Mengapa para dokter sekarang mulai menyadari pentingnya etika dalam praktik kehidupan profesional mereka? Berikut disajikan lima alasan sebagai jawaban pertanyaan tersebut.
Alasan pertama, dalam beberapa dasa warsa terakhir, ilmu dan teknologi kedokteran telah mengalami perkembangan yang demikian pesatnya. Perkembangan itu meliputi semua aspek ilmu-ilmu kedokteran baik dari sisi biologi molekuler hingga penggunaan peralatan penopang kehidupan manusia yang demikian canggih yang dalam taraf tertentu mampu “menggantikan” fungsi-fungsi vital kehidupan. Namun, sekali lagi, perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran tidak bisa berdiri begitu saja dengan bebas, tanpa “reaksi” etika masyarakat yang mengelilinginya. Perkembangan di bidang biologi molekuler seperti kloning beberapa tahun yang lalu telah menjadi perdebatan publik yang panas mengenai penerapan teknologi tersebut pada manusia. Perkembangan di bidang alat-alat canggih penopang kehidupan telah pula menimbulkan polemik mengenai definisi kematian, kontroversi penghentioperasian alat-alat tersebut pada pasien yang koma lama hingga bertahun-tahun, hingga mengerucut pada topik bahasan medical futility atau kesia-siaan medis.
Alasan kedua adalah kesadaran profesionalisme dokter yang merasa “mendapatkan mandat” dari masyarakat yang dipercaya sepenuhnya terhadap permasalahan-permasalahan kesehatan rumit yang hanya bisa dimengerti oleh masyarakat kedokteran saja. Profesi dokter secara lembaga mempunyai sense of belonging untuk bertanggungjawab penuh terhadap tingginya kejadian kesalahan praktik kedokteran yang harusnya bisa dicegah, demikian juga rendahnya empati dokter terutama pada kasus yang tak diinginkan.
Alasan ketiga, di luar dunia dokter dan kedokteran, di masyarakat pada umumnya, mulai muncul kesadaran dan gerakan baru untuk punya hak untuk tahu alasan dokter mendiagnosis penyakit, mengapa ia memilih satu terapi ketimbang terapi yang lain dan mengapa si dokter memilih melakukan ini dan tidak melakukan itu, di satu sisi. Di sisi lain, masyarakat menganggap bahwa pasien mempunyai kebebasan memilih siapa dokter yang merawat dirinya, kebebasan memilih terapi setelah dokter memberikan penjelasan yang adekuat, demikian juga memilih di mana ia akan mati secara terhormat tanpa ada unsur “paksaan” dari dokter dan profesional kesehatan pada umumnya. Semua ini merupakan dampak dari perkembangan demokratisasi dalam segala aspek kehidupan dan emansipasi hak asasi manusia secara ekstensif yang dielaborasi dengan gerakan liberalisme, otonomi pasien, dan anti kemapanan dan otoritas.
Alasan keempat adalah seiring dengan makin canggihnya alat-alat kedokteran, membuat hubungan dokter – pasien menjadi makin renggang. Dokter melihat pasien hanya pada aspek data laboratorium, radiologis, monitor komputer, perlengkapan teknik rumit, yang membuat kontak dokter – pasien menjadi tidak “menyentuh” sisi kemanusiaan lagi.
Alasan kelima adalah dampak mahalnya biaya operasional dari perkembangan pesat ilmu dan teknologi kedokteran yang harus ditanggung pasien. Sementara itu, pasien sudah terlanjur mempunyai persepsi, mahalnya biaya kesehatan berarti adalah “jaminan” kesembuhan yang tinggi, yang membuat pasien mengalami over ekspetasi terhadap produk layanan kedokteran. Padahal, kenyataannya banyak sekali kejadian efek samping dan kegagalan hasil dengan dampak yang bisa jadi “jauh lebih parah” dari pada keadaan sebelum diberikan tindakan dokter.
Kelima alasan inilah yang membuat masyarakat profesi kedokteran mulai menyadari pentingnya aspek etika dalam praktik kedokteran sehari-hari baik dalam aspek pelayanan harian, hingga riset yang mungkin “jauh dari kontak langsung” dengan pasien.