Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, salah satu pakar hadits Indonesia, dalam bukunya "Tiga Hukum Bagi Perempuan Haid Dan Junub" yang diterbitkan oleh Darul Qolam Jakarta, mengutarakan hukum tentang boleh tidaknya orang yang junub, wanita haid dan nifas tinggal atau diam di masjid:
...Kalau orang kafir saja yang tidak pernah mandi janabah dibolehkan masuk ke dalam masjid apalagi seorang muslim, tentunya lebih utama dan lebih berhak masuk ke dalam masjid meskipun dalam keadaan junub atau dia seorang perempuan yang sedang haid atau nifas (yakni mimbaabil aula). Yang mana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan, “Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis”
Berikut penjelasannya:
"Artinya : ... Sesungguhnya aku tidak halalkan masjid ini bagi perempuan yang haid dan orang yang junub."
DHA'IF. Riwayat Abu Dawud (no. 232), Ibnu Khuzaimah (no. 1327), Baihaqiy (2/442-443) dan ad-Duulaabiy di kitabnya al-Kuna wal Asmaa' (1/150-151), dan jalan Abdul Wahid bin Ziyad (ia berkata): Telah menceritakan kepada kami Aflat bin Khalifah, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Jasrah binti Dajaajah, dari 'Aisyah marfu' (Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda seperti di atas)
Saya berkata: Sanad hadits ini dha’if, di dalamnya terdapat Jasrah binti Dajaajah seorang rawi yang dha’if.
Berkata Bukhari, "Pada Jasrah terdapat keanehan-keanehan." (Yakni, pada riwayat-riwayatnya terdapat keanehan-keanehan).[1] Berkata Baihaqiy, "Hadits ini tidak kuat."[2] Berkata al-Khathaabiy, "Hadits ini telah dilemahkan oleh jama'ah (ahli hadits)." [3] Berkata Abdul Haq, "Hadits ini tidak tsabit (kuat) dari jurusan isnadnya." Berkata Ibnu Hazm di kitabnya al-Muhallah (2/186) tentang seluruh jalan hadits ini, "Semuanya ini adalah batil."
Syaikhul Imam al-Albani telah melemahkan hadits ini di kitabnya Irwaaul Ghalil (no. 193). Dan beliau pun mengatakan bahwa telah terjadi perselisihan atau perbedaan di dalam sanadnya. Di atas Aflat meriwayatkan dari Jasrah dari 'Aisyah. Dalam riwayat yang lain Jasrah meriwayatkan dari Ummu Salamah sebagaimana riwayat di bawah ini.
"Artinya: Sesungguhnya masjid ini tidak halal bagi orang yang junub dan perempuan haid."
DHA'IF. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 645) dari jalan Ibnu Abi Ghaniyyah, dari Abil Khaththaab al-Hajariy, dari Mahduh adz-Dzuhliy, dari Jasrah ia berkata: Telah mengkabarkan kepadaku Ummu Salamah, marfu' (Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda seperti di atas).
Imam Abu Zur'ah Ar Raaziy berkata, "Yang benar adalah riwayat Jasrah dari Aisyah." [4] Berkata Imam Ibnu Hazm di kitabnya al-Muhalla (2/186), "Adapun Mahduh telah gugur riwayatnya, ia telah meriwayatkan dari Jasrah riwayat-riwayat yang mu'dhal. Sedangkan Abul Khaththaab al-Hajariy majhul."
Saya berkata: Abul Khaththaab dan Mahduh dua orang rawi yang majhul sebagaimana diterangkan al-Hafizh Ibnu Hajar di Taqrib-nya (2/231 dan 417).
Saya berkata: Selain dua riwayat dha'if di atas dan yang kedua lebih lemah dari yang pertama, yang mereka jadikan dalil tentang haramnya bagi orang yang junub dan perempuan haid dan nifas untuk tinggal atau diam di masjid, mereka pun berdalil dengan beberapa atsar dha’if di bawah ini:
[1]. Perkataan Ibnu Abbas tentang firman Allah surat An-Nisaa ayat 43.
Berkata Ibnu Abbas, “Tidak boleh engkau masuk masjid sedangkan engkau dalam keadaan junub kecuali sekedar lewat dan jangan engkau duduk” [Riwayat Baihaqiy: 2/443]
Saya berkata: Sanad riwayat ini dha’if, karena Abu Ja’far Ar-Raazi yang ada di sanadnya seorang rawi yang dha’if karena buruk hafalannya dan dia telah dilemahkan oleh para Imam di antaranya Imam Ahmad bin Hambal, Abu Zur’ah, Nasa’i, al-Fallas dan lain-lain. Dan telah datang riwayat dari Ibnu Abbas dengan sanad yang shahih yang menyalahi riwayat dha’if di atas.
Telah berkata Ibnu Abi Syaibah di kitab-kitab al-Mushannaf, “Telah menceritakan kepada kami Waaki, dari Ibnu Abi Arubah, dari Qatadah, dari Abi Mijlaz, dari Ibnu Abbas tentang firman Allah di atas beliau mengatakan (menafsirkan) ; (Yang dimaksud dengan ‘aabiri sabil) ialah musafir yang tidak memperoleh air lalu dia bertayamum” [5]
[2]. Kemudian Imam Baihaqiy meriwayatkan lagi (2/443) dari jalan Abu Ubaidah bin Abdullah, dari Ibnu Mas’ud bahwa dia telah memberikan keringanan bagi orang yang junub untuk sekedar lewat di dalam masjid (yakni tidak duduk atau tinggal di masjid)
Saya berkata: Sanad ini dha’if, karena Abu Ubaidah bin Abdullah bin Mas’ud tidak pernah berjumpa dengan bapaknya yaitu Abdullah bin Mas’ud. Dengan demikian maka sanad ini munqathi (terputus).
[3]. Kemudian Imam Baihaqiy meriwayatkan lagi (2/443) dari jalan Hasan bin Abi Ja’far al-Azdiy, dari Salm al-Alawiy, dari Anas bin Malik tentang firman Allah di atas dia berkata, “Sekedar lewat dan tidak duduk (di masjid)”.
Saya berkata: Sanad in pun dha’if, karena:
Pertama: Salm bin Qais Al-Alawiy seorang rawi yang dha’if sebagaimana dikatakan oleh al-Hafidzh Ibnu Hajar di Taqribnya (1/314).
Kedua: Hasan bin Abi Ja’far al-Jufriy Abu Sa’id al-Azdiy, telah dilemahkan oleh Jama’ah ahli hadits. [Taqribut Tahdzib 1/164, Tahdzibit Tahdzib 2/260-261. Mizanul I’tidal 1/482-483]
Saya berkata: Telah sah dari Ali bin Abi Thalib bahwa beliau menafsirkan ayat di atas dengan orang musafir, beliau berkata, “Diturunkan ayat ini berkenaan dengan orang musafir. Dan tidak juga bagi orang yang junub kecuali orang yang mengadakan perjalanan sehingga dia mandi." Beliau berkata: "Apabila seorang (musafir) itu junub lalu dia tidak memperoleh air, dia tayamum lalu shalat sampai dia mendapatkan air. Dan apabila dia telah mendapatkan air (hendaklah) dia mandi" [Riwayat Baihaqiy 1/216 dan Ibnu Jarir di kitab Tafsirnya juz 5 hal. 62 dan lain-lain sebagaimana telah dijelaskan oleh Ibnu Katsir di Tafsirnya 1/501 dan Imam Suyuthi di tafsirnya ad-Durul Mantsur 2/165]
Setelah kita mengetahui bahwa seluruh riwayat yang melarang orang yang junub dan perempuan haid/nifas berdiam atau tinggal di masjid semuanya dha’if. Demikian juga tafsir ayat 43 surat an-Nisaa yang melarang orang yang junub dan perempuan haid berdiam atau tinggal di masjid semuanya dha’if tidak ada satupun yang sah (shahih atau hasan).
Bahkan tafsir yang shahih dan sesuai dengan maksud ayat ialah tafsir dari Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Abbas di atas. Yaitu, musafir yang terkena janabah dan dia tidak mendapatkan air lalu dia tayammum sampai dia memperoleh air. Jadi yang dimaksud dengan firman Allah ‘aabiri sabil ialah musafir. Bukanlah yang dimaksud orang yang masuk ke dalam masjid sekedar melewatinya tidak diam atau tinggal di dalamnya.
Tafsir yang demikian selain tidak sesuai dengan susunan ayat dan menyalahi tafsir sahabat dan sejumlah dalil di bawah ini yang menjelaskan kepada kita bahwa orang yang junub dan perempuan yang haid atau nifas boleh diam atau tinggal di masjid:
Dalil Pertama
Dari 'Aisyah, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadaku, "Ambilkanlah untukku sajadah kecil [6] di masjid." Jawabku, "Sesungguhnya aku sedang haid." Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya haidmu itu tidak berada di tanganmu."
[Shahih riwayat Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah dan Ahmad dan lain-lain]
Pengambilan dalil dari hadits yang mulia ini ialah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan 'Aisyah masuk ke dalam masjid walaupun sedang haid. Dan ketegasan jawaban beliau kepada 'Aisyah menunjukkan bahwa haidmu tidak menghalangimu masuk ke dalam masjid karena haidmu tidak berada di tanganmu.
Ada yang mengatakan, bahwa hadits di atas hanya menunjukkan bolehnya bagi perempuan haid sekedar masuk ke dalam masjid atau melewatinya untuk satu keperluan kemudian segera keluar dari dalam masjid bukan untuk diam dan tinggal lama di dalam masjid.
Saya jawab: Subhaanallah! Inilah ta'thil, yaitu menghilangkan sejumlah faedah yang ada di dalam hadits 'Aisyah di atas. Kalau benar apa yang dikatakannya tentu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan pengecualian kepada 'Aisyah bahwa dia hanya boleh masuk ke dalam masjid dalam waktu yang singkat atau melewatinya sekedar mengambil sajadah kecil beliau dan tidak boleh diam dan tinggal lama di dalam masjid.
Akan tetapi beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda secara umum masuk ke dalam masjid tanpa satupun pengecualian. Padahal saat itu 'Aisyah sangat membutuhkan penjelasan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang memerintahkannya masuk ke dalam masjid dalam keadaan haid.
Sedangkan mengakhirkan penjelasan dari waktu yang dibutuhkan tidak diperbolehkan menurut kaidah ushul yang telah disepakati. Oleh karena itu wajib bagi kita menetapkan dan mengamalkan keumuman sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu diperbolehkan bagi perempuan haid untuk masuk ke dalam masjid secara mutlak, baik sebentar atau lama bahkan tinggal atau menetap di dalamnya sebagaimana ditunjuki oleh dalil ketiga dan keempat.
Dalil Kedua
Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis”.
Shahih riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad dan lain-lain dari jalan Abu Hurairah, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjumpaiku di salah satu jalan dari jalan-jalan yang ada di Madinah, sedangkan aku menyingkir pergi dan segera aku mandi kemudian aku datang (menemui beliau), lalu beliau bersabda, “Kemana engkau tadi wahai Abu Hurairah?” Jawabku, “Aku tadi dalam keadaan junub, maka aku tidak suka duduk bersamamu dalam keadaan tidak bersih (suci)”, Maka beliau bersabda, “Subhanallah! Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis” (Dalam riwayat yang lain beliau bersabda, “Sesungguhnya orang muslim itu tidak najis) [7]
Dalil Ketiga
Dan' Aisyah (ia berkata), "Sesungguhnya ada seorang budak perempuan hitam kepunyaan salah satu suku dari bangsa Arab. Lalu mereka memerdekakannya, kemudian ia pun tinggal bersama mereka..."
Berkata 'Aisyah, "Lalu perempuan itu datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan masuk Islam."
Berkata 'Aisyah, "Dan perempuan itu mempunyai kemah kecil di masjid (yakni sebagai tempat tinggalnya)..."
[Shahih riwayat Bukhari (no. 439)]
Pengambilan dalil dari hadits yang mulia ini jelas sekali tentang bolehnya bagi perempuan haid untuk tinggal lama atau diam di masjid. Karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah memberikan pengecualian kepada perempuan di atas yang tinggal di masjid dan mempunyai kemah untuk dia tidur dan menurut dalil keempat perempuan itu bekerja sebagai pembersih masjid, bahwa 'kalau datang hari-hari haidmu hendaklah engkau jangan tinggal di masjid.'
Kalau sekiranya perempuan haid itu tidak boleh tinggal atau diam di masjid tentu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan pengecualian seperti di atas. Akan tetapi beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menetapkan dan membolehkan perempuan tersebut untuk tinggal di masjid bahkan mempunyai kemah sendiri secara umum dan mutlak tanpa satupun pengecualian. Padahal beliau shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui dan kita pun mengetahui bahwa perempuan setiap bulannya akan melalui hari-hari haid.
Dalil di atas bersama dalil keempat di bawah ini merupakan setegas-tegas dalil dan hujjah tentang bolehnya bagi perempuan haid dan nifas untuk diam dan tinggal lama di masjid. Dan Imam Bukhari yang meriwayatkan hadits di atas di kitab shahihnya telah memberikan bab dengan judul: "Bab:Tidurnya perempuan di masjid"
Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam mensyarahkan bab di atas mengatakan bahwa yang dimaksud ialah, "Tinggal atau diamnya perempuan di dalam masjid."
Dalil Keempat
Dari Abu Hurairah (ia berkata): Bahwasanya ada seorang laki-laki hitam -atau seorang perempuan hitam- [8] yang biasa membersihkan kotoran di masjid mati. Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya tentangnya, mereka menjawab, "la telah mati." Beliau bersabda, "Kenapakah kamu tidak memberitahukan kepadaku tentang (kematian)nya, tunjukkanlah kepadaku kuburnya." Lalu beliau mendatangi kubur laki-laki itu -atau kubur perempuan itu- kemudian beliau menshalatinya.
[Shahih riwayat Bukhari (no.458, 460 dan 1337)]
Pengambilan dalil dari hadits yang mulia ini sama dengan yang sebelumnya karena orangnya satu, yaitu seorang perempuan hitam yang masuk Islam kemudian tinggal dan menetap di masjid dan bekerja sebagai pembersih masjid
Dalil Kelima
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Aku pernah melihat tujuh puluh orang laki-laki dari penduduk Suffah tidak seorang pun di antara mereka yang mempunyai baju, imma kain atau selimut yang mereka ikat ke tengkuk mereka. Maka diantaranya (yakni di antara pakaian itu) ada yang sampai mata kaki, lalu mereka berkerobong dengan tangannya khawatir auratnya” [Shahih riwayat Bukhari no. 442]
Pengambilan dalil dari hadits yang mulia ini jelas sekali tentang bolehnya bagi orang yang junub untuk tinggal lama atau diam di masjid. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memberikan pengecualian kepada para shahabat yang tinggal di Suffah (teras masjid), bahwa ‘kalau salah seorang kamu junub hendaklah dia jangan tinggal di masjid’.
Kalau sekiranya orang yang junub itu tidak boleh tinggal atau diam di masjid tentu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan pengecualian seperti di atas. Akan tetapi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan dan membolehkan para shahabat yang tinggal di Suffah untuk tetap tinggal di masjid secara umum dan mutlak tanpa satupun pengecualian. Padahal beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui dan kita pun mengetahui bahwa adakalanya seseorang itu terkena janabah.
Dalil Keenam
Dari Abu Hurairah, ia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus pasukan berkuda kearah Najd, lalu pasukan itu datang membawa seorang tawanan laki-laki dari Bani Hanifah yang bernama Tsumaamah bin Utsaal. Kemudian mereka mengikatnya di salah satu dari tiang-tiang masjid, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menemuinya dan beliau bersabda, “Lepaskan (ikatan) Tsumaamah”. Kemudian ia (yakni Tsumaamah) pergi ke sebuah pohon kurma yang berada di dekat masjid, lalu dia mandi kemudian masuk ke dalam masjid dan mengucapkan, “Asyhadu allaa ilaaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah”
[Shahih riwayat Bukhari (no. 462, 469, 2422, 2423 dan 4372)]
Pengambilan dalil dari hadits yang mulia ini ialah, kalau orang kafir saja yang tidak pernah mandi janabah dibolehkan masuk ke dalam masjid apalagi seorang muslim, tentunya lebih utama dan lebih berhak masuk ke dalam masjid meskipun dalam keadaan junub atau dia seorang perempuan yang sedang haid atau nifas (yakni mimbaabil aula). Yang mana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan, “Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis” [Lihatlah dalil kedua].
[Disalin dari buku Tiga Hukum Bagi Perempuan Haid Dan Junub (Menyentuh/Memegang Al-Qur’an, Membacanya Dan Tinggal Atau Diam Di Masjid, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat, Penerbit Darul Qalam – Jakarta]
Catatan:
[1]. Tahdzibut Tahdzib (12/406) dan Nasbur Raayah (1/194).
[2]. Al-Majmu Syarah Muhadzdzab (2/160) oleh Imam an-Nawawi.
[3]. Tafsir Ibnu Katsir (1/501) dan Nasbur raayah (1/144) dan al-Majmu Syarah Muhadzdzab (2/160).
[4]. Tafsir Ibnu Katsir (1/501).Talkhisul Habir (1/140). Nasbur Raayah (1/194-195).
[5]. Demikian keterangan Imam Ibnu Turkamaaniy atas komentar beliau terhadap kitab Sunanul Kubranya Imam Baihaqiy yang saya nukil dengan ringkas dan mengambil maknanya.
[6]. Al-Khumrah ialah sajadah kecil yang cukup hanya untuk sujud.
[7]. Kejadian yang sama juga terjadi pada Hudzaifah sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad dan lain-lain.
[8]. Yang benar adalah seorang perempuan hitam yang tinggal di masjid dan pekerjaannya membersihkan masjid sebagaimana ditunjuki oleh dalil ketiga dan beberapa riwayat yang dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam mensyarahkan hadits ini (no.458) di Fathul Baari.