Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, salah satu pakar hadits Indonesia, dalam bukunya "Tiga Hukum Bagi Perempuan Haid Dan Junub" yang diterbitkan oleh Darul Qolam Jakarta, mengutarakan hukum menyentuh al-Qur'an bagi orang yang sedang junub, wanita haid dan nifas:
Tidak ada satupun dalil yang melarang menyentuh atau memegang al-Qur’an bagi orang junub, perempuan haid dan nifas. Allahumma, kecuali mereka yang melarang atau mengharamkan berdalil dengan firman Allah Azza wa Jalla.
“Tidak ada yang menyentuh (al-Qur’an) kecuali mereka yang telah disucikan”
[Q.S. al-Waaqi’ah 56:79]
Yang hak, yang dimaksud oleh ayat di atas ialah : Tidak ada yang dapat menyentuh al-Qur’an yang ada di Lauhul Mahfudz sebagaimana ditegaskan oleh ayat yang sebelumnya (Q.S. al-Waaqi'ah 56:77-79) kecuali para Malaikat yang telah disucikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Demikian tafsir dari Ibnu Abbas dan lain-lain sebagaimana telah diterangkan oleh al-Hafidzh Ibnu Katsir di tafsirnya. Bukanlah yang dimaksud bahwa tidak boleh menyentuh atau memegang al-Qur’an kecuali orang yang bersih dari hadats besar dan hadats kecil. Kalau betul demikian maksudnya tentang firman Allah di atas artinya menjadi : Tidak ada yang menyentuh al-Qur’an kecuali mereka yang suci/bersih, yakni dengan bentuk faa’il (subyek/pelaku) bukan maf’ul (obyek). Kenyataannya Allah berfirman: Tidak ada yang menyentuhnya (al-Qur’an) kecuali mereka yang telah disucikan, yakni dengan bentuk maf’ul (obyek) bukan sebagai faa’il (subyek).
Mereka pun berdalil dengan hadits.
“Tidak ada yang menyentuh al-Qur’an kecuali orang yang suci”
Shahih riwayat Daruquthni dari jalan Amr bin Hazm. Dan dari jalan Hakim bin Hizaam diriwayatkan oleh Daruquthni, Hakim, Thabrani di kitabnya Mu’jam Kabir dan Mu’jam Ausath dan lain-lain. Dan dari jalan Ibnu Umar diriwayatkan oleh Daruquthni dan lain-lain. Dan dari jalan Utsman bin Abil Aash diriwayatkan oleh Thabrani di Mu’jam Kabir dan lain-lain.[1]
Yang hak, yang dimaksud oleh hadits di atas ialah: Tidak ada yang menyentuh al-Qur’an kecuali orang mu’min, karena orang mu’min itu suci tidak najis sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis”
Shahih riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad dan lain-lain dari jalan Abu Hurairah, ia berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjumpaiku di salah satu jalan dari jalan-jalan yang ada di Madinah, sedangkan aku dalam keadaan junub, lalu aku menyingkir pergi dan segera aku mandi kemudian aku datang (menemui beliau), lalu beliau bersabda, “Kemana engkau tadi wahai Abu Hurairah?” Jawabku, “Aku tadi dalam keadaan junub, maka aku tidak suka duduk bersamamu dalam keadaan tidak bersih (suci)”. Maka beliau bersabda, “Subhanallah! Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis” (Dalam riwayat yang lain beliau bersabda, “Sesungguhnya orang muslim itu tidak najis”).
Bukanlah yang dimaksud dengan orang yang suci ialah suci dari hadats besar dan hadats kecil, karena lafadz thaahir dalam hadits di atas ialah satu lafadz yang mempunyai beberapa arti (musytarak) yaitu: Suci dari hadats besar, suci dari hadats kecil dan suci dalam arti orang mu’min. untuk menentukan salah satu dari tiga macam arti thaahir di atas harus ada qarinah (tanda dan alamat) yang membawa dan menentukan salah satunya. Apakah arti thaahir di atas maksudnya bersih dan hadats besar atau bersih dari hadats kecil atau mu’min?.
Untuk yang pertama dan kedua yaitu bersih dari hadats besar dan hadats kecil tidak ada satu pun qarinah yang menetapkannya.[2].
Sedangkan untuk yang ketiga yaitu orang mu’min telah datang qarinah dari hadits shahih di atas yaitu sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis”, Yakni orang mu’min itu suci, karena najis lawan dari suci, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menafikan (meniadakan) kenajisan bagi orang-orang yang beriman (mu’minun), maka mafhumnya bahwa orang-orang yang beriman itu suci.
Istimewa apabila kita melihat kepada sebab-sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (sabaabul wurudil hadits) bahwa orang mu’min itu tidak najis, yaitu kejadian pada diri Abu Hurairah yang sedang janabah dan tidak mau duduk bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan anggapan bahwa dia sedang tidak suci!? Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyalahkan anggapan tersebut dengan sabdanya: Subhaanallah, sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis.
Catatan:
[1]. Irwaa-ul Ghalil no. 122 oleh Syaikhul Imam Al-Albani. Beliau telah mentakhrij hadits di atas dan menyatakannya shahih.
[2]. Karena tidak datang satupun dalil yang melarang menyentuh atau memegang al-Qur’an bagi orang yang junub, perempuan haid dan nifas.
TAMBAHAN:
“Artinya: Dari Ibnu Umar, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Janganlah perempuan yang haid dan orang yang junub membaca sedikit pun juga dari (ayat) al-Qur’an.”
Dalam riwayat yang lain, “Janganlah orang yang junub dan perempuan yang haid membaca sedikit pun juga dari (ayat) al-Qur’an”
DHA’IF. Dikeluarkan oleh Tirmidzi (no. 121). Ibnu Majah (no. 595 dan 596). ad-Daruquthni (1/117) dan Baihaqiy (1/89), dari jalan Ismail bin Ayyaasy dari Musa bin Uqbah dari Naafi, dari Ibnu Umar (ia berkata seperti di atas)
Berkata Imam Bukhari, “Ismail (bin Ayyaasy) munkarul hadits (apabila dia meriwayatkan hadits) dari penduduk Hijaz dan penduduk Iraq” [1]
Saya berkata: Hadits di atas telah diriwayatkan oleh Ismail bin Ayyaasy dari Musa bin Uqbah seorang penduduk Iraq. Dengan demikian riwayat Ismail bin Ayyaasy dha’if.
Imam az-Zaila’i di kitabnya Nashbur Raayah (I/195) menukil keterangan Imam Ibnu Adiy di kitabnya al-Kaamil bahwa Ahmad dan Bukhari dan lain-lain telah melemahkan hadits ini dan Abu Hatim menyatakan bahwa yang benar hadits ini mauquf kepada Ibnu Umar (yakni yang benar bukan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan tetapi hanya perkataan Ibnu Umar).
Berkata al-Hafidzh Ibnu Hajar di kitabnya Talkhisul Habir (1/138) : Di dalam sanadnya ada Ismail bin Ayyaasy, sedangkan riwayatnya dari penduduk Hijaz dha’if dan di antaranya (hadits) ini. Berkata Ibnu Abi Hatim dari bapaknya (Abu Hatim), “Hadits Ismail bin Ayyaasy ini keliru, dan (yang benar) dia hanya perkataan Ibnu Umar”. Dan telah berkata Abdullah bin Ahmad dari bapaknya (yaitu Imam Ahmad ia berkata), “(Hadits) ini batil“ Beliau mengingkari (riwayat) Ismail. Sekian dari al-Hafidz Ibnu Hajar.
Hadits yang lain dari jalan Ibnu Umar:
“Artinya: Dari jalan Abdul Malik bin Maslamah (ia berkata) Telah menceritakan kepadaku Mughirah bin Abdurrahman, dari Musa bin Uqbah dan Naafi, dari Ibnu Umar, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak boleh bagi orang junub membaca sedikitpun juga dari (ayat) al-Qur’an”
DHA’IF. Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni (1/117)
Al-Hafidz Ibnu Hajar telah melemahkan riwayat di atas disebabkan Abdul Malik bin Maslamah seorang rawi yang dha’if (Talkhisul Habir 1/138)
Hadits yang lain dari jalan Ibnu Umar:
“Artinya: Dari seorang laki-laki, dari Abu Ma’syar, dari Musa bin Uqbah, dari Naafi, dari Ibnu Umar, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Perempuan yang haid dan orang yang junub, keduanya tidak boleh membaca sedikitpun juga dari (ayat) al-Qur’an”
DHA’IF. Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni (1/117)
Saya berkata: Riwayat ini dha’if karena: Pertama: Ada seorang rawi yang mubham (tidak disebut namanya yaitu dari seorang laki-laki). Kedua: Abu Ma’syar seorang rawi yang dha’if.
Hadits yang lain dari jalan Jabir bin Abdullah:
“Artinya: Dari jalan Muhammad bin Fadl, dari bapaknya, dari Thawus, dari Jabir, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak boleh bagi perempuan yang haid dan nifas (dalam riwayat yang lain: Orang yang junub) membaca (ayat) al-Qur’an sedikitpun juga (dalam riwayat) yang lain: Sedikitpun juga dari (ayat) al-Qur’an)”
MAUDHU. Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni (2/87) dan Abu Nua’im di kitabnya al-Hilyah (4/22).
Saya berkata: Sanad hadits ini maudhu (palsu) karena Muhammad bin Fadl bin Athiyah bin Umar telah dikatakan oleh para Imam ahli hadits sebagai pendusta sebagaimana keterangan al-Hafidz Ibnu Hajar di Taqrib-nya (2/200). Dan di kitabnya Talkhisul Habir (1/138) beliau mengatakan bahwa orang ini matruk.
Ketika hadits-hadits di atas dari semua jalannya dha’if bahkan hadits terakhir maudhu, maka tidak bisa dijadikan sebagai dalil larangan bagi perempuan haid dan nifas dan orang yang junub membaca al-Qur’an. Bahkan telah datang sejumlah dalil yang membolehkannya.
Pertama: Apabila tidak ada satu pun dalil yang sah (shahih dan hasan) yang melarang perempuan haid, nifas dan orang yang junub membaca ayat-ayat al-Qur’an, maka hukumnya dikembalikan kepada hukum asal tentang perintah dan keutamaan membaca al-Qur’an secara mutlak termasuk perempuan haid, nifas dan orang yang junub.
Kedua: Hadits Aisyah ketika dia haid sewaktu menunaikan ibadah haji:
“Artinya: Dari Aisyah, ia berkata: Kami keluar (menunaikan haji) bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dan) kami tidak menyebut kecuali haji. Maka ketika kami sampai di (satu tempat bernama) Sarif aku haid. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menemuiku dan aku sedang menangis, lalu beliau bertanya, “Apa yang menyebabkanmu menangis?” Jawabku, “Aku ingin demi Allah kalau sekiranya aku tidak haji pada tahun ini?” Jawabku, “Ya” Beliau bersabda, “Sesungguhnya (haid) ini adalah sesuatu yang telah Allah tentukan untuk anak-anak perempuan Adam, oleh karena itu kerjakanlah apa-apa yang dikerjakan oleh orang yang sedang haji selain engkau tidak boleh thawaf di Ka’bah sampai engkau suci (dari haid)”
[Shahih riwayat Bukhari (no. 305) dan Muslim (4/30)]
Hadits yang mulia ini dijadikan dalil oleh para Ulama di antaranya amirul mu’minin fil hadits al-Imam al-Bukhari di kitab Shahih-nya bagian Kitabul Haid bab 7 dan Imam Ibnu Baththaal, Imam ath-Thabari, Imam Ibnul Mundzir dan lain-lain bahwa perempuan haid, nifas dan orang yang junub boleh membaca al-Qur’an dan tidak terlarang.
Berdasarkan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah untuk mengerjakan apa-apa yang dikerjakan oleh orang yang sedang menunaikan ibadah haji selain thawaf dan tentunya juga terlarang shalat. Sedangkan yang selainnya boleh termasuk membaca al-Qur’an. Karena kalau membaca al-Qur’an terlarang bagi perempuan haid tentu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskannya kepada Aisyah. Sedangkan Aisyah saat itu sangat membutuhkan penjelasan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apa yang boleh dan terlarang baginya. Menurut ushul “mengakhirkan keterangan dari waktu yang dibutuhkan tidak boleh.
Ketiga: Hadits Aisyah:
“Artinya: Dari Aisyah, ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdzikir atas segala keadaannya” [Hadits shahih riwayat Muslim (1/194 dan lain-lain]
Hadits yang mulia ini juga dijadikan hujjah oleh al-Imam al-Bukhari dan lain-lain imam tentang bolehnya orang yang junub dan perempuan haid atau nifas membaca al-Qur’an. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdzikir kepada Allah atas segala keadaannya dan yang termasuk berdzikir ialah membaca al-Qur’an. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan adz-Dzikra (al-Qur’an) ini, dan sesungguhnya Kami jugalah yang akan (tetap) menjaganya” [Q.S. al-Hijr 15:9]
“Dan Kami turunkan kepadamu adz-Dzikra (al-Qur’an) supaya engkau jelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka dan agar supaya mereka berfikir” [Q.S. an-Nahl 16:44]
Keempat: Surat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Heracleus yang di dalamnya berisi ayat al-Qur’an sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dan lain-lain. Hadits yang mulia inipun dijadikan dalil tentang bolehnya orang yang junub membaca al-Qur’an. Karena sudah barang tentu orang-orang kafir tidak selamat dari janabah, meskipun demikian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis surat kepada mereka yang di dalamnya terdapat firman Allah.
Kelima: Ibnu Abbas mengatakan tidak mengapa bagi orang yang junub membaca al-Qur’an (Shahih Bukhari Kitabul Haidh bab 7).
Jika engkau berkata: Bukankah telah datang hadits bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membaca al-Qur’an ketika janabah?
Saya jawab: Hadits yang dimaksud tidak sah dari hadits Ali bin Abi Thalib dengan lafadz:
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari tempat buang air (wc), lalu beliau makan daging bersama kami, dan tidak ada yang menghalangi beliau sesuatu pun juga dari (membaca) al-Qur’an selain janabah"
DHA’IF. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 229), Tirmidzi (no 164), Nasa’i (1/144), Ibnu Majah (no. 594), Ahmad (1/83, 84, 107 dan 124), ath-Thayaalis di Musnad-nya (no. 94), Ibnu Khuzaimah di Shahih-nya (no. 208), Daruquthni (1/119), Hakim (1/152 dan 4/107) dan Baihaqiy (1/88-89) semuanya dari jalan Amr bin Murrah dari Abdullah bin Salimah dari Ali, marfu (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam berbeda seperti di atas)
Hadits ini telah dishahihkan oleh Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Hakim, Adz-Dzahabi, Ibnu Sakan, Abdul Haq, Al-Baghawiy dan Syaikhul Imam Ahmad Muhammad Syakir di takhrij Tirmidzi dan takhrij musnad Ahmad.
Dan hadits ini telah didhaifkan oleh jama’ah ahli hadits –dan inilah yang benar- Insya Allah di antaranya oleh Syu’bah, Syafi’iy, Ahmad, Bukhari, Baihaqiy, al-Mundziriy, an-Nawawi, al-Khathaabiy dan Syaikhul Imam al-Albani dan lain-lain.
Berkata asy-Syafi’iy, “Ahli hadits tidak mentsabitkan (menguatkan)nya”. Yakni, ahli hadits tidak menguatkan riwayat Abdullah bin Salimah. Karena Amr bin Murrah yang meriwayatkan hadits ini Abdullah bin Salimah sesudah Abdullah bin Salimah tua dan berubah hafalannya. Demikian telah diterangkan oleh para Imam di atas.
Oleh karena itu hadits ini kalau kita mengikuti kaidah-kaidah ilmu hadits, maka tidak ragu lagi tentang dha’ifnya dengan sebab di atas yaitu Abdullah bin Salimah ketika meriwayatkan hadits ini telah tua dan berubah hafalannya. Maka bagaimana mungkin hadits ini sah (shahih atau hasan)!.
Selain itu hadits ini juga tidak bisa dijadikan dalil larangan bagi orang yang junub dan perempuan yang haid atau nifas membaca al-Qur’an, karena semata-mata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membacanya dalam junub tidak berarti beliau melarangnya sampai datang larangan yang tegas dari beliau. Ini kalau kita takdirkan hadits di atas sah, apalagi hadits di atas dha’if tentunya lebih tidak mungkin lagi dijadikan sebagai hujjah atau dalil!
Meskipun demikian menyebut nama Allah atau membaca al-Qur’an dalam keadaan suci (berwudhu) lebih utama yakni hukumnya sunat berdasarkan hadits shahih di bawah ini:
“Artinya: Dari Muhaajir bin Qunfudz, sesungguhnya dia pernah datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau sedang buang air kecil (kencing), lalu ia memberi salam kepada beliau akan tetapi beliau tidak menjawab (salam)nya sampai beliau berwudhu. Kemudian beliau beralasan dan bersabda: ”Sesungguhnya aku tidak suka menyebut nama Allah (berdzikir) kecuali dalam keadaan suci (berwudhu)” [Hadits shahih riwayat Abu Dawud dan lain-lain]
[Disalin dari buku Tiga Hukum Bagi Perempuan Haid Dan Junub (Menyentuh/Memegang al-Qur'an Membacanya dan Tinggal atau Diam di Masjid, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat, Penerbit Darul Qolam]