Rabu, 24 Oktober 2007

Kembali aku bicara serius

Maqosid Syari’ah dan Kaidah Dasar Bioetika / Etika Kedokteran dalam Islam[1]

Maqosid Syari’ah

Maksud syari’ah/maqosid syari’ah ditegakkannya hukum dalam Islam secara umum atau secara khusus tujuan dokter memberikan tindakan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif pada pasien baik pribadi maupun dalam komunitas adalah untuk :

1. Hifdh Al din (Memberikan perlindungan terhadap agama)

Tujuan dari sudut pandang ini adalah memberikan atau meningkatkan hari-hari produktif ibadah serta aktivitas dakwahnya secara optimal bagi pasien-pasiennya. Juga yang tidak kalah penting adalah menjaga kelurusan aqidah dokternya sendiri dan pasien yang dirawat, atau komunitas masyarakat yang menjadi tanggung jawab formalnya bila dokter dalam posisi pejabat publik.

2. Hifdh Al nafs (Memberikan perlindungan terhadap kehidupan)

Tujuan dari sudut pandang ini adalah tidak saja mempertahankan kehidupan, tetapi adalah menegoptimalkan kualitas hidup yang dikaruniakan Allah kepada pasien atau sekelompok orang yang menjadi tanggung jawab formalnya.

Nafs ini juga diartikan harga diri atau kehormatan pasien yang dirawat.

3. Hifdh Al nasl (Memberikan perlindungan terhadap keturunan)

Tujuan dari sudut pandang ini adalah mempertahankan keruntutan garis keturunan. Karenanya di halaman sebelumnya dijelaskan Islam menghindari isu etik, seperti sewa rahim misalnya. Karena mengandung keraguan mengenai hal ini, maka lebih baik menghindari hal tersebut.

Perawatan antenatal, perinatal, dan post natal termasuk dalam usaha memberikan perlindungan terhadap kualitas keturunan. Termasuk pula perawatan infertilitas juga dalam maksud yang sama. Mendidik remaja agar menjadi orang tua yang berkualitas adalah usaha dalam hal ini.

4. Hifdh Al aql (Memberikan perlindungan terhadap akal sehat)

Tujuan dari sudut pandang ini adalah mengoptimalkan kualitas intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan ruhiyah yang telah dimiliki dari setiap penderita ataupun sekelompok orang yang menjadi tanggung jawab dokter.

Perawatan terhadap kelainan jiwa, seperti gangguan kecemasan, depresi, psikotik serta kecanduan obat-obatan dan alkohol, dengan berusaha mengembalikan fungsi-fungsi luhur otak pada taraf yang paling optimal, serta berusaha mengkampanyekan hidup tanpa obat dan alkohol adalah termasuk dalam hal ini.

5. Hifdh Al maal (Memberikan perlindungan terhadap kekayaan pribadi)

Tujuan dari sudut pandang ini adalah dokter ketika bekerja tidak saja mempertimbangkan efektifitasnya saja tetapi juga harus mempertimbangkan efisien atau ekonomis tidak suatu tindakan atau terapi.

Termasuk juga di sini adalah dokter memikirkan sudut pendanaan. Mencari pihak-pihak ketiga seperti LAZIS (Lembaga Amil Zakat Infak dan Shodaqoh) atau CSR (Corporate Social Responsibility) untuk membiayai pengobatan orang-orang lemah (mustadh’afin).

Kaidah Dasar Bioetika / Etika Kedokteran dalam Islam

1. Kaidah Niatan

Prinsip ini meminta dokter untuk berkonsultasi dengan hati nuraninya. Terdapat banyak masalah mengenai prosedur dan keputusan medis yang tidak diketahui oleh orang awam. Seorang dokter dapat saja melakukan suatu prosedur dengan alasan yang mungkin masuk akal dari sudut pandang luar, namun sesungguhnya memiliki niatan yang berbeda namun tersembunyi. Contoh praktisnya; penggunaan morfin sebagai penghilang rasa sakit pada perawatan kondisi terminal namun niat yang sesungguhnya adalah agar terjadi depresi pernafasan yang akan menyebabkan kematian.

2. Kaidah Kepastian (Qoidah al yaqiin)

Tidak ada yang benar-benar pasti (yaqiin) dalam ilmu kedokteran, artinya tingkat kepastian (yaqiin) dalam ilmu kedokteran tidak mencapai standar yaqiin yang diminta oleh hukum. Meskipun demikian diharapkan dokter dalam mengambil keputusan medis, mengambil keputusan dengan tingkat probabilitas terbaik dari yang ada. Termasuk pula dalam hal diagnosis, perawatan medis didasarkan dari diagnosis yang paling mungkin.

3. Kaidah Kerugian (Qoidah al dharar)

a. Intervensi medis untuk menghilangkan al dharar (luka, kerugian, kehilangan hari-hari sehat) pada pasien.

b. Tidak boleh menghilangkan al dharar dengan al dharar yang sebanding (al dharar la yuzaal bi mitslihi)

c. Keseimbangan antara kerugian vs keuntungan. Pada situasi dimana intervensi medis yang diusulkan memiliki efek samping, kita mengikuti prinsip bahwa pencegahan penyakit memiliki prioritas yang lebih tinggi ketimbang keuntungan dengan nilai yang sama, dari’an mafasid awla min jalbi al mashaalih. Jika keuntungan memiliki kepentingan yang jauh lebih tinggi daripada kerugian, maka mendapatkan keuntungan memiliki prioritas yang lebih tinggi.

d. Keseimbangan antara yang dilarang vs diperbolehkan. Dokter kadang dihadapkan dengan intervensi medis yang memiliki efek yang dilarang namun juga memiliki efek yang diperbolehkan. Petunjuk hukum adalah bahwa yang dilarang memiliki prioritas lebih tinggi untuk dikenali jika keduanya muncul bersamaan dan sebuah keputusan harus diambil, idza ijtima’a al halaal wa al haram ghalaba al haraam al halaal.

e. Pilihan antara 2 keburukan. Jika dihadapkan dengan 2 situasi medis dimana keduanya akan menyebabkan kerugian dan tidak ada pilihan selain memilih salah satu dari keduanya, yang kurang merugikan dilakukan, ikhtiyaar ahwan al syarrain. Suatu hal yang merugikan dilakukan untuk mencegah munculnya kerugian yang lebih besar, al dharar al asyadd yuzaalu bi al dharar al akhaff. Dengan cara yang sama, intervensi medis yang memiliki kepentingan umum diutamakan di atas kepentingan individu, al mashlahat al aamah muqoddamat ala al mashlahat al khassat. Individu mungkin harus mendapatkan kerugian untuk melindungi kepentingan umum, yatahammalu al dharar al khaas il dafiu al dharar al aam. Untuk melawan penyakit menular, pemerintah tidak boleh melanggar / menghilangkan hak-hak umum kecuali ada keuntungan umum yang bisa didapatkan, al tasarruf ala al raiuyat manuutu bi al mashlahat.

4. Kaidah Kesulitan / Kesukaran (Qoidah al Masyaqqat)

a. Kebutuhan melegalisir yang dilarang. Dalam kondisi yang menyebabkan gangguan serius pada kesehatan fisik dan mental, jika tidak segera disembuhkan, maka kondisi tersebut memberikan keringanan dalam mematuhi dan melaksanakan peraturan dan kewajiban syari’ah.

b. Batas-batas prinsip kesulitan: dalam melanggar syari’ah tersebut tidak melewati batas-batas yang diperlukan (secukupnya saja).

c. Aplikasi sementara dari prinsip kesulitan. Adanya suatu kesulitan, tidak menghilangkan secara permanen hak-hak pasien yang harus direkompensasi dan dikembalikan pada keadaan semula seiring dengan waktu; kesulitan melegalisir sementara dari tindakan medis yang melanggar, dan berakhir setelah kondisi yang menyulitkan tadi berakhir. Dengan kata lain, jika hambatan telah dilewati, tindakan medis yang dilarang kembali menjadi terlarang.

5. Kaidah Kebiasaan (Qoidah al urf)

Dalam prinsip ini, standar yang diterima secara umum untuk perawatan klinis dianggap diperkuat oleh syar’ah.



[1] Professor Omar Hasan Kasule; Aplikasi Nilai-nilai Islam pada Pengajaran Klinis; dipresentasikan di Seminar dan Lokakarya Implementasi Nilai-nilai Islam di dalam Pendidikan Kedokteran di Indonesia FKUNISMA 8 – 9 September 2007