Namun bisa dimaklumi, jika kita yang cenderung skeptis mungkin justru tak langsung percaya dan cenderung menganggap adegan itu terjadi di dalam film saja. Bagaimana tidak, selama ini, melahirkan “telanjur” dianggap sebagai peristiwa yang menyakitkan, bahkan sewaktu-waktu dapat mengancam nyawa ibu dan anak. Alih-alih melahirkan di rumah, ibu yang akan melahirkan biasanya akan segera dilarikan ke klinik atau rumah sakit, untuk sepenuhnya ditangani dokter dan tenaga medis.
Pergeseran paradigma Dr I Nyoman Hariyasa Sanjaya, SpOG, ahli kandungan dan kebidanan, penggagas Bali Water Birth Association (BWA), dari RS Sanglah, Denpasar, berpendapat, fenomena tersebut tidak bisa dilepaskan dari perkembangan jaman. Modernisasi, teknologi serba canggih dan keinginan untuk praktis, secara tidak disadari menyebabkan terjadinya dehumanisasi, yaitu proses reduksi manusia menjadi robot yang tidak lagi terdiri dari satu kesatuan mind, body, dan spirit. Proses melahirkan pun dipandang sebagai peristiwa biologis semata. Selain itu, gambaran mengenai persalinan yang menyeramkan juga melekat di pikiran para perempuan sehingga tanpa pemahaman yang cukup, mereka cenderung “menyerahkan” tubuhnya pada pihak yang dianggap lebih tahu.
Pergeseran paradigma tersebut, tanpa disadari, menimbukan banyak trauma pada tubuh manusia, yang dampaknya tidak bisa dianggap remeh. “Sejak tahun 1970-an misalnya, terjadi tren operasi sesar dan intervensi medis yang tidak perlu. Kedua faktor ini diduga kuat ikut menjadi faktor penyebab kegagalan proses menyusui, terjadinya baby blues syndrome (stres pasca persalinan), juga meningkatnya bermacam-macam gangguan penyakit, termasuk alergi dan autisme,” jelas Dr Hariyasa. Bukan metode baru Berangkat dari fenomena tersebut, lahirlah semacam kesadaran untuk kembali pada konsep persalinan yang alami dan memperhatikan semua aspek tubuh manusia secara holistik (gentle birth). Perlu diketahui, gentle birth sama sekali bukan metode baru, karena pada dasarnya cara melahirkan semacam itu sudah dilakoni oleh nenek moyang kita sejak ribuan tahun yang lalu.
Robbie Davis-Floyd dan Melissa Cheyney, dalam bukunya, Childbirth Across Cultures, mengungkapkan, posisi melahirkan dengan cara berdiri, berjongkok, setengah berjongkok, atau merangkak, misalnya, sama seperti yang dilakukan oleh suku-suku primitif di berbagai penjuru dunia. Beberapa penelitian mengungkapkan, posisi yang dilakukan secara instingtif tersebut sesuai dengan mekanisme alamiah tubuh manusia untuk melahirkan. Saat melahirkan dalam keadaan setengah tegak, rongga panggul menjadi terbuka secara optimal, kontraksi kandungan mengarah ke bawah, dan proses keluarnya bayi sangat terbantu oleh bekerjanya hukum gravitasi. Kondisi ini membuat sobekan vagina tidak perlu terjadi. Aliran darah dari tubuh ibu ke rahim juga menjadi lebih lancar, sehingga asupan oksigen bagi bayi tetap tercukupi dan plasenta dapat keluar secara optimal. Posisi setengah tegak tadi juga terbukti menekan risiko terjadinya cedera punggung dan mengurangi rasa sakit. Pada jaman dahulu, perempuan melahirkan di rumah adalah hal yang lumrah. Alasannya, melahirkan merupakan peristiwa domestik yang sakral, sehingga perempuan yang akan melahirkan cenderung memilih tempat, suasana, serta orang-orang yang sudah menjadi bagian hidupnya sehari-hari. Beberapa orang juga lebih suka pergi ke danau atau sungai untuk berendam selama kontraksi dan melahirkan bayinya di dalam air. Untuk membantu jalannya persalinan, mereka menggunakan alat bantu berupa tongkat atau kursi yang bagian dudukannya dilubangi (untuk membantu menyangga tubuh), atau berpegangan pada tali, tiang, dan balok. Saat profesi bidan mulai dikenal, posisi-posisi dan cara melahirkan tadi tetap dipertahankan. Selama proses melahirkan bidan mendampingi si ibu sambil berlutut, untuk mengamati sekaligus bersiap-siap “menangkap” bayi. Setelah lahir, bayi segera diserahkan kembali pada si ibu untuk didekap dan disusui. Plasenta tidak selalu langsung dipotong, seringkali dibiarkan terlepas dengan sendirinya. Seperti halnya binatang menyusui, ibu dan bayi juga tidur dan beraktivitas bersama sampai si anak siap untuk mandiri. Persalinan modern,
pada awalnya Sebelum akhir abad ke-17, perempuan yang akan melahirkan masih dibiarkan mengambil posisi apapun yang dirasa nyaman. Posisi melahirkan pun berubah ketika pembantu persalinan tradisional serta bidan mulai digantikan oleh dokter: ibu yang akan melahirkan diminta berbaring telentang. Sebagai alat bantu, rumah sakit dan klinik bersalin menyediakan semacam “penahan” di bagian bawah lutut atau tungkai untuk membantu perempuan mengangkat kaki. Rumah sakit juga memberlakukan standar khusus pada proses persalinan, seperti pemberian suntikan urus-urus, pencukuran rambut kemaluan, “aturan untuk tiduran” menjelang persalinan, serta rawat pisah antara ibu dengan bayi yang dilahirkan.
Lauren Dundes, MHS, dalam laporan penelitiannya yang berjudul “The Evolution of Maternal Birthing Position” mengungkapkan, posisi melahirkan sambil berbaring dan mengangkat kaki (lithotomy) tidak dilatarbelakangi studi ilmiah, melainkan semata-mata dilakukan demi memudahkan dokter untuk memeriksa vagina dan menangani persalinan (American Journal of Public Health 1987, Vol.77, No.5). Alasannya, ketika perempuan yang akan melahirkan berada dalam posisi berbaring, kontraksi kandungannya akan mendorong bayi secara horisontal. Akibatnya, ia justru menentang kekuatan gravitasi. Selain memperlambat persalinan itu sendiri, posisi tersebut juga memperbesar kemungkinan terjadinya sobekan vagina dan timbulnya berbagai komplikasi. Miriam Stoppard, MD, dalam bukunya Pregnancy and Birth Handbook, mengatakan, suntikan urus-urus tidak wajib diberikan jika perut pasien telah kosong. Sementara itu, pada persalinan normal, mencukur rambut kemaluan juga tidak perlu dilakukan. Studi yang ada menunjukkan, rambut kemaluan tidak meningkatkan kemungkinan infeksi dan membersihkan daerah vagina menggunakan kain kasa dan antiseptik dianggap sudah cukup. Stoppard berpendapat, alasan pencukuran rambut kemaluan lebih bertujuan memudahkan dokter untuk melakukan perobekan vagina sekaligus memudahkan pemulihan jahitan.
Beberapa kalangan mengritik penggunaan electronic fetal monitors (monitor elektronik untuk memantau detak jantung bayi), juga intervensi medis lain yang belum tentu diperlukan, namun mengondisikan ibu “harus” berbaring menjelang persalinan. Sebuah penelitian menunjukkan, kondisi tersebut justru mengakibatkan perasaan ibu menjadi tidak nyaman, dan diduga ikut berpengaruh terhadap kelancaran proses persalinannya. Rawat pisah juga dianggap menyulitkan proses menyusui secara ekslusif dan terjalinnya bonding antara bayi dan keluarga. Padahal, begitu banyak studi mengungkapkan bahwa kedekatan ibu dan bayi pada saat-saat pertama dilahirkan sangat berpengaruh terhadap kelancaran menyusui, kualitas kesehatan bayi, mempercepat pemulihan ibu, menekan risiko baby blues syndrome, dan masih banyak lagi.
Trauma dalam persalinan Otto Rank, psikoanalis asal Austria, dalam bukunya The Trauma of Birth mengungkapkan bahwa penyebab utama gangguan syaraf dan perilaku seseorang adalah proses persalinannya sendiri. Pernyataan itu diteliti secara mendalam oleh Arthur Janov, psikolog dan psikoterapis dari Amerika, dan riset yang dilakukan menemukan hal yang sama. Bahkan, ia menegaskan bahwa proses yang terjadi sebelum dan selama kehamilan juga ikut mempengaruhi. Intervensi medis yang tidak perlu, metode persalinan dan penanganan yang tidak selaras dengan kebutuhan alamiah manusia, serta lingkungan yang tidak mendukung seperti inilah yang diyakini banyak peneliti sebagai penyebab trauma, baik terhadap ibu maupun bayi. Trauma tersebut ikut menentukan perilaku jiwa si anak ketika tumbuh dewasa, mulai bagaimana dia mengenal dan mengekspresikan cinta, berkomunikasi, berperilaku, mengambil keputusan, dan lain sebagainya. Yang mencengangkan, trauma ternyata dialami oleh hampir semua orang.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dr William Emerson, PhD, psikiater dari Amerika, yang berjudul “Birth Trauma: The Psychological Effects of Obstetrical Intervention”, ditemukan bahwa 95 persen persalinan yang terjadi di Amerika bersifat traumatis. Dari angka tersebut, 50 persennya adalah trauma sedang, dan 45 persennya merupakan trauma berat. Penelitian yang dipublikasikan dalam Journal of Prenatal and Perinatal Psychology and Health (PPPH), tahun 1998, tersebut dianggap mewakili kasus trauma persalinan yang terjadi di dunia, karena metode persalinan modern saat ini sebagian besar berkiblat ke sana. Gentle birth, dimulai sebelum persalinan Elena Tonetti, aktivis gentle birth dari Rusia, menjelaskan, persalinan merupakan momen terpenting dalam kehidupan manusia. Sebab, pada saat bayi lahir terjadi proses limbic imprinting, yaitu terjadinya proses perekaman memori yang mendasari pemahamannya terhadap cinta. Jika persalinan terjadi penuh trauma, maka trauma tersebut direkam sebagai pemahaman tentang rasanya cinta yang dibawa seumur hidupnya. Sebaliknya, jika yang terjadi adalah persalinan ramah jiwa dan penuh kehangatan, demikianlah pula cinta akan terekam. Bayi tersebut akan tumbuh berdasarkan kasih, dan inilah yang ia warisi secara fisik, mental, dan spirit sampai dewasa. Hal yang sama juga diungkapkan oleh R.D Laing, ahli psikologi dari Scotlandia, dalam bukunya yang berjudul The Facts of Life. “Itu sebabnya, aspek jiwa dalam kehamilan dan persalinan perlu dipahami secara lebih peka. Gentle birth pun sebaiknya tidak dipandang pada fase kelahiran saja, melainkan sebagai rangkaian yang sudah disadari sejak awal. Mulai dari hubungan seks yang dilakukan secara sadar, kehamilan yang dijalani sealamiah mungkin dan minim intervensi, persalinan yang ramah jiwa, hingga mengasuh anak dengan penuh kesadaran,” tutur Reza Gunawan, praktisi penyembuhan holistik di Jakarta, yang telah mempraktikkan persalinan gentle birth bersama Dewi Lestari, istrinya. Prinsip yang harus dipenuhi Dr Hariyasa mengungkapkan, gentle birth didasari keyakinan bahwa setiap perempuan memiliki potensi untuk menjalani proses melahirkan sealamiah mungkin, tenang, dan nyaman. Metode ini mengajarkan perempuan untuk menyatu, mempercayai isyarat tubuh, serta meyakini bahwa tubuh mampu berfungsi sebagaimana mestinya sehingga komplikasi bisa ditekan serendah mungkin, bahkan dihindari. Menurutnya, agar kondisi tersebut dapat tercapai, ada beberapa prinsip yang harus dipenuhi. Pertama, melahirkan dipandang sebagai momen yang harus “dirayakan” dengan penuh rasa hormat, damai, dan sakral oleh semua yang terlibat di dalamnya. Untuk itu, aspek mental dan spiritual juga perlu diperhatikan. Ibu diberi kesempatan untuk percaya, memberdayakan, dan memegang otonomi tubuhnya sendiri, sedangkan tenaga medis dan perlengkapannya bersifat membantu. Kedua, adanya peran serta keluarga – terutama suami – untuk memberikan dukungan mental dan spiritual. Partisipasi aktif semacam itu akan membuat masing-masing pihak bertransformasi untuk “tumbuh dan berkembang” bersama. Karena bagaimanapun, proses kehamilan dan kelahiran sesungguhnya merupakan fase di mana orangtua “dibesarkan” menjadi pribadi yang lebih matang. Ketiga, rasa mulas dan nyeri menjelang melahirkan dipandang sebagai mekanisme alamiah tubuh untuk membantu mengeluarkan bayi. Meskipun tetap ada, rasa nyeri tidak lagi dipandang sebagai rasa sakit yang perlu ditakuti atau dihindari. Memahami nyeri “Lagipula,” menurut Lanny Kuswandi, praktisi hypnobirthing dari Klinik Pro-V, Jakarta, “Sebenarnya nyeri itu bersifat sangat subjektif dan dipengaruhi banyak faktor. Mulai dari pengalaman hidup atau trauma, kondisi fisik, kecemasan, hingga budaya ibu yang bersangkutan. Artinya, semakin sehat fisiknya, semakin besar rasa percaya diri, kesiapan, serta keikhlasan ibu menjalani persalinannya, rasa nyerinya akan semakin ringan.” Jadi yang perlu dilakukan adalah mengelola nyeri, dengan membuat hormon ini bisa diproduksi secara optimal. “Caranya, antara lain melatih diri agar mencapai kondisi relaks yang dalam (meditatif), karena dalam kondisi inilah hormon endorfin akan berproduksi dengan baik. Semua itu bisa dilatih dengan cara meditasi, wirid, yoga, hipnoterapi, atau apa pun yang membuat tubuh kita lebih terhubung secara fisik, mental dan spiritual. Dengan demikian, rasa nyeri bisa ditekan, teralihkan, atau bahkan dinikmati kehadirannya,” jelasnya. Pentingnya membersihkan trauma Igor Charkovsky, seorang penyembuh dari Rusia, orang pertama di dunia yang melakukan eksperimen tentang persalinan di dalam air (water birth), mengamati bahwa semakin bersih jiwa ibu dari trauma kehidupan, ia akan semakin lancar menjalani persalinan. Persalinan yang alami dan lancar menjadi penting karena mencegah timbulnya trauma baru bagi ibu dan anaknya. Oleh sebab itu, Reza menyarankan, proses persiapan persalinan – yang sebaiknya dilakukan sebelum dan selama kehamilan – juga meliputi pembersihan diri, agar semua bagian dalam diri kita yang sebelumnya ditunda, ditolak, atau dihindari bisa disembuhkan terlebih dahulu. Dalam pengalamannya, Reza dan istrinya tekun berlatih meditasi, self healing, dan teknik Tapas Acupressure Technique (TAT) untuk membersihkan jiwa. “Calon ayah juga perlu melakukannya, karena janin membawa 50 persen gen ayah dan 50 persen gen ibu. Jadi, apabila permbersihan dilakukan oleh kedua orangtua, hasilnya akan lebih baik bagi bayi. Selain itu, pembersihan trauma juga perlu sebagai modal mendampingi istri dengan tenang pada saat persalinan,” tuturnya. Tidak harus di rumah Meskipun banyak orang menilai bahwa melahirkan di rumah (homebirth) adalah kondisi paling ideal untuk gentle birth, Dr Hariyasa berpendapat, persalinan ini juga bisa dilakukan di klinik-klinik dan rumah sakit. Bahkan, gentle birth tetap bisa diberlakukan pada ibu yang menjalani operasi sesar atau menjalani prosedur medis lainnya, selama prinsip-prinsipnya dipatuhi. Di Indonesia, klinik bersalin yang sudah menjalankan konsep gentle birth secara holistik dipelopori oleh Yayasan Bumi Sehat. Klinik non-profit yang terletak di Desa Nyuh Kuning, Ubud, Bali, ini sejak tahun 1995 sudah membantu kelahiran ribuan perempuan, baik lokal maupun ekspatriat. Selama proses kehamilan, mereka diajak mempersiapkan persalinan secara fisik, mental, dan spiritual, di antaranya dengan diajak berlatih meditasi dan yoga. Dalam menjalani persalinan, mereka juga dipersilakan menentukan posisi apa pun yang dirasa paling nyaman, termasuk berendam di dalam kolam yang ditaburi bunga aneka warna. Intervensi medis juga dilakukan secara sangat minim, hanya jika benar-benar diperlukan. Hal ini bisa dilihat dari jumlah klien yang harus ditransfer ke rumah sakit untuk operasi sesar, yang berkisar 4-5 persen dari jumlah klien. Angka tersebut sangat rendah jika dibandingkan jumlah kasus operasi sesar pada persalinan modern di Indonesia yang angka rata-ratanya lebih dari 29 persen. Padahal, angka maksimum yang direkomendasikan WHO adalah 15 persen. Semua orang bisa! Sayangnya, meskipun gentle birth sudah memperoleh restu dari WHO, hingga saat ini konsep gentle birth belum dapat diterima sepenuhnya oleh dunia kedokteran. Sejauh ini, yang sudah mulai diterapkan di beberapa klinik bersalin dan rumah sakit adalah persalinan di dalam air (water birth) dan hypnobirthing. Itu pun dengan syarat bila kehamilan tidak mengalami komplikasi atau berisiko tinggi. Meskipun begitu, Dr Hariyasa menilai, efeknya sudah lebih menggembirakan: para ibu menjadi lebih rileks, rasa sakitnya berkurang, serta komplikasi yang terjadi bisa ditekan. “Tanpa menjadi alergi terhadap teknologi dan dunia medis, yang penting perempuan dan keluarganya paham bahwa ketika hamil dan melahirkan, yang memegang kendali dan menentukan nasib tubuhnya adalah dia sendiri. Bukan dokter, perlengkapan serba modern, maupun teknologi canggih. Periksa dan konsultasi ke dokter atau bidan tetap penting, namun jangan lupa untuk memberdayakan diri. Toh, alam sudah memberi kita modal berupa mekanisme luar biasa untuk bisa hidup sehat dan sejahtera. Tinggal kita yang menentukan: memanfaatkannya, atau tidak,” pungkasnya.
Testimonial: Dewi Lestari, penulis dan penyanyi, berdomisili di Jakarta
“Gentle birth adalah persembahan bagi bayi” “Berbeda dengan saat melahirkan Keenan (5 tahun), anak pertama saya yang lahir secara sesar, kehamilan dan persalinan Atisha (13 bulan), anak kedua, berjalan lebih alami. Saya belajar taichi, meditasi, dan self healing untuk menyembuhkan trauma. Ketika tiba di hari H, saya melahirkan di rumah dalam sebuah kolam berisi air hangat dan hanya didampingi Reza. Pada saat itu, pesan yang saya pegang dari Mira, bidan gentle birth kenalan kami, adalah “Percaya saja pada alam”. Menurutnya, bayi akan keluar pada waktunya. Bahkan, Mira juga menganjurkan agar saya tidak perlu mengejan. Ternyata benar. Sekitar pukul 9 pagi, nyeri kontraksi seperti berganti sensasi lain: seolah ada sesuatu di dalam tubuh yang ingin mendorong keluar. Saat itu, spontan lutut saya menekuk seperti mau jongkok. Intuisi saya berkata, sudah waktunya. Saya langsung mengajak Reza masuk ke kolam. Sekitar 30 menit kemudian Atisha keluar dengan sendirinya. Ia ditangkap oleh tangan Reza, dan diberikan pada saya untuk kami dekap dan menyusu. Bagi saya, gentle birth – dengan pendekatannya yang ramah jiwa dan minim trauma – seperti tidak ada kebisingan, suasana asing, tidak ditangani oleh orang-orang yang tidak ia kenal, tidak dipisahkan dengan ibu, langsung disusui sesuai insting naluriahnya, adalah hadiah bagi bayi. Bukan cuma perkara mengurangi nyeri atau mencari kenyamanan semata. Saat persalinan, yang kami dengarkan dan turuti adalah kesiapan si bayi dalam perut, bukan semata-mata apa yang saya mau, juga sekadar mengikuti aba-aba orang luar. Kami bersyukur dapat mempersembahkannya untuk Atisha”.
*Terbit di majalah Nirmala edisi Desember 2010, penulis Dyah Pratitasari
Pergeseran paradigma Dr I Nyoman Hariyasa Sanjaya, SpOG, ahli kandungan dan kebidanan, penggagas Bali Water Birth Association (BWA), dari RS Sanglah, Denpasar, berpendapat, fenomena tersebut tidak bisa dilepaskan dari perkembangan jaman. Modernisasi, teknologi serba canggih dan keinginan untuk praktis, secara tidak disadari menyebabkan terjadinya dehumanisasi, yaitu proses reduksi manusia menjadi robot yang tidak lagi terdiri dari satu kesatuan mind, body, dan spirit. Proses melahirkan pun dipandang sebagai peristiwa biologis semata. Selain itu, gambaran mengenai persalinan yang menyeramkan juga melekat di pikiran para perempuan sehingga tanpa pemahaman yang cukup, mereka cenderung “menyerahkan” tubuhnya pada pihak yang dianggap lebih tahu.
Pergeseran paradigma tersebut, tanpa disadari, menimbukan banyak trauma pada tubuh manusia, yang dampaknya tidak bisa dianggap remeh. “Sejak tahun 1970-an misalnya, terjadi tren operasi sesar dan intervensi medis yang tidak perlu. Kedua faktor ini diduga kuat ikut menjadi faktor penyebab kegagalan proses menyusui, terjadinya baby blues syndrome (stres pasca persalinan), juga meningkatnya bermacam-macam gangguan penyakit, termasuk alergi dan autisme,” jelas Dr Hariyasa. Bukan metode baru Berangkat dari fenomena tersebut, lahirlah semacam kesadaran untuk kembali pada konsep persalinan yang alami dan memperhatikan semua aspek tubuh manusia secara holistik (gentle birth). Perlu diketahui, gentle birth sama sekali bukan metode baru, karena pada dasarnya cara melahirkan semacam itu sudah dilakoni oleh nenek moyang kita sejak ribuan tahun yang lalu.
Robbie Davis-Floyd dan Melissa Cheyney, dalam bukunya, Childbirth Across Cultures, mengungkapkan, posisi melahirkan dengan cara berdiri, berjongkok, setengah berjongkok, atau merangkak, misalnya, sama seperti yang dilakukan oleh suku-suku primitif di berbagai penjuru dunia. Beberapa penelitian mengungkapkan, posisi yang dilakukan secara instingtif tersebut sesuai dengan mekanisme alamiah tubuh manusia untuk melahirkan. Saat melahirkan dalam keadaan setengah tegak, rongga panggul menjadi terbuka secara optimal, kontraksi kandungan mengarah ke bawah, dan proses keluarnya bayi sangat terbantu oleh bekerjanya hukum gravitasi. Kondisi ini membuat sobekan vagina tidak perlu terjadi. Aliran darah dari tubuh ibu ke rahim juga menjadi lebih lancar, sehingga asupan oksigen bagi bayi tetap tercukupi dan plasenta dapat keluar secara optimal. Posisi setengah tegak tadi juga terbukti menekan risiko terjadinya cedera punggung dan mengurangi rasa sakit. Pada jaman dahulu, perempuan melahirkan di rumah adalah hal yang lumrah. Alasannya, melahirkan merupakan peristiwa domestik yang sakral, sehingga perempuan yang akan melahirkan cenderung memilih tempat, suasana, serta orang-orang yang sudah menjadi bagian hidupnya sehari-hari. Beberapa orang juga lebih suka pergi ke danau atau sungai untuk berendam selama kontraksi dan melahirkan bayinya di dalam air. Untuk membantu jalannya persalinan, mereka menggunakan alat bantu berupa tongkat atau kursi yang bagian dudukannya dilubangi (untuk membantu menyangga tubuh), atau berpegangan pada tali, tiang, dan balok. Saat profesi bidan mulai dikenal, posisi-posisi dan cara melahirkan tadi tetap dipertahankan. Selama proses melahirkan bidan mendampingi si ibu sambil berlutut, untuk mengamati sekaligus bersiap-siap “menangkap” bayi. Setelah lahir, bayi segera diserahkan kembali pada si ibu untuk didekap dan disusui. Plasenta tidak selalu langsung dipotong, seringkali dibiarkan terlepas dengan sendirinya. Seperti halnya binatang menyusui, ibu dan bayi juga tidur dan beraktivitas bersama sampai si anak siap untuk mandiri. Persalinan modern,
pada awalnya Sebelum akhir abad ke-17, perempuan yang akan melahirkan masih dibiarkan mengambil posisi apapun yang dirasa nyaman. Posisi melahirkan pun berubah ketika pembantu persalinan tradisional serta bidan mulai digantikan oleh dokter: ibu yang akan melahirkan diminta berbaring telentang. Sebagai alat bantu, rumah sakit dan klinik bersalin menyediakan semacam “penahan” di bagian bawah lutut atau tungkai untuk membantu perempuan mengangkat kaki. Rumah sakit juga memberlakukan standar khusus pada proses persalinan, seperti pemberian suntikan urus-urus, pencukuran rambut kemaluan, “aturan untuk tiduran” menjelang persalinan, serta rawat pisah antara ibu dengan bayi yang dilahirkan.
Lauren Dundes, MHS, dalam laporan penelitiannya yang berjudul “The Evolution of Maternal Birthing Position” mengungkapkan, posisi melahirkan sambil berbaring dan mengangkat kaki (lithotomy) tidak dilatarbelakangi studi ilmiah, melainkan semata-mata dilakukan demi memudahkan dokter untuk memeriksa vagina dan menangani persalinan (American Journal of Public Health 1987, Vol.77, No.5). Alasannya, ketika perempuan yang akan melahirkan berada dalam posisi berbaring, kontraksi kandungannya akan mendorong bayi secara horisontal. Akibatnya, ia justru menentang kekuatan gravitasi. Selain memperlambat persalinan itu sendiri, posisi tersebut juga memperbesar kemungkinan terjadinya sobekan vagina dan timbulnya berbagai komplikasi. Miriam Stoppard, MD, dalam bukunya Pregnancy and Birth Handbook, mengatakan, suntikan urus-urus tidak wajib diberikan jika perut pasien telah kosong. Sementara itu, pada persalinan normal, mencukur rambut kemaluan juga tidak perlu dilakukan. Studi yang ada menunjukkan, rambut kemaluan tidak meningkatkan kemungkinan infeksi dan membersihkan daerah vagina menggunakan kain kasa dan antiseptik dianggap sudah cukup. Stoppard berpendapat, alasan pencukuran rambut kemaluan lebih bertujuan memudahkan dokter untuk melakukan perobekan vagina sekaligus memudahkan pemulihan jahitan.
Beberapa kalangan mengritik penggunaan electronic fetal monitors (monitor elektronik untuk memantau detak jantung bayi), juga intervensi medis lain yang belum tentu diperlukan, namun mengondisikan ibu “harus” berbaring menjelang persalinan. Sebuah penelitian menunjukkan, kondisi tersebut justru mengakibatkan perasaan ibu menjadi tidak nyaman, dan diduga ikut berpengaruh terhadap kelancaran proses persalinannya. Rawat pisah juga dianggap menyulitkan proses menyusui secara ekslusif dan terjalinnya bonding antara bayi dan keluarga. Padahal, begitu banyak studi mengungkapkan bahwa kedekatan ibu dan bayi pada saat-saat pertama dilahirkan sangat berpengaruh terhadap kelancaran menyusui, kualitas kesehatan bayi, mempercepat pemulihan ibu, menekan risiko baby blues syndrome, dan masih banyak lagi.
Trauma dalam persalinan Otto Rank, psikoanalis asal Austria, dalam bukunya The Trauma of Birth mengungkapkan bahwa penyebab utama gangguan syaraf dan perilaku seseorang adalah proses persalinannya sendiri. Pernyataan itu diteliti secara mendalam oleh Arthur Janov, psikolog dan psikoterapis dari Amerika, dan riset yang dilakukan menemukan hal yang sama. Bahkan, ia menegaskan bahwa proses yang terjadi sebelum dan selama kehamilan juga ikut mempengaruhi. Intervensi medis yang tidak perlu, metode persalinan dan penanganan yang tidak selaras dengan kebutuhan alamiah manusia, serta lingkungan yang tidak mendukung seperti inilah yang diyakini banyak peneliti sebagai penyebab trauma, baik terhadap ibu maupun bayi. Trauma tersebut ikut menentukan perilaku jiwa si anak ketika tumbuh dewasa, mulai bagaimana dia mengenal dan mengekspresikan cinta, berkomunikasi, berperilaku, mengambil keputusan, dan lain sebagainya. Yang mencengangkan, trauma ternyata dialami oleh hampir semua orang.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dr William Emerson, PhD, psikiater dari Amerika, yang berjudul “Birth Trauma: The Psychological Effects of Obstetrical Intervention”, ditemukan bahwa 95 persen persalinan yang terjadi di Amerika bersifat traumatis. Dari angka tersebut, 50 persennya adalah trauma sedang, dan 45 persennya merupakan trauma berat. Penelitian yang dipublikasikan dalam Journal of Prenatal and Perinatal Psychology and Health (PPPH), tahun 1998, tersebut dianggap mewakili kasus trauma persalinan yang terjadi di dunia, karena metode persalinan modern saat ini sebagian besar berkiblat ke sana. Gentle birth, dimulai sebelum persalinan Elena Tonetti, aktivis gentle birth dari Rusia, menjelaskan, persalinan merupakan momen terpenting dalam kehidupan manusia. Sebab, pada saat bayi lahir terjadi proses limbic imprinting, yaitu terjadinya proses perekaman memori yang mendasari pemahamannya terhadap cinta. Jika persalinan terjadi penuh trauma, maka trauma tersebut direkam sebagai pemahaman tentang rasanya cinta yang dibawa seumur hidupnya. Sebaliknya, jika yang terjadi adalah persalinan ramah jiwa dan penuh kehangatan, demikianlah pula cinta akan terekam. Bayi tersebut akan tumbuh berdasarkan kasih, dan inilah yang ia warisi secara fisik, mental, dan spirit sampai dewasa. Hal yang sama juga diungkapkan oleh R.D Laing, ahli psikologi dari Scotlandia, dalam bukunya yang berjudul The Facts of Life. “Itu sebabnya, aspek jiwa dalam kehamilan dan persalinan perlu dipahami secara lebih peka. Gentle birth pun sebaiknya tidak dipandang pada fase kelahiran saja, melainkan sebagai rangkaian yang sudah disadari sejak awal. Mulai dari hubungan seks yang dilakukan secara sadar, kehamilan yang dijalani sealamiah mungkin dan minim intervensi, persalinan yang ramah jiwa, hingga mengasuh anak dengan penuh kesadaran,” tutur Reza Gunawan, praktisi penyembuhan holistik di Jakarta, yang telah mempraktikkan persalinan gentle birth bersama Dewi Lestari, istrinya. Prinsip yang harus dipenuhi Dr Hariyasa mengungkapkan, gentle birth didasari keyakinan bahwa setiap perempuan memiliki potensi untuk menjalani proses melahirkan sealamiah mungkin, tenang, dan nyaman. Metode ini mengajarkan perempuan untuk menyatu, mempercayai isyarat tubuh, serta meyakini bahwa tubuh mampu berfungsi sebagaimana mestinya sehingga komplikasi bisa ditekan serendah mungkin, bahkan dihindari. Menurutnya, agar kondisi tersebut dapat tercapai, ada beberapa prinsip yang harus dipenuhi. Pertama, melahirkan dipandang sebagai momen yang harus “dirayakan” dengan penuh rasa hormat, damai, dan sakral oleh semua yang terlibat di dalamnya. Untuk itu, aspek mental dan spiritual juga perlu diperhatikan. Ibu diberi kesempatan untuk percaya, memberdayakan, dan memegang otonomi tubuhnya sendiri, sedangkan tenaga medis dan perlengkapannya bersifat membantu. Kedua, adanya peran serta keluarga – terutama suami – untuk memberikan dukungan mental dan spiritual. Partisipasi aktif semacam itu akan membuat masing-masing pihak bertransformasi untuk “tumbuh dan berkembang” bersama. Karena bagaimanapun, proses kehamilan dan kelahiran sesungguhnya merupakan fase di mana orangtua “dibesarkan” menjadi pribadi yang lebih matang. Ketiga, rasa mulas dan nyeri menjelang melahirkan dipandang sebagai mekanisme alamiah tubuh untuk membantu mengeluarkan bayi. Meskipun tetap ada, rasa nyeri tidak lagi dipandang sebagai rasa sakit yang perlu ditakuti atau dihindari. Memahami nyeri “Lagipula,” menurut Lanny Kuswandi, praktisi hypnobirthing dari Klinik Pro-V, Jakarta, “Sebenarnya nyeri itu bersifat sangat subjektif dan dipengaruhi banyak faktor. Mulai dari pengalaman hidup atau trauma, kondisi fisik, kecemasan, hingga budaya ibu yang bersangkutan. Artinya, semakin sehat fisiknya, semakin besar rasa percaya diri, kesiapan, serta keikhlasan ibu menjalani persalinannya, rasa nyerinya akan semakin ringan.” Jadi yang perlu dilakukan adalah mengelola nyeri, dengan membuat hormon ini bisa diproduksi secara optimal. “Caranya, antara lain melatih diri agar mencapai kondisi relaks yang dalam (meditatif), karena dalam kondisi inilah hormon endorfin akan berproduksi dengan baik. Semua itu bisa dilatih dengan cara meditasi, wirid, yoga, hipnoterapi, atau apa pun yang membuat tubuh kita lebih terhubung secara fisik, mental dan spiritual. Dengan demikian, rasa nyeri bisa ditekan, teralihkan, atau bahkan dinikmati kehadirannya,” jelasnya. Pentingnya membersihkan trauma Igor Charkovsky, seorang penyembuh dari Rusia, orang pertama di dunia yang melakukan eksperimen tentang persalinan di dalam air (water birth), mengamati bahwa semakin bersih jiwa ibu dari trauma kehidupan, ia akan semakin lancar menjalani persalinan. Persalinan yang alami dan lancar menjadi penting karena mencegah timbulnya trauma baru bagi ibu dan anaknya. Oleh sebab itu, Reza menyarankan, proses persiapan persalinan – yang sebaiknya dilakukan sebelum dan selama kehamilan – juga meliputi pembersihan diri, agar semua bagian dalam diri kita yang sebelumnya ditunda, ditolak, atau dihindari bisa disembuhkan terlebih dahulu. Dalam pengalamannya, Reza dan istrinya tekun berlatih meditasi, self healing, dan teknik Tapas Acupressure Technique (TAT) untuk membersihkan jiwa. “Calon ayah juga perlu melakukannya, karena janin membawa 50 persen gen ayah dan 50 persen gen ibu. Jadi, apabila permbersihan dilakukan oleh kedua orangtua, hasilnya akan lebih baik bagi bayi. Selain itu, pembersihan trauma juga perlu sebagai modal mendampingi istri dengan tenang pada saat persalinan,” tuturnya. Tidak harus di rumah Meskipun banyak orang menilai bahwa melahirkan di rumah (homebirth) adalah kondisi paling ideal untuk gentle birth, Dr Hariyasa berpendapat, persalinan ini juga bisa dilakukan di klinik-klinik dan rumah sakit. Bahkan, gentle birth tetap bisa diberlakukan pada ibu yang menjalani operasi sesar atau menjalani prosedur medis lainnya, selama prinsip-prinsipnya dipatuhi. Di Indonesia, klinik bersalin yang sudah menjalankan konsep gentle birth secara holistik dipelopori oleh Yayasan Bumi Sehat. Klinik non-profit yang terletak di Desa Nyuh Kuning, Ubud, Bali, ini sejak tahun 1995 sudah membantu kelahiran ribuan perempuan, baik lokal maupun ekspatriat. Selama proses kehamilan, mereka diajak mempersiapkan persalinan secara fisik, mental, dan spiritual, di antaranya dengan diajak berlatih meditasi dan yoga. Dalam menjalani persalinan, mereka juga dipersilakan menentukan posisi apa pun yang dirasa paling nyaman, termasuk berendam di dalam kolam yang ditaburi bunga aneka warna. Intervensi medis juga dilakukan secara sangat minim, hanya jika benar-benar diperlukan. Hal ini bisa dilihat dari jumlah klien yang harus ditransfer ke rumah sakit untuk operasi sesar, yang berkisar 4-5 persen dari jumlah klien. Angka tersebut sangat rendah jika dibandingkan jumlah kasus operasi sesar pada persalinan modern di Indonesia yang angka rata-ratanya lebih dari 29 persen. Padahal, angka maksimum yang direkomendasikan WHO adalah 15 persen. Semua orang bisa! Sayangnya, meskipun gentle birth sudah memperoleh restu dari WHO, hingga saat ini konsep gentle birth belum dapat diterima sepenuhnya oleh dunia kedokteran. Sejauh ini, yang sudah mulai diterapkan di beberapa klinik bersalin dan rumah sakit adalah persalinan di dalam air (water birth) dan hypnobirthing. Itu pun dengan syarat bila kehamilan tidak mengalami komplikasi atau berisiko tinggi. Meskipun begitu, Dr Hariyasa menilai, efeknya sudah lebih menggembirakan: para ibu menjadi lebih rileks, rasa sakitnya berkurang, serta komplikasi yang terjadi bisa ditekan. “Tanpa menjadi alergi terhadap teknologi dan dunia medis, yang penting perempuan dan keluarganya paham bahwa ketika hamil dan melahirkan, yang memegang kendali dan menentukan nasib tubuhnya adalah dia sendiri. Bukan dokter, perlengkapan serba modern, maupun teknologi canggih. Periksa dan konsultasi ke dokter atau bidan tetap penting, namun jangan lupa untuk memberdayakan diri. Toh, alam sudah memberi kita modal berupa mekanisme luar biasa untuk bisa hidup sehat dan sejahtera. Tinggal kita yang menentukan: memanfaatkannya, atau tidak,” pungkasnya.
Testimonial: Dewi Lestari, penulis dan penyanyi, berdomisili di Jakarta
“Gentle birth adalah persembahan bagi bayi” “Berbeda dengan saat melahirkan Keenan (5 tahun), anak pertama saya yang lahir secara sesar, kehamilan dan persalinan Atisha (13 bulan), anak kedua, berjalan lebih alami. Saya belajar taichi, meditasi, dan self healing untuk menyembuhkan trauma. Ketika tiba di hari H, saya melahirkan di rumah dalam sebuah kolam berisi air hangat dan hanya didampingi Reza. Pada saat itu, pesan yang saya pegang dari Mira, bidan gentle birth kenalan kami, adalah “Percaya saja pada alam”. Menurutnya, bayi akan keluar pada waktunya. Bahkan, Mira juga menganjurkan agar saya tidak perlu mengejan. Ternyata benar. Sekitar pukul 9 pagi, nyeri kontraksi seperti berganti sensasi lain: seolah ada sesuatu di dalam tubuh yang ingin mendorong keluar. Saat itu, spontan lutut saya menekuk seperti mau jongkok. Intuisi saya berkata, sudah waktunya. Saya langsung mengajak Reza masuk ke kolam. Sekitar 30 menit kemudian Atisha keluar dengan sendirinya. Ia ditangkap oleh tangan Reza, dan diberikan pada saya untuk kami dekap dan menyusu. Bagi saya, gentle birth – dengan pendekatannya yang ramah jiwa dan minim trauma – seperti tidak ada kebisingan, suasana asing, tidak ditangani oleh orang-orang yang tidak ia kenal, tidak dipisahkan dengan ibu, langsung disusui sesuai insting naluriahnya, adalah hadiah bagi bayi. Bukan cuma perkara mengurangi nyeri atau mencari kenyamanan semata. Saat persalinan, yang kami dengarkan dan turuti adalah kesiapan si bayi dalam perut, bukan semata-mata apa yang saya mau, juga sekadar mengikuti aba-aba orang luar. Kami bersyukur dapat mempersembahkannya untuk Atisha”.
*Terbit di majalah Nirmala edisi Desember 2010, penulis Dyah Pratitasari