Sosok Kak Uce’ Yang Kukenal
Testimoni Yang Jujur Dariku
Namanya drg. Muhammad Yusran Mukrim, selalu kupanggil dengan panggilan sayang kak Uce’. Pertamakali saya melihat beliau ketika pengkaderan mahasiswa baru Fakultas Kedokteran Gigi UNHAS angkatan 2001. Pada saat itu seluruh energi kami sudah habis, setelah dibantai berjam-jam dari pagi buta sampai malam hari. Shock memasuki dunia yang baru menghinggapi kami semua. Antara Magrib dan Isya, kami (mahasiswa baru 2001) berbaring terlentang di lapangan luas depan fakultas dengan nafas terengah-engah dan kelelahan psikis yang drastis. Euforia lulus UMPTN (SPMB sekarang), masuk di salah satu Fakultas paling bergengsi di universitas negeri terbaik di Indonesia timur lenyap seketika menghadapi kegarangan senior-senior kami.
Berbaring kelelahan dengan bentuk lingkaran di atas tanah rumput yang basah, menghitung detik demi detik yang terasa lambat sekali berdetak. Tiba – tiba ditengah lingkaran itu sesosok pria berkacamata, bercelana tergantung, berwajah rupawan, berorasi lantang dengan mengacungkan jari ke atas langit. Setitip taujih disampaikan oleh beliau di Magrib itu, taujih yang menguatkan jiwa-jiwa kami semua. Saya hanya bisa memicingkan mata karena minimnya cahaya pada saat itu, untuk meneliti siapa gerangan yang berorasi. Dari siluet sosoknya, saya bisa menangkap aura keteduhan, ketegasan dan kekuatan hati dari beliau. Kontras dengan senior kami yang lain, sosok sangar dan garang para senior musnah seketika melihat beliau. Saya tak pernah tahu, bahwa kelak takdir akan menjalinkan saya dan sosok itu dalam sebuah ukhuwah yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Ya… beliau adalah kak Uce’, murobbi, kakak, teman, saudara, guru, komandan, penutur, dan cermin jiwa saya yang paling jujur.
Berbaring kelelahan dengan bentuk lingkaran di atas tanah rumput yang basah, menghitung detik demi detik yang terasa lambat sekali berdetak. Tiba – tiba ditengah lingkaran itu sesosok pria berkacamata, bercelana tergantung, berwajah rupawan, berorasi lantang dengan mengacungkan jari ke atas langit. Setitip taujih disampaikan oleh beliau di Magrib itu, taujih yang menguatkan jiwa-jiwa kami semua. Saya hanya bisa memicingkan mata karena minimnya cahaya pada saat itu, untuk meneliti siapa gerangan yang berorasi. Dari siluet sosoknya, saya bisa menangkap aura keteduhan, ketegasan dan kekuatan hati dari beliau. Kontras dengan senior kami yang lain, sosok sangar dan garang para senior musnah seketika melihat beliau. Saya tak pernah tahu, bahwa kelak takdir akan menjalinkan saya dan sosok itu dalam sebuah ukhuwah yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Ya… beliau adalah kak Uce’, murobbi, kakak, teman, saudara, guru, komandan, penutur, dan cermin jiwa saya yang paling jujur.
4 tahun saya bersama kak Uce’ dalam sebuah kelompok usrah kecil yang takkan pernah bisa saya lupakan. Beliau selalu berusaha memahami seorang Iqbal, membuka ruang kemakluman dan ruang ketertidakdugaan yang besar buat saya. Meskipun saya tahu persis beliau orang yang keras dan berpendirian kokoh. Tapi tak pernah beliau lelah untuk selalu tersenyum ketika menatapku. Tak pernah bosan beliau untuk selalu direpotkan denganku. Bahkan ketika dalam keadaan demam tinggipun, beliau rela untuk di”culik” dan dibonceng dengan motor bututku hanya karena saya ingin memperlihatkan kepada beliau baksos pertama yang saya adakan.
Saya tak pernah bosan untuk mendengar ceramah dan taujih beliau. Dimanapun itu, kapanpun itu, kalau sedang tak sibuk, pasti saya akan setia mendengar dan menyimaknya. Saya sudah sering mendengar ceramah tapi tak pernah saya menemukan satupun sosok yang memiliki kemampuan ceramah yang memikat dan mengikat hati seperti yang beliau miliki. Walaupun sebenarnya ceramah beliau tidak memiliki struktur dan grammar yang baik. Tetapi setiap katanya menarik untuk disimak, setiap tuturnya membuat kita enggan beranjak. Lama saya baru menyadari, bahwa kekuatan hipnotis itu, berasal dari pancaran jiwa. Ya..berasal dari pancaran jiwa yang akan membuat kita luluh dan terpikat jatuh cinta kepada beliau.
Ulahku yang slengean dan ugal-ugalan selalu berusaha untuk dipahami oleh beliau. Pernah suatu ketika saya berselisih paham dengan akhwat. Tak pernah selangkahpun beliau ikut-ikutan memojokkan saya. Bahkan ruang kemakluman yang besar selalu dia sediakan buat seorang Iqbal. Sungguh saya menemukan sosok kakak utuh yang tidak pernah saya dapatkan sebelumnya dari siapapun.
Setiap saya ingin mengadu, maka Pondokan Halaman Rawa-lah tempat Kak Uce’ tinggal tempat yang akan kutuju. Kukeluhkan semua bebanku, kukisahkan semua ceritaku. Hingga terkadang beliau terkantuk-kantuk mendengar celotehku yang tiada henti. Tapi beliau berusaha untuk selalu tersenyum. Mungkin saya tak akan pernah menemukan lagi sosok seperti beliau.
Di balik semua kelebihan yang beliau miliki, tentu saja kak Uce’ punya beberapa kekurangan. Beliau terkadang menjadi seorang hiperbolik kelas wahid, romantis tak ketulungan bak pujangga kelas dunia, dan terkadang ekspresif nan penuh kejutan. Tapi terkadang kekurangan itu sebenarnyalah kelebihan beliau. Salah satu contoh yang nyata, ketika pernikahan binaannya, satu halaqah saya, Irfan Aryanto (sampai tulisan ini saya buat beliau belum menikah. Hayo…siapa berminat sama kakakku ini?). Di pesta walimahan itu beliau datang dengan penampilan ekspresif berupa kekontrasan yang mencolok. Beliau berpakaian kaos oblong, celana jeans, dan sepatu gunung tak lupa tas ransel di pundaknya. Seperti hendak mengikuti sebuah mukhayyam. Saya terkadang tertawa geli setiap mengingat kejadian itu. Satu pesan yang dapat saya tangkap dari penampilan ekspresif itu: “ Irfan !!! Kenapa kau dahului abangmu ini!! (hihihihi)
Hahhh… kak Uce’. Saya sempat kehilanganmu di akhir-akhir masa tarbiyahku. Setiap saya bertemu denganmu untuk bercerita lagi engkau terkadang menjawab dengan jawaban yang tidak nyambung. Saya paham, engkaupun pada saat itu menghadapi beban yang tidak sedikit. Akhirnya saya merasa sendirian ditengah badai fitnah yang bertubi datang dan tak ada lagi tempat mengadu. Tapi hal itu tidak mengurangi kecintaanku padamu karena Allah sedikitpun.
Satu-satunya faktor yang terkadang membuat saya menyesal keluar dari jamaah tarbiyah adalah engkau kak Uce’. Saya terkadang tidak sanggup menatap wajahmu ketika engkau mengajakku kembali. Saya hanya bisa tersenyum pahit kepadamu serta meminta maaf berulangkali dan membatin dalam hati. “Maafkan adikmu ini kak Uce, ada hal yang membuat saya mustahil untuk bergabung bersamamu lagi..” Kutitip doaku pada Allah, semoga engkau mendapatkan istri yang terbaik. Semoga kita bisa bersama lagi di surga, walaupun saya hanya mendapat kavling surga yang jauh lebih rendah daripada milikmu. Tapi saya berharap, saya akan tetap bisa bersilaturrahim di istanamu kelak di surga. Amin….
AhabbakaLlahu Lima Ahbabtani Li Ajlihi
Saya tak pernah bosan untuk mendengar ceramah dan taujih beliau. Dimanapun itu, kapanpun itu, kalau sedang tak sibuk, pasti saya akan setia mendengar dan menyimaknya. Saya sudah sering mendengar ceramah tapi tak pernah saya menemukan satupun sosok yang memiliki kemampuan ceramah yang memikat dan mengikat hati seperti yang beliau miliki. Walaupun sebenarnya ceramah beliau tidak memiliki struktur dan grammar yang baik. Tetapi setiap katanya menarik untuk disimak, setiap tuturnya membuat kita enggan beranjak. Lama saya baru menyadari, bahwa kekuatan hipnotis itu, berasal dari pancaran jiwa. Ya..berasal dari pancaran jiwa yang akan membuat kita luluh dan terpikat jatuh cinta kepada beliau.
Ulahku yang slengean dan ugal-ugalan selalu berusaha untuk dipahami oleh beliau. Pernah suatu ketika saya berselisih paham dengan akhwat. Tak pernah selangkahpun beliau ikut-ikutan memojokkan saya. Bahkan ruang kemakluman yang besar selalu dia sediakan buat seorang Iqbal. Sungguh saya menemukan sosok kakak utuh yang tidak pernah saya dapatkan sebelumnya dari siapapun.
Setiap saya ingin mengadu, maka Pondokan Halaman Rawa-lah tempat Kak Uce’ tinggal tempat yang akan kutuju. Kukeluhkan semua bebanku, kukisahkan semua ceritaku. Hingga terkadang beliau terkantuk-kantuk mendengar celotehku yang tiada henti. Tapi beliau berusaha untuk selalu tersenyum. Mungkin saya tak akan pernah menemukan lagi sosok seperti beliau.
Di balik semua kelebihan yang beliau miliki, tentu saja kak Uce’ punya beberapa kekurangan. Beliau terkadang menjadi seorang hiperbolik kelas wahid, romantis tak ketulungan bak pujangga kelas dunia, dan terkadang ekspresif nan penuh kejutan. Tapi terkadang kekurangan itu sebenarnyalah kelebihan beliau. Salah satu contoh yang nyata, ketika pernikahan binaannya, satu halaqah saya, Irfan Aryanto (sampai tulisan ini saya buat beliau belum menikah. Hayo…siapa berminat sama kakakku ini?). Di pesta walimahan itu beliau datang dengan penampilan ekspresif berupa kekontrasan yang mencolok. Beliau berpakaian kaos oblong, celana jeans, dan sepatu gunung tak lupa tas ransel di pundaknya. Seperti hendak mengikuti sebuah mukhayyam. Saya terkadang tertawa geli setiap mengingat kejadian itu. Satu pesan yang dapat saya tangkap dari penampilan ekspresif itu: “ Irfan !!! Kenapa kau dahului abangmu ini!! (hihihihi)
Hahhh… kak Uce’. Saya sempat kehilanganmu di akhir-akhir masa tarbiyahku. Setiap saya bertemu denganmu untuk bercerita lagi engkau terkadang menjawab dengan jawaban yang tidak nyambung. Saya paham, engkaupun pada saat itu menghadapi beban yang tidak sedikit. Akhirnya saya merasa sendirian ditengah badai fitnah yang bertubi datang dan tak ada lagi tempat mengadu. Tapi hal itu tidak mengurangi kecintaanku padamu karena Allah sedikitpun.
Satu-satunya faktor yang terkadang membuat saya menyesal keluar dari jamaah tarbiyah adalah engkau kak Uce’. Saya terkadang tidak sanggup menatap wajahmu ketika engkau mengajakku kembali. Saya hanya bisa tersenyum pahit kepadamu serta meminta maaf berulangkali dan membatin dalam hati. “Maafkan adikmu ini kak Uce, ada hal yang membuat saya mustahil untuk bergabung bersamamu lagi..” Kutitip doaku pada Allah, semoga engkau mendapatkan istri yang terbaik. Semoga kita bisa bersama lagi di surga, walaupun saya hanya mendapat kavling surga yang jauh lebih rendah daripada milikmu. Tapi saya berharap, saya akan tetap bisa bersilaturrahim di istanamu kelak di surga. Amin….
AhabbakaLlahu Lima Ahbabtani Li Ajlihi