Saat ini dokter mendapat sorotan intens bahkan cenderung memojokkan. Kebanyakan sorotan yang muncul di media baik elektronik, cetak bahkan sampai media pribadi seperti web maupun blog cenderung menampilkan sisi negative. Bahasa-bahasa yang sering digunakan mulai dari yang halus seperti malpraktik, tidak perhatian pada pasien, ketus menjawab pertanyaan pasien, dokter hanya untuk orang kaya hingga muncul kata-kata yang kasar ”tidak becus”, ”sontoloyo”, dan ”kampret”.
Berikut beberapa ungkapan-ungkapan yang saya catat di media blog.
“Kalau bermasalah sama dokter sih udah berkali2; pernah ada yg sblm nyuntik gak tanya jenis alergi gw, langsung aja dia menghujamkan jarum suntiknya. ………”
“Kata dokter juga membuat sebal, karena begitu banyaknya kasus malpraktek di Indonesia hingga menyebabkan pasien meninggal”
“Saya belum pernah jadi dokter, tapi saya sadar sepenuhnya semenjak kejadian ini, bahwa dokter memiliki tanggung jawab sosial yang sangat besar di masyarakat. Baik diminta ataupun tidak.”
“Ini kali saya kedua kali berhadapan dengan kejadian dokter sontoloyo di Bumi BBM ini.”
……………….
“Nah para Dokter yang budiman, sudah bagaimanakah keadaan anda saat ini? Sudah berapa buah Mercy di garasi Anda? Jujur saja profesi dokter di Indonesia banyak narik duitnya daripada serius kuliahnya.
………………..
“Ya Allah timpakanlah Azab serupa buat para bajinguk yang berkedok orang pintar bersertifikat ini.”
…………………..
“Dokter Indonesia emang banyak yang kaya KAMPRET! Yang ada diotaknya cuma KEJAR SETORAN”
…………………..
“Belum lagi sekarang banyak FK di PTN yang buka program ekstensi untuk kedokteran yang kriteria masuknya hanya uang sumbangan, saya pernah ketmu bapak2 dipesawat yang baru aja daftarin anaknya dan bayar Rp. 250 jt. Bisa dibayangin seperti apa 10 thn lagi.”
“Bagaimana seorang dokter bisa begitu teledornya dengan tubuh pasiennya, sehingga hal seperti ini terjadi. Bukankah dunia dokter seharusnya penuh kehati-hatian. Saya bisa dibilang masih beruntung karena akibatnya tidak fatal, bagaimana dengan yang tidak seberuntung saya, kasihan sekali mereka.”
……………………….
“……Sementara yang ga mampu tuk ke Singapore tuk berobat, seperti saya, harus terima saja dengan ketidak becusan mereka dalam menangani pasien-pasiennya.”
Ada pula yang mengategorikan malpraktik dokter sebagai 10 besar bencana nasional
Tidak putus Indonesia di dera musibah.
masyarakat dan Pejabat Indonesia pun ber-ujar.
Ini gangguan alam.
Tapi makin lama makin komplit, Negara ini didera musibah, spt :
1. Korupsi
2. Kemiskinan
3. Biaya pendidikan yang semakin mencekik
4. Gizi buruk
5. Flu Burung yg menjadi musibah nasional.
6. Demam Berdarah
7. Malaria dan Aids.
8. Banjir, Angin Puting Beliung, Gempa Tektonik, gempa Vulkanik.
9. Kecelakaan di darat, laut dan udara.
10. Mallpraktek
11.Dll…Dst….Dsb….
Dari sini dapat disimpulkan dokter itu, saat ini seperti ikan dalam akuarium. Kesalahan sedikit saja langsung bisa dilihat. Tuntutan akan kesempurnaan begitu kuat. Karena yang ditangani dokter adalah berkaitan dengan “nasib” hidup mati seseorang. Karena itu wajar, tuntutan kesempurnaan dan kehati-hatian dalam bekerja adalah sebuah keniscayaan. Yang perlu dicatat disini, bahwa keadaan sekarang sangat berbeda dengan keadaan beberapa dekade yang lalu. Kalau dulu, media informasi terbatas, tetapi saat ini media demikian luar biasa banyak ragamnya. Semua orang dapat menyebarkan kesalahan atau “ketidakbecusan” dokter itu, ke mana saja mereka mau. Seperti ungkapan pada pemilik blog di atas, semua orang yang mengakses alamat di atas akhirnya tahu dokter yang ada di sekitar pemilik blog itu tidak becus, teledor, dan penyebaran kesan atau lebih lanjut citra dokter secara umum akan tergerogoti.
Apakah perlu kita mempertanyakan siapa yang salah? Sistem pendidikannya kah? Budaya masyarakat Indonesia kah? Atau sifat dasar dari dokternya itu yang bermasalah? Yang pasti bila keadaan ini dibiarkan terus menerus seperti bola salju yang makin lama makin membesar, menggelundung akan menjadi malapetaka “ketidakpercayaan” masyarakat terhadap kinerja dokter produk dalam negeri.
Sebelum membahas lebih lanjut, saya ingin menyadarkan pada pembaca, bahwa dokter itu adalah manusia biasa, dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Ia adalah makhluk yang multifaset. Banyak wajah. Pertama wajah ketika berhadapan dengan kepentingan diri sendiri. Kedua, wajah ketika berhadapan dengan keluarga beserta kultur dan budayanya. Ketiga, wajah ketika dia berperan sebagai profesional karena profesi dokternya ketika berinteraksi dengan pasien. Keempat, wajah ketika dia berinteraksi dengan masyarakat profesinya. Kelima, wajah ketika dokter menjadi warga negara dengan berbagai hukum yang berlaku juga buat dokter. Keenam, wajah ketika dokter menjadi bagian dari masyarakatnya.
Memahami bagaimana dokter bekerja, bagaimana dokter dapat menunjukkan kinerjanya, tidak lepas dari pemahaman 6 faset yang dihadapi dokter. Keenam faset itu sangat berpengaruh pada bagaimana kualitas kinerja dokter. Terlalu berorientasi pada 5 faset yang lain, tetapi mengorbankan 1 faset saja bisa membuat dokter menderita. Bahkan berujung pada kematian yang tidak diharapkan. Seperti pada contoh berikut satu faset keluarga yang kurang. Yaitu faset bagian dari keluarga, yaitu kurang harmonisnya hubungan suami istri. Sementara di luar sana, ia adalah sosok public figure, panutan dan tempat bertanya dan bersandar segala permasalahan masyarakat. Tetapi ketika dia sendiri didera masalah, kemana kah ia harus menyandarkannya. Keadaan ini tentu saja juga mempengaruhi dalam kualitas pelayanan yang diberikan kepada pasien. Mari kita simak kisah berikut :
Dokter Tewas Bakar Diri
Seorang ibu dokter, 46 tahun, ditemukan tewas dengan membakar diri di samping garasi rumahnya.
Jenazah ibu tiga anak itu pertama kali ditemukan oleh dua putrinya, pertama berusia 17 tahun dan putri keduanya yang berusia 13 tahun, pada pagi harinya ketika mereka bingung ibunya tidak ada.
Tahu ibunya tidak ada, anak sulungnya yang berusia 18 tahun segera menghubungi sang ayah, yang juga dokter dan sudah beberapa tahun tinggal di tempat lain karena “pisah ranjang”. Setelah datang, ayah dan anak-anak segera mencari sang ibu. Mereka akhirnya menemukan wanita itu sudah tewas, dengan luka bakar di sekujur tubuhnya di sebuah garasi di samping kiri rumahnya.
Runtuhnya Pertahanan Jiwa Ibu Dokter
Usia yang matang, latar belakang pendidikan tinggi, kehidupan yang agamis, dan pekerjaan yang mapan, ternyata tidak lantas membuat seseorang kuat dalam menghadapi masalah. Ini terbukti dari peristiwa bakar diri, ibu dokter ini.
Ibu dari tiga anak yang dikenal ramah dan mudah bergaul ini, mengakhiri hidupnya dengan luka bakar di sekujur tubuh, di garasi rumahnya. “Jangan melihat orang dari luarnya saja,” komentar Mochamad Widjanarko, dosen Progdi Psikologi dan peneliti di Universitas Muria Kudus (UMK).
Seseorang yang terlihat tegar, belum tentu tidak memiliki beban hidup. Kemungkinan, ujarnya, di balik itu secara psikologisnya terdapat kegagalan. Kegagalan tersebut dalam bentuk ada cita-cita atau standar hidup yang terpendam begitu lama, yang tidak diceritakan kepada orang lain.
“Kerabat keluarga, rekan kerja, ataupun tetangga memang tidak melihat dia dalam keadaan depresi atau menanggung permasalahan yang berat. Ini karena fungsi pertahanan jiwanya, pada waktu itu masih berjalan baik,” ungkapnya.
Dia memaparkan, kuat – tidaknya manusia menghadapi permasalahan, dalam psikologi memakai pendekatan pertahanan jiwa. Bentuk-bentuk pertahanan jiwa adalah rasionalisasi, yakni mencari alasan atas suatu kejadian, proyeksi atau menyalahkan orang lain atas suatu keadaan yang ada dan sublimasi. Yaitu suatu bentuk pengalihan permasalahan.
Selain itu, tuturnya, terdapat represi berupa menyembunyikan/menekan pengalaman-pengalaman yang tidak mengenakkan dan regresi dalam bentuk bersikap seperti anak kecil, misalnya melupakan masalah dengan bermain game.
Dalam hal ini, menurut Widjanarko, untuk kasus bakar diri ibu dokter ini, lebih tepat menggunakan pendekatan sublimasi dan regresi. Pada bentuk sublimasi, ibu dokter ini mengalihkan permasalahan yang membelenggunya dengan tekun bekerja. Diharapkan dengan tenggelam dalam rutinitas kantor, maka dia bisa melupakan persoalan hidup yang dihadapinya.
“Inilah yang menjelaskan, mengapa dalam lingkungan kantor dia menjalankan tugas dengan baik. Juga di mata teman sejawat seperti tidak ada masalah,” ujarnya.
Pendekatan regresi, paparnya, ibu dokter ini berusaha untuk mengubur permasalahan hidupnya. Kemungkinan besar dia tidak mau berbagi permasalahan hidupnya dengan orang lain.
Tetapi, kata Widjanarko, faktanya permasalahan tetap ada dan membayangi hidupnya. Belum lagi ditambah kemungkinan munculnya persoalan baru, korban akhirnya tidak bisa menghadapi akumulasi persoalan itu. Selanjutnya bunuh diri menjadi alternatif yang dirasakannya bisa memecahkan masalah.
Menuntut dokter agar menunjukkan kinerja yang sempurna tidak begitu saja menyuruh dokter harus selalu siap ketika pasien datang meminta pertolongan. Tidak begitu saja menyuruh dokter untuk menurunkan tarifnya bahkan digratiskan hingga setiap orang bisa menikmati pelayanan kesehatan sebagai sebuah public good. Tidak begitu saja menyuruh dokter harus longgar hatinya ketika melayani pasien dan keluarganya yang mencemaskan penyakit yang diderita. Sehingga menghasilkan dokter yang ramah, murah senyum dalam memberikan pelayanan. Tidak begitu saja!
Harus melihat faset-faset itu secara utuh.
Faset pertama, dokter harus mempunyai kepribadian yang utuh. Mempunyai kedewasaan. Mempunyai tujuan hidup yang jelas. Mempunyai pegangan yang kokoh pada prinsip yang berlandaskan pada nilai-nilai ilahiyah yang kuat. Untuk membentuk ini diperlukan tarbiyah dzatiyah atau pendidikan diri yang konsisten dan berkelanjutan. Sebuah proses pendidikan yang tidak saja menggunakan sarana yang berorientasi pada aspek kognitif saja, tetapi juga aspek afektif dan psikomotor. Berikut adalah 10 indikator kinerja dokter yang sukses tarbiyah dzatiyahnya (diadaptasi dari Hasan Al Bana, membentuk kepribadian muslim yang ideal).
10 indikator kinerja
Akidahnya harus lurus (tidak tercampur mistik, syirik apalagi menjadi dokter dukun)
Ibadahnya harus shahih (setiap peribadatan mempunyai rujukan)
Akhlaknya terpuji
Mengusahakan bisa mandiri secara ekonomi
Luas wawasan pengetahuannya
Menjaga kebugaran dan kekuatan fisiknya
Bersungguh-sungguh dalam mengerjakan segala amal perbuatan
Cermat dan rapi dalam bekerja
Menjaga waktu, tidak lagi membiarkan ada waktu yang hilang tanpa target kerja yang jelas
Selalu mengusahakan diri agar bermanfaat bagi orang lain
Setelah sukses dengan tarbiyah dzatiyahnya, maka selanjutnya juga diharapkan bisa pula mewujudkan 10 indikator kinerja itu pada masing-masing anggota keluarganya. Untuk mewujudkannya dibutuhkan sarana-sarana. Dibutuhkan investasi waktu, tenaga dan finansial yang memadai. Sarana-sarana yang dibutuhkan meliputi (ini hanya sekedar contoh, tergantung pada kreativitas masing-masing individu) rihlah / rekreasi keluarga, saling menyimak bacaan al-qur’an pasangan, saling membangunkan ketika sholat malam bahkan sholat malam berjamaah. Membaca buku bersama. Saling menanyakan keadaan, suasana perasaan pasangan, anggota keluarga.
Dua faset di atas harus kuat dulu sebelum berangkat menuju faset yang lain. Dua faset di atas dapat dikatakan memperkokoh basis internal, sedangkan empat faset selanjutnya adalah banyak berkaitan dengan kegiatan dunia luar. Dua faset internal yang kokoh, maka atas izin-Nya tidak akan menghasilkan apa yang terurai dalam tulisan berikut yang sudah saya sarikan:
Sebanyak 93 kasus korupsi bidang kesehatan yang melibatkan banyak dokter diadukan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sepanjang tahun 2005, dan bahkan 11 dokter diantaranya telah dijadikan tersangka. “Itu merupakan prestasi yang hebat dalam kasus korupsi, dan ironisnya melibatkan banyak dokter yang diadukan ke KPK,” kata Sekjen KPK, Dr. Sagiri Syarif MPA, dalam pidato Dies Natalis ke 60 Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Senin 6 Maret 2006.
Diungkapkannya, Kabupaten berinisial K, polisi segera membuka kembali kasus dugaan mark up dana pengadaan peralatan medis senilai Rp 7,6 miliar dan tersangkanya dokter sekaligus direktur rumah sakit, serta dokter ahli yang merekomendasikan pembeliannya. Dalam kasus ini negara dirugikan Rp 4 miliar.
Kasus lain, di kabupaten G, direktur RS dr. AF dan pimpinan proyek serta kepala bidang pelayanan medis dr TDW dijadikan tersangka mark up pengadaan “CT Scan” pada tahun 2002-2003, negara dirugikan Rp 4,3 miliar.
Di kota S, ada pengaduan penyalahgunaan dana Askes oleh rumah sakit. Pengelola dana Askes dan dokter penanggung jawabnya dilaporkan telah memanipulasi data dan jenis penyakit yang dilayani rumah sakit. PT Askes dirugikan sebesar Rp 1,5 miliar.
Di kota J dokter S dilaporkan telah melakukan KKN dengan produsen obat tertentu, karena setiap pasien selalu diberi obat dengan merek tertentu pula.
Menurut Dr Sugiri, 70 % kasus korupsi bidang kesehatan terjadi pada pengadaan barang dan jasa, 15 % penyalahgunaan wewenang dan 2 % penyalahgunaan profesi. Sebanyak 8 % mis manajemen, 2 % pemerasan 1% grativikasi dan 2 % tidak termasuk korupsi.
Faset eskternal yang sangat dekat dengan dunia kerjanya adalah faset profesionalnya ketika ia berhadapan pasien. Untuk menciptakan hubungan yang harmonis dokter dengan pasien, maka dibutuhkan tarbiyah professionalism. Mengapa professionalism sangat ditekankan? Menurut Cruess SR et al penjagaan professionalism ini didasarkan karena adanya semacam “kontrak sosial” yakni :
Kontrak antara kelompok profesi (dokter) dengan masyarakat umum.
Profesi (dokter) diberi monopoli dalam menggunakan keahliannya dalam pelayanan kepada masyarakat, dengan menimbang otonominya, prestige dan imbalan finansialnya
Dan sebaliknya profesi (dokter) harus menjamin kompetensi mereka, memberikan layanan yang altruistik, berperilaku yang bermoral dan berintegritas
Karena itu dokter yang telah melakukan “kontrak sosial” disadari ataupun tidak, harus mengembalikan amanah yang telah diberikan itu dalam bentuk pelayanan yang profesional. Pelayanan yang profesional merupakan “daerah abu-abu” antara etika dan kompetensi. Aspek kompetensi meliputi excellence dalam kinerja, ada akuntabilitas dalam bekerja, dan ada pemenuhan kewajiban ketika hubungan dokter pasien telah dimulai. Sedangkan aspek etika mendasarkan pada 4 kaidah moral yaitu beneficence (memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya) pada pasien, non-maleficence (tidak berbuat yang merugikan terutama pada kasus-kasus kegawatan), autonomy (menghargai harkat dan martabat manusia secara utuh) dan justice, memerlakukan secara adil semua pasiennya tanpa mempertimbangkan perbedaan agama, ras, suku bangsa, ideologi maupun keyakinannya.
Seperti yang dikatakan oleh Hillary Rodham Clinton and Barack Obama
Malpractice suits often result when an unexpected adverse outcome is met with a lack of empathy from physicians and a withholding of essential information.
Jadi tarbiyah professionalism yang berhasil akan meminimalkan terjadinya kejadian malpraktik ataupun kejadian efek samping yang tidak diinginkan yang dianggap sebagai malpraktik, karena kurangnya empati dari dokter kepada pasiennya.
Faset selanjutnya yang tak kalah penting dalam menyokong professionalism dokter adalah faset masyarakat profesi. Maksud masyarakat profesi ini adalah komunitas sesama teman sejawat. Peran penting komunitas teman sejawat ini adalah semacam tempat bercermin satu sama lain. Sederhananya adalah peer control. Dalam tataran ideal peran peer control mestinya dapat meng”cut” teman sejawatnya yang tidak layak. Seolah-olah kayak tidak manusiawi. Tetapi justru dengan adanya kemampuan meng”cut” itu adalah untuk memurnikan komunitas dari perilaku ataupun orang yang dapat merusak disiplin ilmu kedokteran dan lebih lanjut merusak citra “kesatuan” komunitas profesi. Dalam tarbiyah komunitas profesi diperlukan sikap asertif bahkan dengan sesama teman sejawat sendiri, bilamana menjumpai perilaku yang menyimpang, segera memberikan “teguran atau nasehat” dalam dosis, cara, waktu dan tempat yang tepat. Perlu juga penyegaran kembali atau pembangkitan kembali nilai-nilai luhur profesi yang telah mulai kendur dan ditinggalkan. Untuk itu peran organisasi profesi sangat vital dalam hal ini. Sederhananya tugas organisasi profesi dalam komunitas profesi ini adalah membuat para anggotanya “betah dan nyaman” untuk tinggal dalam komunitas dengan tetap mempertahankan dan memperjuangkan nilai-nilai luhur profesi.
Faset selanjutnya adalah faset yang berhadapan dengan Negara. Dalam faset ini sangat diperlukan tarbiyah good citizenship. Dalam tarbiyah good citizenship ini dokter dituntut tidak sekedar sebagai pelayan kesehatan, tetapi lebih dari itu dokter dituntut memberikan kontribusi lebih bagi kemajuan bangsa dan negaranya. Dalam peran tarbiyah good citizenship ini kehadiran dokter bagi bangsa dan negara adalah suatu berkah. Sekalipun apa yang diperbuat hanya baksos (bakti sosial) ataupun pengabdian sosial lainnya, tetapi makna dan dampak dari perbuatan itu sangat besar. Dia mempunyai peran sebagai penghubung jurang perbedaan antara miskin dan kaya. Menggugah hati nurani para aghniya (orang kaya baik pribadi maupun perusahaan) di satu sisi, juga peredam rasa dendam orang-orang terpinggirkan (mustadh’afin), sehingga rasa kebersamaan dan ukhuwah bangsa dan Negara terjaga dan lestari.
Faset terakhir yang dihadapi dokter adalah faset yang berhadapan dengan masyarakat secara luas. Profesi dokter dalam faset ini sangat strategis. Posisi strategis karena secara sosiologis tanpa memandang status ekonominya, profesi ini berada dalam strata sosial menengah ke atas. Artinya pendapatnya, keterlibatannya, dalam masyarakat sangat dihormati dan disegani. Posisi dokter dalam faset ini adalah salah satu simpul dari sekian banyak simpul hubungan antar manusia dalam masyarakat. Profesi dokter sering dianggap sebagai tokoh masyarakat. Posisi strategis lain yang bisa dimasukkan dalam faset ini adalah peran tarbiyah ummat. Tarbiyah ummat dalam bidang kesehatan sangat vital bagi profesi dokter. Keberadaan profesi dokter adalah meningkatkan derajat kesehatan umat. Peran dokter dalam tarbiyah umat adalah sebagai ustadziyatul ummat (guru umat) dalam bidang kesehatan. Karena itu dokter sangat diharapkan keteladanannya dalam perilaku hidup sehat. Maka sangat disayangkan kalau dokter yang menganjurkan untuk tidak merokok malah dirinya sendiri adalah perokok berat. Demikian juga dengan perilaku lainnya, dokter menganjurkan untuk berperilaku seks yang aman, malah dia sendiri meminta detailman obat mencarikan wanita penghibur. Sangat kontradiktif. Dalam peran ustadziyatul umat di bidang kesehatan ini, keteladanan dalam perilaku sehat mempunyai peran yang sangat vital.
Demikianlah enam faset yang dihadapi dokter. Apabila faset-faset itu disikapi secara proporsional, dengan keteguhan hati serta berdisiplin dalam pelaksanaanya, dan dilaksanakan dengan penuh keseimbangan, maka harapannya adalah, akan menghadirkan sosok-sosok dokter yang punya andil besar dalam kemakmuran dan kemajuan bangsa. Amin.
Wallahu’alam