Selain lagi hangatnya berita rokok yg difatwa haram oleh MUI, bberapa waktu lalu pun lagi seru2nya diangkat kembali kasus aborsi. Ini dimulai dgn tertangkapnya oknum dokter yg membuka praktek aborsi di sebuah klinik. Tidak hanya oknum dokter yg pernah tertangkap tangan, kita pun dapat mengingat pernah juga oknum dokter gigi, oknum paramedis, bahkan nonmedis pun berani melakukan aborsi ini dan pernah tertangkap kepolisian. Ntah karena onsetnya yg ratusan juta, atau karena makin merosotnya moral penduduk Indonesia yg menyebabkan praktek ini ga pernah habis. Menyedihkannya, sebuah LSM pernah mensurvei dari 4 wanita hamil yg datang ke klinik, 3 diantaranya tidak menginginkan kehamilannya. Siapa gy salah jadinya. Tentu multifaktor yg mendorong aborsi terjadi.
Seperti dosenku, Dr. dr. Fahmi Idris, M.Kes, Ketua Umum IDI, katakan tindakan aborsi itu melanggar sumpah, etik dokter, hukum yg berlaku. Walaupun begitu tetep aja banyak oknum tenaga medis berotak kecil yg melakukan itu. Aku jadi ingat kisah bbrp bulan lalu ketika jadi dokter klinik di pinggiran kota. Biasanya klinik2 di pinggiran kota ini yg dijadikan sasaran untuk melakukan praktek terlarang itu.
Hari itu datang 4 siswiSMA, lengkap dgn atributnya, datang ke klinik. Tanpa malu2, salah satu diantaranya mengatakan bisa ga di klinik ini menggugurkan kandungannya. Hah, tentunya kami yg mendengar rada terkejut. Perawat pun mengatakan tidak bisa dan menasehati lebih baik untuk meminta pertanggujawaban dari cowoknya, serta bertanya klo tau bisa hamil kok masih melakukan juga. Sekali lagi satu diantara mereka tanpa malu bilang ga bisa nahan hasrat. Bahkan temannya yg lain tanpa rasa bersalah, sambil tertawa2 mengatakan sambil menunjuk ke arah teman yg lain, Nah, dia itu lebih parah, masak pas bulan puasa siang2 pula. Denger itu kami shock. Astagfirullah, kok ngomongnya enteng banget. Kemana malumu dik. Keterkejutanku bertambah lagi, dari 4 siswi itu duanya hamil. Rasanya gubrak deh. Baru kali ini, ada pasien datang dgn masalah sensitif seperti ini datang rame2 dan tanpa perasaan malu. Kan biasanya yg datang dgn urusan sensitif itu, datang dgn tingkah malu2 dan takut. Parahnya empat adik ini tidak sama sekali.
Dunia ini semakin kacau ternyata. Aborsi seolah-olah hal yg sangar biasa. Bagaimana dokter seharusnya bertindak, tentu tidak perlu dibahas panjang lebar. Dokter yg sadar akan sumpah profesi dan kode etiknya, dokter yg baik, tentu tidak akan melakukan praktek terlarang seperti itu. Tidak juga, setelah menolak malah memberikan referensi oknum TS yg bersedia melakukan hal itu. Jadi, inget soal UKDI itu namanya tindakan benar, melanggar hukum. Dokter bersangkutan sudah benar menolak melakukan aborsi, tapi jadinya melanggar hukum karena memberi tahu oknum dokter mana yg biasa melakukan aborsi. Jika pasien datang minta aborsi, sang dokter harus berani mengatakan tidak, dan bilang maaf saya ogah melakukan praktek tersebut.
Menjadi dokter yg baik atau tidak itu sebuah pilihan. Apapun pilihan itu akan dipertanggujawabkan di akhirat kelak.