tidak ada yang saling kutuk berlebihan. Yang saling kutuk itu adalah orang–orang di luar lingkar kekuasaan. Para pewaris amanat malah saling kontak. Mengambil yang baik – baik dari orde sebelumnya, bahkan yang buruk-burukpun diteruskan oleh orde berikutnya. Contoh nyata warisan tersebut adalah korupsi!
Sehingga saya lebih cenderung sepakat pada ide “memutus satu generasi plus kepemimpinan kaum muda ” yang pernah diapungkan dan dipelopori oleh saudara Irwan ketika masih menjadi pimpinan salah satu organisasi intra kampus (2002 – 2003). Karena dengan memutus mata rantai setan tersebut secara tidak langsung akan memutus warisan – warisan masa lalu yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Semoga saudara Irwan tidak benar – benar (maaf) mengidap “amnesia politik” untuk mengingat lagi ide tersebut.
Tentang Mimpi
Setiap orang boleh bermimpi, setiap orang boleh bercita–cita. Tetapi bagi sebuah partai politik ada aturan main tersendiri yang harus dipatuhi. Dengan konsideran bahwa setiap tindak–tanduknya merupakan representasi aspirasi konstituennya maka alangkah bijaksananya jikalau setiap kebijakan yang dikeluarkan tidak menyakiti hati dan perasaan konstituen yang pernah mendukungnya.
Sebagai salah satu unsur/anggota partai politik yang mewakili aspirasi konstituennya, adalah sangat tidak etis ketika merespon sebuah kritikan dengan mengatakan bahwa mimpi partainya tidaklah menyakiti siapapun atau hendak mencederai siapapun (faktanya: aktivis 98 meradang). Ditambah lagi dengan ungkapan bahwa yang mengkritik bukanlah bagian dari orang yang harus berdarah-darah dan bergelimang air mata untuk membesarkan partainya tercinta, apa urusan yang mengkritik?
Pernyataan ini adalah sebuah pernyataan yang (maaf) “tidak tahu diri”. Harusnya saudari Yaumil sedikit bercermin, darimanakah sumber suara PKS hingga menjadi besar seperti sekarang ini ? Apakah saudari Yaumil pura – pura tidak tahu berapa pemilih PKS dalam pemilu 2004 ? Jumlahnya 8.325.020 pemilih (Site KPU). Lantas, berapa di antaranya yang merupakan kader PKS ? Hanya 300.000 orang ( PKS Online, tahun 2005). Artinya apa ? Berarti 96,37% adalah pemilih non kader, atau istilah lainnya swing voter, dan mungkin saja termasuk saudara Fajlurrahman di dalamnya. Kalau setiap swing voter ini mengkritik PKS, lantas beranikah anda untuk mengatakan kepada mereka semua : apa hak anda untuk mengkritik? Apakah anda sudah berlinang–linang air mata dan berdarah-darah untuk membangun PKS? Terus dimanakah posisi slogan : PKS Mendengar? Ataukah cuma slogan pragmatis menjelang 2009? Semoga tidak.
Yang perlu diingat lagi dari bahasan ini, bahwa partai politik adalah sebuah organisasi politik publik. Artinya ketika sebuah komunitas memutuskan dirinya menjadi partai politik maka sudah selayaknya dia siap untuk menerima berbagai komentar dalam berbagai bentuk, apakah sanjungan, pujian ataukah kritikan dan cercaan. Bukan lantas menjadi pihak antikritik yang hanya siap mendengar kabar baik tetapi sulit menerima berita buruk tentang partainya. Itulah resiko ketika menjadi partai politik, harus siap disoroti gerak–geriknya, siap di kritik secara publik. Dan saya rasa, kritikan itu bukan ditujukan buat PKS semata, tetapi untuk seluruh partai yang ingin atau telah menceburkan dirinya dalam kehidupan politik praktis. Kedewasaan menerima kritik adalah salah satu indikasi utama, apakah partai anda akan bisa menjadi partai yang besar kedepannya atau tidak.
Finnitto!
Selayang Pandang Dari Ikbal :
Apalagi sebenarnya yang melempar isu itu sendiri adalah pihak yang tidak bisa lepas dari politik tokoh dan politik simbol. Artinya apa nih ikbal? Artinya, figuritas tokoh dalam PKS sendiri bukanlah barang langka.
Hampir semua kader PKS tahu bahwa di struktur DPP ada satu tokoh yang sangat didengar pendapatnya dan nyaris mendominasi seluruh kebijakan partai. Yang bertentangan dengan beliau pasti akan tergusur (ustad Mshd, ustad DR, ustad Ihsn T, dan masih banyak yang lain menjadi contoh) dan kalau ada kebijakan syuro yang tidak sesuai dengan beliau maka digunakanlah hak yang mirip dengan “veto”-nya Amerika di PBB.
Apakah saya mengarang atau memfitnah? Demi Allah dan RasulNya! Saya pernah mengalaminya sendiri! Sewaktu pilpres tahun 2004 (saya masih ikut ngaji di PKS), syuro DPP PKS adalah mendukung Amin Rais. Tapi pada hari H pencoblosan ada SMS liar yang tersebar pada beberapa jalur halaqah untuk mendukung Wiranto. SMS itu sampai ke saya di waktu subuh hari selanjutnya untuk memastikan saya ditelepon oleh rekan “satu jalur”. Kata teman saya tersebut MR menyuruh kita untuk coblos Wiranto. Terus saya bertanya : “Lho, katanya milih Amin Rais oleh DPP?”. Teman saya menjawab : “Sudah, antum taat saja! Ini taklimat!” Gubrak…Bingung saya?
Belakangan saya baru tahu dari beberapa sumber, bahwa sidang majelis syuro diulang sampai 9 kali karena tidak sesuai dengan pendapat “The Grand Master”. Akhirnya, karena sudah terlalu lama memakan waktu beliau menerima saja hasil syuro tersebut. Tapi bukannya melaksanakan sesuai dengan kaidah syuro, banyak bukti manuver-manuver diluar syuro yang sangat mencederai hasil ijtihad ini. Seperti taklimat yang saya terima di hari H tersebut.
Sedangkan pada isu politik simbol, dengan menggunakan slogan “PKS kuning tonji” (meminjam istilah ustad Aswar Hasan, “nah lho?hehehe) maka secara tidak langsung merupakan cermin kenaifan berpolitik. Meskipun berapologi bahwa ini adalah salah satu taktik untuk menghilangkan politik simbol itu sendiri. Tetapi kalau dicermati lebih jauh maka yang nampak adalah PKS terperangkap dalam ruang sempit analoginya.
Karena dengan begitu, maka PKS menganggap bahwa masyarakat sekarang adalah masyarakat yang sama dengan masyarakat di tahun awal kemerdekaan yang diamati oleh embah Geertz. Sama dari pranata sosialnya, sama dari sisi pendidikan politiknya, sama dari jaringan informasinya, sama dari segala sisi. Kalau PKS masih berpendapat seperti itu, saya takutkan partai yang pernah menjadi harapan terbesar saya untuk mengubah negeri ini akan terperangkap dalam kuldesak politik yang rumit dan melelahkan. Semoga tidak…amin…
Mungkin ada diantara anda kader PKS yang mengatakan : Apa hak ente bicara tentang PKS? Emang ente sudah berbuat apa ke PKS? Emang ente kader PKS? Jangan pintar komen doang!
Jawab : Saya bukan kader PKS, dan saya belum menyumbang apapun buat PKS. Tetapi ingat saya salah satu pemilih anda di tahun 2004! Entah tahun 2009, masih liat2 dulu (hehe), yang jelas saya tidak akan golput. …Apakah saya salah jikalau saya mengkritik partai yang pernah saya sumbangkan saham 1 biji suara itu ?
Dalam logika politik demokrasi, sebuah kebijakan partai berhak dikritisi oleh konstituennya. Jadi kalau tidak siap dengan konsekwensi itu, kenapa memutuskan terjun ke politik praktis? Dan logika seperti inilah yang menjadi ambigu persepsi terhadap semboyan jamaah adalah partai, partai adalah jamaah. Insya Allah saya akan menerbitkan tulisan saya tentang masalah ini tidak lama lagi. Tunggu saja.hehehehe….
Wassalam …