SEANDAINYA MASIH ADA LAGI, NISCAYA SEMUA CAHAYA AKAN DIBERIKAN UNTUKNYA
"Seandainya masih ada putriku yang lain, pasti kunikahkan dengan Utsman" [1]
Demikian Rasulullah saw. menghibur Utsman saat ditinggal wafat oleh Ummu Kultsum, putri kedua Nabi yang dinikahkan kepada Utsman untuk menggantikan posisi Ruqayyah yang juga putri Nabi yang wafat saat di pangkuan Utsman karena sakit. Inilah yang kemudian Utsman digelari Dzunnurain, "Pemilik Dua Cahaya", karena telah menikahi dua putri Nabi.
Di manapun orang tua akan selalu berusaha yang terbaik untuk putra-putrinya. Begitupun dengan Rasulullah saw., kalimat tersebut keluar dari mulut Beliau yang mengisyaratkan bahwa pendamping hidup yang terbaik untuk putri-putri Beliau adalah yang bersifat seperti Utsman.
Rasulullah saw. pernah bertanya kepada Ruqayyah: "Bagaimana menurutmu tentang Abu Abdullah (Utsman)?" Ruqayyah menjawab: "Seperti orang baik lainnya." Rasulullah saw. kemudian bersabda: "Hormatilah ia, karena ia termasuk sahabatku yang ahlaknya paling mirip denganku." [2]
PENDUDUK LANGIT PUN MALU KEPADANYA
Gambaran ahlak Utsman tercermin dari sabda Rasulullah saw. berikut ini:
"Tidakkah aku malu pada orang yang malaikat pun malu kepadanya?" [3]
Begitulah jawaban Nabi kepada Aisyah yang bertanya mengapa Beliau bangkit untuk duduk dan merapihkan pakaiannya saat Utsman datang, sebuah perlakuan istimewa padahal sebelumnya Nabi berbaring dalam menyambut Abu Bakar dan Umar bin Khaththab yang lebih dulu bertamu ke rumah Nabi sebelum Utsman.
Seandainya Utsman mempunyai aib di mata Rasulullah saw., tentunya Rasulullah akan memalingkan muka dari Utsman. Oleh karena itu, ketika Nabi hingga Malaikat merasa malu saat bertemu Utsman, maka perasaan malu tersebut pastilah sebuah penghormatan karena sangatlah tidak mungkin Nabi menikahkan putrinya kepada orang yang puya aib.
Penghormatan Nabi bukan karena faktor usia, karena Utsman 6 tahun lebih muda dari Nabi. Penghormatan tersebut tentunya dinisbatkan pada kemuliaan ahlak yang di atas rata-rata karena yang menilai pun bukan orang biasa melainkan seorang Nabi dan para penduduk langit.
Rasulullah saw. tidak serta merta dengan terburu-buru memberikan rasa hormat kepada Utsman melainkan tentunya membutuhkan rentang waktu yang tidak sebentar dan bukti-bukti kesalehannya dalam kehidupannya.
Seperti apakah rangkaian keindahan ahlak dari Utsman hingga Nabi pun tidak ragu lagi untuk memberikan rasa hormat kepadanya?
ADAKAH YANG MAMPU MEMBAYARKU LEBIH HEBAT LAGI ?
"Kami akan membeli semua barang daganganmu wahai Abu Amr (Utsman), kami akan memberikanmu dua dirham untuk setiap satu dirham yang kau beli".
"Aku bisa mendapatkan lebih dari itu" kata Utsman
Mereka pun menaikkan harga tawar, dan Utsman pun kembali menegaskan: "Aku masih bisa mendapatkan lebih dari itu".
Ketika mereka merasa sudah tidak mampu untuk menawar lebih tinggi lagi, Utsman akhirnya berkata:
Allah SWT. memberiku keuntungan sepuluh kali lipat untuk setiap dirham yang kubelanjakan di jalan-Nya. Adakah di antara kalian yang berani memberiku keuntungan lebih dari itu?
Itulah angin segar yang dinanti-nanti oleh penduduk Madinah setelah sekian lama dilanda paceklik, dan tanpa diduga, semua harta dan barang dagangannya hasil berniaga di Syria, disumbangkan seluruhnya oleh Utsman kepada penduduk Madinah yang sangat membutuhkannya.
Bukan saat itu saja Utsman tampil untuk menolong orang-orang yang sedang susah, sumur Rawmah yang dikomersialkan oleh Yahudi setiap kali orang-orang Islam hendak meminum airnya, lalu ia beli dengan harga 35.000 dirham dan saat itu juga ia bebaskan sumur tersebut bagi siapa saja yang membutuhkan air yang ada di sumur tersebut.
Tidak hanya dalam perkara kebutuhan pangan saja Utsman banyak memberikan sumbangsihnya, ia pun pernah berperan besar dalam penghimpunan Jays al-'Usrah (penghimpunan pasukan di saat kondisi yang serba sulit):
Keadaan begitu genting karena pasukan Romawi hendak menyerang pasukan muslim yang saat itu minim persenjataan dan perbekalan. Rasulullah saw. akhirnya tampil berkhutbah yang memberi semangat kepada semua muslim untuk berlomba-lomba berjihad di jalan Allah baik jiwa maupun harta.
Di saat seperti itu, seperti biasanya, Utsman yang paling dulu menyambut seruan Rasulullah: "Wahai Rasulullah, aku akan menyumbang seratus ekor unta berikut pelana dan perlengkapannya".
Dengan tersenyum Rasulullah saw. bersabda: "Tidaklah membahayakan Utsman apa yang diperbuatnya setelah hari ini". [4]
HAFIDZ YANG SELALU LAPAR AL-QUR'AN
"Kalau hati kita suci, niscaya kita tidak akan pernah puas dengan firman Tuhan. Aku benci bila sehari saja tidak melihat mushaf"
Itulah kata-kata Utsman yang dikenang selalu oleh Abdurrahman at-Taimi. Kesaksian serupa diungkapkan pula oleh Hassan yang menyebutkan Utsman rajin meng-khatam-kan al-Qur'an dalam satu rakaat. Bahkan ar-Rawi pernah melihat mushaf al-Qur'an milik Utsman banyak yang robek karena terlalu sering dibaca.
Dari rasa kecintaannya yang begitu besar terhadap al-Qur'an inilah kemudian di masa ia menjadi khalifah ketiga kaum muslimin, Utsman menyusun al-Qur'an dalam bentuk Mushaf yang di masa sebelumnya masih berupa tumpukan Shuhuf-shuhuf dan sekaligus menyatukan gaya bahasanya (Qira'at).
AKU BERBAI'AT KEPADA ALI BIN ABI THALIB...
Itulah jawaban Utsman yang membuat tertundanya siapa yang menjadi pengganti Umar bin Khaththab, khalifah yang telah mangkat. Ini bukan berarti Utsman hendak menghambat umat Islam saat itu untuk mencari pengganti Umar, melainkan Utsman memang tidak pernah meminta dan berambisi dengan jabatan Khalifah.
Umar bin Khaththab menjelang kematiannya telah mewasiatkan untuk memilih khalifah pengganti dari 6 (enam) kandidat:
- Utsman bin Affan
- Ali bin Abi Thalib
- Abdurrahman bin Auf
- Sa'ad bin Abi Waqqash
- Zubair bin al-Awwam
- Thalhah bin Ubaidilah
Keenam kandidat kemudian berkumpul dan bermusyawarah selama tiga hari di bawah panitia pemilihan yang terdiri dari Abdullah bin Umar, Abu Thalhah al-Anshari, al-Miqdad, dan Suhaib. Musyawarah pemilihan ini dimulai dengan pembukaan dari Abdurrahman bin Auf yang berkata: "Pilihlah tiga orang di antara kalian."
Zubair bin al-Awwam berkata: "Aku memilih Ali."
Thalhah bin Ubaidilah berkata: "Aku memilih Utsman."
Sa'ad bin Abi Waqqash berkata: "Aku memilih Abdurrahman bin Auf."
Abdurrahman bin Auf lalu berkata kepada Ali dan Utsman: "Aku memilih salah satu di antara kalian berdua yang sanggup memikul tanggung jawab ini. Jadi, sampaikanlah pendapat kalian mengenai hal ini."
Ali maupun Utsman terhening tidak memberikan jawaban. Abdurrahman bin Auf pun memahami keduanya: "Apa kalian hendak memikulkan tanggung jawab ini kepadaku? Bukankah yang paling berhak memikulnya adalah yang terbaik di antara kalian?"
Mendengar hal itu, Ali dan Utsman berkata: "Ya benar."
Abdurrahman bin Auf kemudian memandangi para sahabat yang hadir dan meminta pandangan mereka. Ia kemudian berkata kepada Ali: "Jika kau tidak mau ku-ba'iat, sampaikan pandanganmu."
Ali bin Abi Thalib berkata: "Aku memilih Utsman."
Lalu Abdurrahman bin Auf memandang Utsman bin Affan.
Utsman pun berkata: "Aku memilih Ali bin Abu Thalib."
Dari keenam kandidat tidak ada satu pun yang mau mengajukan diri untuk di-ba'iat, begitu pun dengan dua kandidat terakhir, Ali dan Utsman. Oleh karena itu musyawarah pun ditunda. Pada hari kedua, Abdurrahman bin Auf berkeliling Madinah menjumpai para sahabat dan memintai pendapat mereka.
Akhirnya di malam hari ketiga, Abdurrahman bin Auf memanggil Zubair bin al-Awwam dan Sa'ad bin Abi Waqqash, mereka bertiga kemudian bermusyawarah. Setelah ketiganya selesai bermusyawarah, Abdurrahman bin Auf kemudian memanggil Ali bin Abi Thalib dan keduanya berbincang hingga tengah malam. Ketika Ali pergi setelah selesai berbincang-bincang, Abdurrahman bin Auf kemudian memanggil Utsman bin Affan dan keduanya berbincang-bincang hingga adzan subuh berkumandang.
Pagi itu, kaum muslimin berkumpul di masjid Nabi. Dihadiri oleh enam kandidat, wakil kaum Muhajirin dan Anshar, serta para pemimpin pasukan. Abdurrahman bin Auf kemudian memandang Ali bin Abi Thalib dan membacakan syahadatain, ia berkata kepada Ali sambil memegang tangannya:
"Engkau punya hubungan dekat dengan Rasulullah, dan sebagaimana diketahui, engkau pun lebih dulu masuk Islam. Demi Allah, jika aku memilihmu (Ali), engkau harus berbuat adil. Dan jika aku memilih Utsman, engkau harus patuh dan taat. Wahai Ali, aku telah berkeliling menghimpun pendapat berbagai kalangan, dan ternyata mereka lebih memilih Utsman. Aku berharap engkau menerima ketetapan ini."
Setelah berkata kepada Ali, Abdurrahman bin Auf berkata kepada Utsman: "Aku mem-baiat-mu atas nama sunnah Allah dan Rasul-Nya, juga dua khalifah sesudahnya."
Ali bin Abi Thalib adalah orang kedua yang berkata yang sama kepada Utsman untuk mem-ba'iat-nya sebagai khalifah pengganti Umar. Saat itu juga semua kaum muslimin yang hadir serempak mem-ba'iat Utsman sebagai khalifah kaum muslimin.
QISHAH-LAH AKU UNTUK MEMBAHAGIAKANMU...
Utsman sangat dikenal sebagai penyayang dan pemaaf sebagai pancaran jiwanya yang lembut. Dari kelembutan jiwanya itulah yang yang kemudian Rasulullah saw. menyebut Utsman sebagai sahabat yang sangat pemalu di antara sahabat-sahabat lainnya. Bahkan di jaman jahiliyah, Utsman digelari Abu Layla sebagai penghormatan atas kelembutan dan keramahannya terhadap sesama.
Utsman lebih baik mengorbankan dirinya demi melindungi atau membahagiakan orang lain khususnya kepada para sahabat Nabi. Berikut adalah sepenggal kisah yang menggambarkan sifatnya tersebut:
Kehidupan di antara para sahabat Nabi sangat dipenuhi dengan kasih sayang sekalipun dalam apresiasi yang berbeda-beda. Terkadang di antara mereka tak sungkan untuk langsung menegur, namun teguran itu tidak pernah didasari oleh kebencian ataupun ambisi kekuasaan dan harta, melainkan teguran itu didasari oleh kasih sayang di antara para sahabat yang tidak rela bila saudaranya terpuruk. Inilah landasan amar ma'ruf nahyi munkar di antara para sahabat yang penuh kesantunan dan kasih sayang sesama.
Salah satunya adalah dalam kisah Ammar bin Yasir yang mengkritisi kebijakan Utsman selama menjadi khalifah. Utsman sangat menghormati Ammar bin Yasir karena ia termasuk dalam jajaran sahabat generasi Awwalun (orang-orang pertama memeluk Islam).
Ammar suatu hari pernah dipukul oleh bawahan Utsman di saat ia telah menyampaikan kritisinya kepada Utsman. Melihat kejadian ini, rombongan delegasi yang bersama Ammar, menuntut hak qishash kepada Utsman: "Kami menuntutmu wahai Utsman karena telah memukul Ammar."
Utsman dengan kasih sayangnya terhadap Ammar, berkata:
"Seorang bawahanku tiba-tiba memukul Ammar karena tidak beranjak pergi, padahal aku tidak menyuruhnya. Demi Allah, aku tidak menyuruhnya, bahkan aku tidak menginginkan hal itu terjadi. Tetapi jikalau engkau memang menuntutku, inilah tubuhku dan biarkan Ammar melakukan qishash-nya atas diriku."
Utsman sebenarnya terbebas dari kewajiban tuntutan qishash tersebut, tetapi apa yang ada di dalam benaknya adalah ia ingin menghibur hati Ammar yang telah dipukul bawahannya sekaligus ia pun ingin agar Ammar memahami ketidakpahaman yang luas tentang etika agama pada bawahannya tersebut. Sehingga Utsman lebih baik mengorbankan dirinya agar Ammar bisa puas dan bawahannya tidak menanggung tuntutan qishash tersebut.
Namun Ammar enggan untuk melaksanakannya karena memang ia pun menyayangi Utsman sebagaimana Nabi menyayanginya. Abu Hurairah pernah mengungkapkan kesaksiannya di saat Utsman dan keluarganya dikepung dan mendapat embargo suplai air dan makanan, Ammar bin Yasir-lah yang paling gigih dan berani untuk menolong Utsman:"Subhanallah! Dialah (Utsman) yang membeli sumur ar-Rawmah untuk kalian, tetapi mengapa kalian menghalang-halanginya minum airnya?! Berilah jalan untuk mendapatkan air baginya!"
CUKUPLAH AKU SAJA YANG TERBUNUH...
Jauh-jauh hari Rasulullah saw. telah memperingatkan kaum muslimin saat itu bahwa sepeninggal Beliau akan terjadi gelombang fitnah yang besar terhadap umat muslim dan itu akan terjadi di jaman kekhalifahan Utsman bin Affan. Rasulullah saw. pun memberi isyarat bahwa ujian fitnah yang melanda Utsman akan berakhir dengan kehilangan nyawanya dengan memberi sebuah nasehat kepadanya hingga diulang tiga kali:
Wahai Utsman, jika kelak Allah memberimu kepemimpinan, lalu kaum munafik hendak melepaskan jubah yang dipakaikan Allah kepadamu, maka jangan kau lepaskan! [5]
Kabar masa depan dari sang Nabi ini justru lebih membuat Utsman semakin tenang saat menghadapi kematiannya kelak dan semakin membuatnya rindu untuk berkumpul lagi dengan Rasulullah saw. dan para sahabat yang telah mendahuluinya menghadap ke hadirat Ilahi.
Hingga suatu saat, Rasulullah saw. menyapanya: "Wahai Utsman, makanlah bersama kami malam ini." dan Utsman pun terbangun dari mimpinya dan ia pun menyadari mimpinya itu merupakan pertanda telah tiba saatnya bagi Utsman untuk menghadap ke hadirat Allah SWT. Dan benarlah adanya, fitnah besar mengalami puncaknya pasca mimpi Utsman tersebut.
Para pemberontak mengambil momen untuk membunuh Utsman pada hari di mana hampir sebagian besar penduduk Madinah sedang menunaikan ibadah haji.
Di saat terdengar di telinga para sahabat bahwa sekelompok pasukan pemberontak tengah mengepung rumah Utsman, di saat itu juga para sahabat yang setia dengan seruan Nabi, bersegera melindungi rumah Utsman. Di antaranya adalah Abu Hurairah yang datang kepada Utsman seraya berkata: "Ini hari yang baik untuk berperang bersamamu."
Namun Utsman, sebagaimana sifatnya yang tidak ingin para sahabat Nabi ini mengalami luka atau kematian, meminta Abu Hurairah agar segera pergi dari rumahnya karena Utsman tidak ingin Abu Hurairah ikut menderita.
Begitupun saat Abdullah bin Umar, Hasan dan Husain, Abdulah bin Zubair, serta Marwan yang datang hendak melindunginya, Utsman malah berkata kepada mereka: "Aku meminta kalian pulang, simpanlah senjata kalian, dan diamlah di rumah kalian masing-masing."
Saat Zaid bin Tsabit datang dan berkata: "Kaum Anshar sudah ada di depan rumah. Mereka menawarkan diri untuk menjadi penolong Allah kembali (Ansharullah)." Tapi lagi-lagi Utsman menolaknya dan meminta mereka untuk segera menjauh dari rumahnya.
Dan yang paling mengesankan adalah ketika Ali bin Abi Thalib mengirim anak-anaknya, Hasan dan Husain, untuk melindungi Utsman, Ali pun berpesan kepada Utsman: "Aku bersama lima ratus orang pasukan berbaju besi. Oleh karena itu, ijinkanlah aku untuk melindungimudari mereka. Sungguh engkau tidak pernah melakukan sesuatu yang menyebabkan darahmu dihalalkan." Utsman terharu dengan itikad Ali seraya membalas berkata: "Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadamu. Tetapi aku tidak ingin menumpahkan darah para pemuda-pemudaku."
Setelah semua sahabat Nabi dimintanya untuk segera keluar dari rumahnya, pada saat itulah para pemberontak melakukan penyerangan terhadap Utsman. Akhirnya kaum muslimin harus kehilangan seorang sosok pemimpin yang sangat pemalu, lembut, santun, dan ramah yang telah mati di pedang para pemberontak.
Apa yang dirindukan Utsman untuk segera berkumpul kembali dengan Rasulullah saw., Abu Bakar dan Umar, akhirnya terwujud. Utsman wafat pada 18 Dzulhijah 35 Hijriah setelah hampir sebulan dirinya dan keluarganya dikepung dan tidak mendapat pasokan makanan dan air.
"Jika mereka membunuhku, mudah-mudahan sepeninggalku tidak ada lagi yang berseteru dan saling membunuh. Aku memohon ampunan kepada Allah jika aku berbuat zalim, dan aku pun memaafkan jika aku dizalimi."
- Kearifan Utsman bin Affan menghadapi fitnah besar yang melandanya -
SUMBER:
"Kisah Hidup Utsman bin Affan" - Dr. Musthafa Murad - Guru Besar Universitas al-Azhar KairoFOOTNOTE:
[1] H.R. Thabrani[2] H.R. Ahmad dan Hakim
[3] H.R. Muslim no.2401 dalam Kitab Fadhail al-Shahabah
[4] H.R. Tirmidzi dan Ahmad
[5] H.R. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad
FOTO:
Loolah