Yad Vashem adalah sebuah kawasan monumental di Israel yang di dalamnya tidak hanya sebagai monumen peringatan para korban Holocaust Nazi tetapi diabadikan pula orang-orang yang telah mempertaruhkan nyawanya untuk menolong warga-warga Yahudi dari kekejaman Nazi.
Dari luas areal 45 hektar, ada sebuah kebun yang khusus diperuntukkan bagi kalangan non Yahudi yang telah berjasa besar dalam menyelamatkan orang-orang Yahudi dari Holocaust. Kawasan ini dikenal sebagai kebun Righteous Among the Nations.
Orang Jawa Pahlawan di Yad Vashem
Pada artikel sebelumnya sempat disinggung tentang hadirnya sosok muslim yang diabadikan di kebun ini. Kali ini kejutan lain datang dari sebuah catatan kecil pada publikasi statistik situs resmi Yad Vashem. Secara sekilas, nama Indonesia tidak masuk dalam jajaran Righteous Among the Nations - per Country and Ethnic Origin. Namun pada sebuah catatan kecilnya disinggung keterangan:
Includes two persons originally from Indonesia, but residing in the Netherlands.
Jadi memang ada dua warga Indonesia yang tercatat Yad Vashem, namun karena ia lama berdomisili di Belanda, maka keduanya dimasukkan ke dalam kelompok Belanda. Dua orang warga Indonesia kelahiran Jawa tersebut adalah Tolé Madna dan Mima Saïna. Keduanya dianggap telah berani mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkan Alfred Münzer (anak bungsu dari keluarga Yahudi yang saat itu masih balita) dari Holocaust Nazi.
Tole Madna | Mima Saina |
Berdasarkan publikasi Yad Vashem dan Congressional Record, April 9, 2002 Senat Amerika, keduanya resmi masuk dalam jajaran Righteous Among the Nations pada tahun 2003 atas rekomendasi dari Congregation Adas Israel di Washington D.C. dan Senator California, Henry A. Waxman.
Sedikit informasi yang menguraikan biodata lengkap dari keduanya, Congressional Record hanya menyebutkan Tole Madna di akhir hidupnya memeluk agama Katolik, sedangkan Mima Saina adalah pembantu rumah Tole Madna, ia seorang muslim.
Perjalanan Menuju Kamp Konsentrasi
Kisahnya dimulai dengan pasangan Simcha (Siegfried) Münzer dan Gitel (Gisele), keduanya masih punya hubungan dekat sebagai sepupu, mereka bertemu saat keduanya masih berada di Polandia. Simcha berasal dari kota Kańczuga sedangkan Gitel berasal dari Rymanów, kedua kota berada di propinsi Podkarpackie, Polandia selatan.
Keduanya meninggalkan Polandia saat berumur 18 tahun, Simcha menuju Hague, Belanda, dan di sana ia membuka butik pakaian pria. Sedangkan Gitel tinggal di rumah kakaknya di Berlin sebelum akhirnya menuju Hague di awal Desember 1932, dan menikah dengan Simcha pada 16 Desember 1932.
Pernikahan Simcha dan Gitel Münzer di Hague, 1932
Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai dua anak perempuan bernama Eva yang lahir tahun 1936 dan Leana yang lahir tahun 1938. Sedangkan anak ketiga adalah seorang anak laki-laki lahir pada 23 Nopember 1941 di Hague diberi nama Alfred Münzer.
Saat anak ketiga dilahirkan, Belanda saat itu dalam posisi sudah diinvasi oleh Jerman. Sebelumnya, Belanda menyatakan netral pada Perang Dunia I dan pada awal meletusnya Perang Dunia II tahun 1939, Belanda sekali lagi menyatakan diri sebagai negara netral, sekalipun begitu, tanggal 10 Mei 1940, Jerman menginvasi Belanda karena Jerman hendak mengantisipasi masuknya pasukan Inggris melalui laut dan Perancis melalui Ardennes.
Pada 21 Mei 1942, keluarga Münzer diwajibkan melapor ke kamp buruh kerja Jerman, namun Simcha mengelak dengan cara berpura-pura dirawat di Rumah Sakit untuk operasi Hernia.
Memasuki September 1942 situasi semakin tidak jelas bagi keluarga Münzer sehingga memaksanya untuk segera menyembunyikan diri. Sekali lagi Simcha terus berusaha menghindar dan kali ini ia berpura-pura terlihat seperti hendak melakukan usaha bunuh diri agar bisa masuk ke Remarkkliniek, sebuah Rumah Sakit Jiwa di dekat kota Hague.
Sementara Simcha berada di Rumah Sakit, Gitel menjual semua isi rumahnya dan bersiap untuk membawa pergi anak-anaknya. Dua anak perempuannya dititipkan ke seorang temannya yang juga tetangganya yang beragama Katolik yang siap membantu menyembunyikan mereka. Sedangkan si bungsu, Alfred, dititipkan ke seorang tetangga lainnya yang bernama Annie Madna.
Gitel kemudian meninggalkan rumahnya untuk terakhir kalinya di bulan Oktober 1942 untuk bergabung bersama suaminya di Remarkkliniek dengan berpura-pura sebagai perawat yang merawat Simcha.
Pada 26 Desember 1942, Remarkkliniek diserbu pasukan SS Nazi dan semua pegawai dan pasien Rumah Sakit tersebut dibawa oleh SS. Simcha dan Gitel untuk sementara waktu ditempatkan di sebuah penjara transit yang dibangun pada abad ke-17 yang juga satu kota dengan filsuf Yahudi terkenal, Benedict Spinoza.
Pada 3 Januari 1943, keduanya digiring ke kamp Westerbork (Durchgangslager Westerbork), sebuah kamp transit bagi bagi Yahudi Belanda, Belgia, dan Italia yang hendak ditransfer ke kamp Nazi lainnya. Kamp ini berada di Hooghalen, 10 km utara kota Westerbork, timur laut Belanda.
Dari kamp tersebut, keduanya kemudian ditransfer ke kamp Vught (Konzentrationslager Herzogenbusch), Belanda selatan, untuk dipekerjakan di perusahaan tabung radio Phillips, dan tinggal di sana hingga Maret 1944 ketika hampir semua kamp konsentrasi di Belanda sudah dikosongkan.
Kamp Westerbork dan Vught merupakan kamp transit yang digunakan untuk mempersiapkan pengiriman Yahudi Belanda dan Belgia untuk disebarkan ke kamp konsentrasi di Polandia yang selanjutnya dimusnahkan di sana. Pasca Perang Dunia II, kamp ini menjadi penjara bagi penjahat perang Jerman dan simpatisannya, kemudian menjadi penjara dengan keamanan tingkat tinggi pemerintah Belanda, Extra Beveiligde Inrichting (EBI).Lokasi ini pun dijadikan tempat domisili oleh sebagian besar pendatang Indonesia dari Maluku. Corrie dan Betsie ten Boom, anggota gerakan perlawanan Belanda, sempat ditahan di kamp ini pada tahun 1944 sebelum dikirim ke kamp Ravensbrück. Johan Cornelis Princen "Haji Princen", saat masih sebagai tentara Belanda, sempat ditahan di kamp ini, tahun 1948 ia kemudian membelot dengan membela TNI melawan Belanda, dan di akhir hidupnya ia menjadi muslim dan rajin memperjuangkan hak asasi di Indonesia.
Dari Vught, mereka dipulangkan kembali ke kamp Westerbork untuk dikumpulkan bersama-sama konvoi menuju kamp Auschwitz (Konzentrationslager Auschwitz). Setibanya di Auschwitz, Simcha dan Gitel berpisah. Simcha tetap tinggal di sana hingga dievakuasi bulan Januari 1945 ia dibawa ke Mauthausen dan dari sana ditransfer ke Gusen, Steyr dan terakhir ke kamp Ebensee (KZ-Gedenkstätte Ebensee) di mana ia dibebaskan. Dua bulan setelah perang berakhir, Simcha meninggal saat sedang menjalani perawatan di dekat sebuah biara, dan jasadnya dikuburkan di areal pemakaman di kamp Ebensee.
Nazi membangun kamp Ebensee untuk mempekerjakan tawanan Yahudi guna membangun terowongan bawah tanah yang akan difungsikan untuk mengevakuasi senjata misil V-2 dan Wasserfall Ferngelenkte Flakrakete, hasil pabrikasi Peenemünde. Hitler di kemudian hari mengkonversinya menjadi sebuah pabrik kendaraan tempur lapis baja sejak 6 Juli 1944.
Para tahanan kamp Ebensee yang selamat saat dibebaskan oleh Tentara AS Divisi ke-80 Airborne pada Mei 1945.
Nasib Gitel hanya tinggal sebentar di Auschwitz, kemudian ia ditransfer ke kamp Reichenbach di Dzierżoniów, Polandia. Di sana ia dipekerjakan pada pabrik Telefunken-Phillips. Pada musim panas 1944, pabrik tersebut dibombardir dan seluruh penghuninya yang selamat dievakuasi. Gitel sendiri dipaksa berjalan kaki bersama rombongan lainnya (Death March) dikirim ke kamp buruh kerja di Zittau, Adelsheim, Binau, Bergen-Belsen, Hanover, Stendhal, Luebeck, Hamburg dan terakhir di kamp Ravensbrück (Ravensbrueck).
Kamp Ravensbrück adalah kamp konsentrasi khusus wanita berada di dekat desa Ravensbrück, 90 km dari utara Berlin. Germaine Tillion dalam bukunya, Ravensbrück, mengungkapkan bahwa selain sebagai kamp konsentrasi khusus wanita, selama Agustus 1942-Agustus 1943, Ravensbrück pun menjadi kamp percobaan medik Nazi dan kebanyakan yang menjadi korbannya adalah tahanan wanita dari Polandia yang dipanggil dengan sebutan Króliki, Kanninchen, atau Lapins yang berarti kelinci percobaan.Percobaan ini dilakukan di klinik Hohenlychen oleh Prof. Karl Gebhardt. Umumnya wanita-wanita ini masih berusia muda bahkan anak-anak yang dipilih dari kelompok pelajar atau mahasiswa. Beberapa yang selamat dari hasil percobaan ini kemudian dieksekusi. Pasca pembebasan kamp ini, tercatat sekitar 74 wanita Polandia yang telah menjadi korban, 5 di antaranya meninggal saat sedang menjalani eksperimen, 6 wanita langsung dieksekusi masih dalam keadaan terluka sehabis eksperimen, sedangkan 63 sisanya berhasil selamat namun menderita secara permanen.
Gitel dibebaskan dari kamp Ravensbrück setelah Count Folke Bernadotte dari Palang Merah Swedia membuat kesepakatan dengan Heinrich Himmler. Gitel yang ikut diboyong ke Swedia, kemudian dirawat oleh keluarga Zohnmen di Göteborg (Gothenburg), Swedia. Bulan Agustus 1945, Gitel kemudian pulang ke Belanda, dan ia akhirnya mengetahui hanya Alfred Münzer yang masih selamat, sedangkan kedua putrinya, Eva dan Leana meninggal.
Berdasarkan keterangan dari Stiftung Brandenburgische Gedenkstätten, sekitar 7.500 tahanan wanita di kamp ini diboyong ke Swiss dan Swedia oleh Palang Merah Swiss dan Swedia. Sedangkan sisanya yang masih tertinggal sekitar 10.000 wanita dibebaskan oleh Tentara Merah Rusia yang menguasai tempat ini pada 30 April 1945. 3.000 wanita di antaranya diketahui dalam keadaan sakit.
Diketahui kemudian setelah mengetahui Simcha dan Gitel dideportasi ke kamp konsentrasi, keluarga yang menerima titipan kedua putrinya tersebut menjadi berselisih, akhirnya sang suami melaporkan istrinya sendiri berikut kedua putri Gitel ke SS. Ketiganya kemudian ditangkap dan dideportasi ke kamp Westerbork. Pada tanggal 8 Pebruari 1944, ketiganya terpisah, kedua putri Gitel ditransfer ke kamp Auschwitz dan meninggal di sana tiga hari kemudian.
Foto tahun 1942 di kediaman Münzer di Hague. Eva (kiri), Alfred (tengah) dan Leana (kanan). Eva dan Leana meninggal di kamp Auschwitz.
Tidak diketahui secara pasti penyebab kematian kedua putrinya di Auschwitz. Biasanya anak-anak dipisahkan sementara dan dikumpulkan di sebuah bangunan khusus, bila keadaan mereka memburuk akan langsung ditembak mati. Sebagian lain ada yang langsung digiring untuk dieksekusi di kamar gas dengan Zyklon-B.
Kisah Penyelamatan Alfred
Sebulan setelah si bungsu, Alfred, dititipkan Gitel kepada Annie Madna, ia kemudian dipindahkan ke adik perempuan Annie karena saat itu seorang Belanda simpatisan Nazi tinggal di sebelah rumahnya. Kemudian Annie menghubungi mantan suaminya imigran dari Indonesia bernama Tole Madna yang kebetulan bersahabat pula dengan Simcha Münzer.
Di sanalah akhirnya Alfred dirawat oleh Tole Madna hingga Perang Dunia II berakhir. Gestapo pernah menginspeksi rumah Tole Madna, namun mereka menyangka kalau Alfred adalah anak kaukasia keturunan Indonesia sehingga Alfred tidak pernah diambil oleh Gestapo.
Tole Madna dan Alfred Münzer pasca Perang Dunia II, 1946-1947, di Hague
Selama di rumah Tole Madna, Alfred selalu diasuh oleh seorang pembantu yang juga imigran dari Indonesia bernama Mima Saina, yang menurut penuturan Alfred, ia diasuh oleh Saina dengan penuh kasih sayang layak ibunya sendiri.
Mima Saina menggendong Alfred Münzer, di kediaman Tole Madna di Hague tahun 1942-1943
Selama ini Alfred hanya mengenal Mima Saïna sebagai sosok ibunya, dan Gitel memaklumi hal itu setelah lama berpisah dengan Alfred. Keluarga Mandal meminta Gitel untuk sementara tinggal bersama mereka supaya Alfred bisa beradaptasi dengan Gitel. Beberapa kemudian Mima Saina secara mendadak meninggal karena perdaharan di otak, tak lama setelah itu, Gitel akhirnya memutuskan untuk pindah bersama Alfred ke rumah mereka sendiri.
Alfred dalam wawancara bersama USHMM, mengungkapkan perasaan kehilangannya yang amat besar atas meninggalnya Mima Saina:
"Saat itu saya menangis karena tidak senang telah dibangunkan dari tidur, hingga saya berpindah-pindah pangkuan dari satu orang ke orang lain. Saya masih mengingat dengan jelas ketika saya menolak untuk duduk dipangkuan seorang wanita asing, yang tentunya itu adalah ibu kandung saya. Butuh waktu lama bagi saya untuk bisa terbiasa dengan ibunya..."
13 tahun kemudian, Gitel dan Alfred tinggal bersama di Belanda dan Belgia. Di sana Gitel mengirimkan Alfred ke sekolah agama (Yeshiva) di Aix-les-Bains, Perancis.
Saat Alfred berusia 6 tahun, Gitel membuka usaha kosmetik di Belanda, yang kemudian pada tahun 1952, mereka pindah ke Belgia. Gitel sempat dinikahi oleh pria Yahudi dari Brussel, Belgia, yang lebih tua darinya namun tidak bertahan lama.
Sejak itu Gitel dan Alfred berimigrasi ke Amerika Serikat mulai tahun 1958. Di sana Alfred mendalami ilmu kedokteran, dan akhirnya menjadi dokter spesialis Pulmonologis di Washington Adventist Hospital, Takoma Park, Washington D.C.
dr. Alfred Münzer
Alfred Münzer menceritakan, sejak ibunya menyadari akan dideportasi, maka ibunya selalu membawa dua foto kenangan saat Alfred disunat. Foto itu berukuran sangat kecil, 1x1½ inci. Foto-foto itu selalu dibawa Gitel selama berada dan berpindah-pindah antar kamp konsentrasi. Gitel mengakalinya dengan menyimpannya di rambutnya, dan hingga Gitel bebas dan bertemu dengan Alfred, foto-foto itu masih ada.
Kesaksian Alfred Münzer ini dapat disimak secara multimedia di situs United States Holocaust Memorial Museum (USHMM) yang bertajuk Stories of the Hidden.
Mima Saina dan Tole Madna (sedang memangku Alfred Münzer), 1942-1943
Mima Saina memangku Alfred Münzer, Willie Madna, Dewie Madna dan Tole Madna, 18 April 1944
Penghargaan Untuk Tole Madna dan Mima Saina
Sekalipun Gitel dan Alfred menetap lama di Amerika Serikat, namun Alfred tetap menjalin hubungan dengan keluarga Madna di Belanda, khususnya Robby Madna. Atas inisiatif Alfred, Yad Vashem akhirnya mengabadikan Tole Madna dan Mima Saina pada tahun 2003. Hanya saja keduanya dimasukkan ke dalam kelompok negara Belanda, dengan alasan bahwa mereka berdua lama tinggal di Belanda sekalipun keduanya asli Indonesia.
Robby Madna berada di belakang mengasuh Alfred Münzer yang sedang naik sepeda.
Tahun 2002, Robby Madna, anak laki-laki Tole Madna, diundang untuk menerima penghargaan dari Adas Israel di Washington D.C. yang akan mengabadikan nama ayahnya dan Mima Saina pada plakat di Garden of the Righteous, sebuah kebun di dekat Synagogue Washington D.C. Setahun sesudahnya, Rob Madna kemudian meninggal dunia.
Penghargaan Garden of the Righteous ini diinisiasi pertama kalinya oleh Rabbi Jeffrey A. Wohlberg di Washington D.C. pada tahun 1992 untuk mengenang jasa-jasa kalangan non-Yahudi yang telah mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkan Yahudi dari holocaust.
Robby Madna mewakili almarhum ayahnya menerima penghargaan dari Adas Israel, 2002.
Robby Madna punya nama lengkap Tole Johannes Hendricus "Rob" Madna (1931-2003). Ia adalah seorang pianis Modern Jazz. Aktif bermusisi di Belanda dan hingga akhir hayatnya ia sudah merilis 4 album, Broadcast Business 76 Feat. F.Povel, En blanc et noir #6, Live at Café Hopper, dan Rob Madna Box. Di tahun terakhirnya, 2003, Rob Madna memperoleh Bird Award for Lifetime Achievement dalam North Sea Jazz Festival.
Robby Madna (1931-2003)
Sumber Data dan Foto:
- United States Holocaust Memorial Museum - www.ushmm.org
- Yad Vashem The Holocaust Martyrs' and Heroes' Remembrance Authority - www1.yadvashem.org
- Wikipedia - en.wikipedia.org
- Stiftung Brandenburgische Gedenkstätten - www.ravensbrueck.de
- Jarek Gajewski - "Ravensbrück"
- Richard J. Green - "The Chemistry of Auschwitz"
- Adas Israel Congregation - www.adasisrael.org
- Dutch Jazz Orchestra - dutchjazz.nl