Membuka catatan lama, ada satu kenangan dari masa-masa di SMU. Kenangan yang mengharukan sebenarnya, berpulangnya seorang teman ke haribaan yang Maha Kuasa. Wahyu namanya dan aku bersyukur mendokumentasikan momen itu dengan baik.
Wahyu Puspitasari, teman satu kelompok belajar sewaktu kelas 2 SMU di Bandung. Hari itu kami belajar di rumahnya, entah seperti apa tapi aku dan wahyu berselisih, mungkin karena sifat cuekku saat itu yang menyebabkan terbengkalainya tugas kelompok. Perselisihan berlanjut sampai keesokan harinya di menelepon ke rumah dan menuntut pertanggungan jawab ku, yang kubalas dengan kata-kata yang emosional.
Keesokan harinya kudengar ia tidak masuk sekolah karena sakit, dengar-dengar terkena demam berdarah, yang sedang mengganas di bandung saat itu. Tidak lama berselang datanglah kabar yang mengejutkan, wahyu telah berpulang...saat itu aku seperti tersengat, sesak dadaku, penuh penyesalan, bagaimana tidak terakhir aku berbicara dengannya dalam kondisi emosi.
Pengalaman ini memberi pelajaran berharga untuk jiwa ku yang masih muda, pelajaran akan pastinya sebuah kematian, saat itu aku masih berfikir hanya yang tua yang akan menjelang kematian, sedangkan yang muda masih akan hidup lebih lama lagi. Sebuah kesadaran yang menyentak, sudah sepantasnya aku memberikan temanku penghormatan yang selayaknya, ku iringi kerandanya sampai ke tempat peristirahatan terakhir, ku berdo’a agar Allah ampuni dosaku dan dosanya, ku berjanji dalam hati untuk kembali suatu hari nanti untuk memberi penghormatan terakhir
Kini sembilan tahun berlalu ,rasa penyesalan itu masih juga terasa pedih di lubuk hati. Aku menulis memoar ini untuk meneguhkan kembali janjiku sembilan tahun yang lalu semoga Allah memberiku kesempatan. Aku menulis untuk mengingatkanku pada pastinya kematian