Selasa, 27 November 2007
Mencari IDe GilA
atau berusaha menjadi seperti orang gila....haaa
atau sekedar bedaa..aaaaa...
tapi menghasilkan hal-hal yang kreatif...unik dan menarik.. tuh liyat hasilnya..
handphone bekas untuk tempat sabun..
atau untuk plintengan.. ato ketapel..
tetapi juga kreatif untuk menutupi kelemahan diri...
Hubungan business to business (b2b) Dokter Spesialis – Dokter Umum
Dokter melayani pasien dan mendapatkan imbalan dari aktivitas yang dilakukan adalah hal yang lazim. Tetapi dokter melayani dokter, dalam hal ini dokter spesialis melayani dokter umum kelihatannya adalah sesuatu yang asing atau tidak lumrah. Dokter melayani pasien dan mendapatkan imbalan dari pasien, adalah suatu transaksi bisnis. Aktivitas bisnis, menurut pakar manajemen yang sudah wafat beberapa waktu yang lalu dalam usia 90 tahun lebih, Peter F Drucker, adalah suatu aktivitas yang bertujuan menciptakan dan mempertahankan pelanggan. Dari sini berarti suatu aktivitas yang lebih menekankan hubungan jangka panjang. Pembeli tidak sama dengan pelanggan. Pembeli lebih bersifat sementara, sekali dan tidak diperhitungkan akan kembali lagi. Sedangkan pelanggan, dari namanya ada pengertian aktivitas berulang-ulang sehingga saling mengenal satu sama lainnya.
Hubungan dokter sebagai pelaku aktivitas bisnis, dengan pasien sebagai pelanggan atau customer dikenal sebagai aktivitas business to customer atau bahasa TI {technology information)-nya b2c. Sedangkan hubungan pelaku business yang lebih besar atau canggih kepada pelaku bisnis yang lebih kecil atau sederhana, seperti pabrik dengan pedagang eceran, atau suatu institusi, dimana volume penjualannya berskala besar dikenal dengan aktivitas business to business atau bahasa TI-nya b2b. Dalam praktik profesi dokter, terutama dokter spesialis dengan dokter umum, lebih mengarah pada hubungan b2b ketimbang b2c. Dokter spesialis mempunyai customer sendiri, dokter umum mempunyai customer sendiri pula. Tetapi ada yang khusus mengenai customer dokter spesialis, walaupun belum ada data yang pasti, dan memang idealnya demikian, yaitu sebagian besar customer dokter spesialis non gawat darurat adalah hasil rujukan dari dokter umum sebagai tenaga dokter garis depan. Walaupun pada kenyataannya banyak customer yang langsung mengambil jalan pintas berobat menuju dokter spesialis.
Di era yang hyposupply atau langkanya dokter spesialis apalagi dokter umum di zaman dulu, atau kini tetapi di daerah-daerah yang terpencil, customer datang langsung ke dokter spesialis bukan suatu masalah yang berarti. Tetapi di daerah yang hipersupply dokter spesialis terutama di daerah perkotaan, pola hubungan seperti itu akan menjadi masalah. Terlebih pada sistem pembiayaan yang melibatkan pihak ketiga seperti asuransi kesehatan misalnya. Permasalahan yang muncul bukan berasal dari persaingan dokter umum vis a vis dengan dokter spesialis. Tetapi bagaimana para dokter spesialis berlomba memperebutkan customer yang berasal dari rujukan dokter umum plus bidan terutama bagi dokter spesialis obgyn. Karena porsi customer yang berasal dari rujukan dokter umum akan meningkat, sedangkan customer yang langsung datang ke dokter spesialis akan menurun. Hambatan lain yang menurunkan jumlah cakupan customer yang datang langsung adalah hambatan tarif. Tarif dokter spesialis yang lebih mahal ketimbang dokter umum akan menurunkan minat customer langsung.
Bagi dokter spesialis mana yang penting b2b atau b2c?
Dengan melihat peliknya permasalahan yang ada, terlebih lagi mulai ada kecenderungan sebagian masyarakat dan rumah sakit yang menggandrungi praktik dokter spesialis luar negeri untuk praktik di rumah sakit domestik, akan membuat banyak dokter spesialis terutama yang lulusan baru berpikir ulang, strategi apa yang bisa ia terapkan untuk meningkatkan cakupan customer. Bila membuat kebijakan menurunkan tarif, maka bisa jadi akan mendapatkan semacam “hukuman” dari sejawat spesialis yang sama, misalnya dianggap tidak menghargai profesi. Maka salah satu jalan yang relatif sedikit hambatan adalah meningkatkan porsi b2b-nya dengan meningkatkan kualitas hubungan dengan kolega mereka yang dokter umum. Meningkatkan kualitas hubungan tidak berarti disalah tafsirkan memberikan uang komisi atas rujukan yang telah diberikan. Ini adalah budaya yang buruk dan tidak mendidik. Meningkatkan kualitas hubungan dapat ditafsirkan dengan meningkatkan jumlah forum-forum sharing pengalaman, skill dan pengetahuan antara dokter spesialis dengan dokter umum dalam suatu wilayah tertentu misalnya.
Dokter umum adalah customer bisnis, karena mereka itu mempunyai bisnis juga, yang menginginkan peningkatan jumlah cakupan pasien atau customer yang dapat dilayani. Mereka, para dokter umum, juga dituntut mempertahankan reputasinya. Jangan sampai para dokter umum ini turun reputasinya gara-gara tidak tahu betul reputasi dokter spesialis yang mereka rujuk. Atau minimal ada perasaan tidak enak bila ada kesempatan bertemu dengan pasien atau keluarga yang dirujuk, bila ada sesuatu yang tidak dinginkan dalam penanganan rujukan tersebut oleh dokter spesialis. Ibaratnya dokter umum tidak ingin seperti kata peribahasa “beli kucing dalam karung”. Dokter umum inilah yang memberikan garansi kepada keluarga pasien mengenai kualitas dokter spesialis yang akan dituju oleh pasien untuk menyelesaikan masalah yang mereka alami.
Dokter spesialis, di satu sisi, juga ingin mempertahankan reputasinya. Untuk meningkatkan angka keberhasilan tertangani suatu kasus, dokter spesialis ini mempunyai kepentingan jangan sampai banyak kasus yang dirujuk dokter umum adalah kasus terlambat merujuk atau penanganan buruk sebelum dirujuk yang seharusnya dapat dihindari. Karena itu dokter spesialis ini sangat berkepentingan membina dokter umum yang ada dalam satu jaringan dengannya.
Dari sini dapat dilihat customer dari jalur b2b mempunyai andil yang tidak dapat diremehkan oleh bisnis dokter spesialis. Pada kenyataannya, banyak dokter spesialis yang menempuh potong jalur, membuat publik atau konstituennya dekat dengan dirinya, tanpa diimbangi pembinaan pada customer dari jalur b2b. Akibatnya sering ditimpa rasa frustrasi, karena sering mendapati kasus-kasus rujukan terlambat atau tertangani secara buruk sebelum dirujuk yang sebenarnya dapat dihindari. Lebih parah lagi, dampak yang diakibatkan tidak saja pada diri sendiri akibat frustrasi, tetapi menanamkan kesan pada masyarakat, banyak pasien yang berobat ke dokter spesialis A meninggal atau cacat. Padahal kalau mau jujur, sebenarnya yang “berdosa” adalah dokter umum atau bidan yang memberikan rujukan yang sudah dalam keadaan terlambat atau penanganan buruk sebelum dirujuk, dan ini dapat dihindari apabila dokter spesialis yang bersangkutan aktif membina hubungan baik, berbagi pengalaman, pengetahuan dan skill dengan para aktor yang merujuk di garis pertama pelayanan kesehatan.
Langkah berimbang dalam membangun jaringan b2b dan b2c
Idealnya harus membentuk jaringan dokter spesialis, dokter umum, dan paramedis-paramedis yang terkait keahliannya dengan dokter spesialis tersebut. Dengan terbentuk jaringan, maka perencanaan pelayanan, controlling, dan pengelolaan lebih mudah. Karena jaringan terbangun oleh ikatan emosional, dengan meminjam istilah Raymond Martin, penulis buku the tomorrow people, simpul-simpul dimana mereka ini bisa berkomunikasi secara rileks tanpa ketegangan. Kedua, dengan jaringan yang terbentuk, akan timbul rasa memiliki. Bila rasa memiliki sudah terbentuk, maka akan timbul rasa tanggung jawab untuk memberikan umpan balik untuk meningkatkan kualitas jaringan tersebut. Masing-masing orang dalam jaringan tersebut, akan terdorong kuat pula untuk meningkatkan kualitas diri.
Jaringan ini tidak harus diformalkan menjadi sebuah lembaga. Masih bisa dipertahankan kemandirian orang-orang yang ada di dalamnya. Pola-pola inilah yang membesarkan keiretsu-keiretsu di Jepang, sebagaimana dalam kutipan berikut:
Perekonomian Jepang, menurut Francis Fukuyama, sangat kental sekali pengaruh dari Keiretsu-keiretsu. Keiretsu-keiretsu ini adalah suatu sistem jaringan usaha yang saling melindungi satu sama lain dan sangat besar. Satu Keiretsu bisa terdiri dari sekitar 30-an perusahaan.
Karakteristik kedua adalah meskipun ukuran mereka sangat besar, tetapi masing-masing perusahaan anggota keiretsu antara pasar jarang menduduki posisi monopoli berkaitan dengan sektor tunggal dari ekonomi Jepang. Namun masing-masing keiretsu direpresentasikan oleh pesaing oligopolistik tunggal dalam setiap sektor pasar, dalam sektor demi sektor. Oleh karenanya, Mitsubishi Heavy Industries, Sumitomo Heavy Industries dan Kawasaki Heavy Industries [salah satu anggota dari kelompok Dai-Ichi Kangyo] bersaing satu sama lain dalam bidang manufaktur berat dan pertahanan, sementara Mitsubishi Bank, Sumitomo Bank, dan Dai-Ichi Bank bersaing satu sama lain dalam bidang keuangan.
Karakteristik ketiga para anggota jaringan tersebut cenderung berdagang satu sama lain atas dasar kesukaan, bahkan ketika hal itu tidak memiliki arti ekonomi yang jelas. Para anggota Keiretsu tidak berdagang secara eksklusif satu sama lain, malah mereka cenderung berdagang lebih banyak dengan anggota-anggota kelompok yang lain ketimbang dengan perusahaan-perusahaan luar, seringkali dengan membayar harga lebih tinggi atau menerima barang-barang dengan jumlah sedikit ketimbang yang sebenarnya berlaku dalam transaksi pasar murni. Bentuk hubungan perdagangan preferensial lain mengambil bentuk utang dengan bunga di bawah tingkat pasar (below-market-rate loans) dari lembaga keuangan pusat jaringan untuk perusahaan anggota, yang akibatnya memunculkan subsidi.
Karakteristik terakhir, tingkat keakraban di antara para mitra keiretsu acapkali sangat besar dan mencerminkan tingkat kepercayaan yang tinggi.
Makna tanggung jawab timbal balik yang dibebankan diantara anggota keiretsu diilustrasikan dalam kasus terkenal Toyo Kogyo, pembuat otomotif (yang juga dikenal sebagai Mazda Motors) yang menghadapi ancaman kebangkrutan pada tahun 1974 ketika penjualan mobil-mobil bermesin-rotarinya merosot akibat krisis minyak. Toyo Kogyo adalah anggota dari keiretsu Sumitomo, dengan chief bank kelompok tersebut, Sumitomo Trust, adalah pemberi utang dan pemilik saham terbesar dalam perusahaan tersebut. Sumitomo Trust memprakarsai reorganisasi Toyo Kogyo, yang mengendalikan tujuh direktur dan memaksanya untuk mengadopsi teknik-teknik produksi baru. Para anggota keiretsu yang lain memindahkan penjualan mobil mereka ke Mazda, para pemasok suku cadang menurunkan harga, dan para pemberi pinjaman menyediakan kredit yang penting. Sebagai hasilnya Mazda bertahan tanpa harus bubar, meskipun manajemen dan para pekerja harus rela bonus mereka dikurangi. Chrysler perusahaan amerika, mengalami kesulitan serius beberapa tahun kemudian, tidak bisa mengandalkan para pemberi utang dan para pemasok untuk menolongnya, dan bahkan harus berpaling ke pemerintah AS. Kasus Mazda, pada saat itu, benar-benar memberikan contoh mengenai pengorbanan yang dilakukan oleh para anggota keiretsu demi kepentingan satu sama lain.
Inilah harapannya hubungan dokter spesialis dengan dokter umum, bukan sekedar tempat rujukan atau bahkan lebih buruk “saingan” dalam memperebutkan perhatian pasien atau pelanggan. Masing-masing mempunyai porsi sendiri-sendiri sesuai dengnan wewenang dan kompetensinya dan saling menahan dan menjaga diri, dan berkomunikasi secara intensif, informal dalam sebuah ikatan jaringan. Inilah setidaknya satu alternatif jawaban bagi-bagi dokter-dokter kita dalam menghadapi banjirnya serbuan dokter-dokter asing dalam “lahan” kita di tanah air saat ini dan di masa yang akan datang.
Wallahua’lam
Rabu, 21 November 2007
Beratnya Amanah Sebagai Dokter
Mendapatkan amanah profesi dokter adalah amanah yang berat, tetapi dalam wujud yang lebih banyak kemudahannya. Seorang dokter Obgyn pria, mendapatkan kepercayaan penuh bahkan dari sang suami wanita yang memeriksakan kesehatan kandungannya, untuk dapat melihat aurat wanita tersebut seluruhnya. Bisa saja dengan dalih agar pemeriksaan lebih jelas, tangan sang dokter obgyn pria ini usil meraba vagina wanita tersebut tanpa indikasi yang jelas, toh pasien dan suaminya tidak tahu. Bahkan di akhir sesi pemeriksaan mereka mengucapkan terima kasih dan bahkan menanyakan ”kapan bisa periksa lagi dok?” serta menanyakan ”berapa dok biaya pemeriksaannya?”
Atau misalnya pada kasus seorang dokter bedah yang melakukan operasi appendectomy. Sebenarnya orang normal pun kalau dilakukan operasi appendectomy tidak memberikan perubahan pada kondisi fisiologis orang normal tersebut. Bisa saja dokter bedah ini, memberikan informasi yang sengaja dikelirukan, sehingga orang normal ini mau menjalani operasi appendectomy, dan hasil akhirnya, menambah pundi-pundi keuangan dokter bedah yang bersangkutan.
Atau di kasus lain, seorang dokter penyakit dalam atau bahkan dokter umum, hobinya meresepi hampir semua penderita yang berobat kepadanya dengan obat-obatan dari perusahaan farmasi tertentu yang telah berkomitmen memberikan insentif keuangan. Sehingga perusahaan pesawat terbang yang dinaiki dokter tersebut ketika bepergian bukanlah ”Garuda Airways” atau ”Lion Air” atau ”Sriwijaya Air”, tetapi berubah menjadi ”Pfizer Air”, ”Kalbe Air” atau ”Sanbe Air”.
Belum lagi, tekanan masalah yang lebih memudahkan dokter jatuh pada bahaya moral (moral hazard) di atas adalah tekanan biaya ekonomi kehidupan zaman sekarang. Dokter mempunyai keluarga yang harus dihidupi, harus bisa menjamin terpenuhinya kebutuhan kesehatan dan pendidikan bermutu bagi keluarga dokter, harus bisa mengembalikan ”modal finansial” yang digunakan selama mengikuti pendidikan dokter yang kecenderungannya makin mahal. Dan tekanan besar lainnya adalah tekanan malu bila praktik dokter tidak laku. Gambar 1 menunjukkan peta masalah perjalanan karier praktik Anda sebagai dokter.
Kalau disarikan permasalahan yang ada kira-kira seperti berikut:
1. Jumlah lulusan dokter umum/spesialis semakin banyak dengan distribusi “menggerombol” di sekitar perkotaan, walaupun rasio dokter dibandingkan dengan populasi penduduk masih jauh di bawah standar
2. Pengetahuan dan kesadaran pasien akan kesehatan dan hukum semakin besar sehingga resiko tuntutan malpraktik semakin tinggi
3. Dokter sudah terlanjur dipersepsi sebagai golongan masyarakat yang kaya, dan ini banyak sudah diinternalisasi oleh dokternya sendiri. Akibatnya dokter akan sangat malu minimal minder, kalau dirinya tidak kaya. Berbagai cara akan ditempuh salah satunya sudah menjadi rahasia umum dokter berkolusi dengan perusahaan farmasi.
4. Sebagian masyarakat kita, terutama mereka yang terdidik, kaya atau minimum golongan menengah, mempersepsi dokter Indonesia kualitasnya dibawah kualitas dokter di negara lain seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Australia maupun India. Sehingga mereka yang kaya tidak akan berobat ke dokter Indonesia, tetapi ke negara-negara itu, di samping akan meningkatkan prestigenya.
Selasa, 20 November 2007
Al Aqsa
tak terbilang sudah darah syuhada yang tumpah
Masjid tercinta tidak juga bebas
marilah saudaraku tumpahkan darah kita disana
Duhai! betapa harga syurga jauh lebih mahal
kenikmatannya tak dapat terbayang
jangan dikira duduk dan diam sudah cukup
tapi berjuang dan berkorbanlah
Ya Quds, Shobron Inna ba'da Lail Fajran !!
Senin, 19 November 2007
Membuat Hyperlink
dalam text editornya bagian panel tool yang diatas area menulis ada berjajar tombol mulai dari font, ukuran font, bold,justify dan centered, sampai smiley, disitu juga ada tombol rantai dan bola bumi, itu adalah tombol create hyperlink
bagaimana cara menggunakannya?
- kopi dulu URL halaman yang ingin dirujuk
- sorot kata yang ingin di jadikan link
- klik tombol "create hyperlink"
- paste URL tadi di tempat yang diberikan
- bila berhasil kata yang kita inginkan menjadi link akan berubah warna dan digaris bawah
sementara itu dulu ya , sebenernya kalau mengerti bahasa HTML ada kodenya untuk membuat link ini, biasanya dimulai dengan "ahref". ini pasti tidak cukup, jadi saran saya baca juga file ini
Sabtu, 17 November 2007
Sebuah perjalanan
Aku hanyalah
seorang hamba...
seorang yang telah ditakdirkan..
seorang yang telah diberikan kebebasan...
seorang yang hanya bisa berdoa ketika tidak berdaya...
seorang yang hanya berusaha...
berusaha... terbang tinggi...
aku tidak tahu... batas paling tinggi yang bisa aku raih...
aku tidak tahu kemana
aku tidak tahu dimana
aku tidak tahu kapan
Perjalanan ini berakhir...
aku hanya bisa berusaha...
terbang tinggi... menembus batas impianku...
Namun.....
Batasilah...
hasrat diri yang meluap-luap..
hasrat diri pada gemerlap dunia...
hasrat diri pada kemewahan...
hasrat diri pada kenyamanan...
hasrat diri untuk terus dan terus terbang...
biarkan sejenak...
kesejukan menyiram kegarangan..
ketentraman mendinginkan ambisi...
diam mengistirahatkan gerak...
tidur merilekskan ketegangan....
berilah kesempatan...
ketenangan...
kesejukan...
kedamaian...
merasuki pori-pori jiwa yang merangas panas..
merasuki ruang-ruang hati yang terjerembab pengap
merasuki kamar-kamar kosong kekecewaan
merasuki celah-celah hati yang penuh putus asa..
merasuki rongga-rongga hampa jiwa...
agar diri ini dapat bercermin..
agar diri ini dapat mengukur...
agar diri ini dapat menilai...
agar diri ini dapat menata diri..
bangkit penuh ketegaran jiwa..
bangkit memenuhi panggilan-Mu
bangkit penuhi kewajiban-kewajibanku sebagai hamba-Mu
bangkit penuhi amanat-amanat-Mu yang berat..
agar jiwa ini segar dari keletihan yang menjerat..
ya Illaahi Robbi...
Aku rindu...
berjumpa dengan keharibaanMu
bantulah diri ini
tuk selalu dapat
kembali pada-Mu
dalam ridho-Mu
Wahai jiwa-jiwa yang tenang... kembalilah pada keridho-an Tuhanmu
masuklah engkau sebagai hamba-Ku
masuklah engkau dalam surga-Ku
Yaa ayyiatuhannafsul muthmainnah.. irji'i ilaa rodhiyatamardhiyah
fadhulii fii ibadi
fadhuli fii jannati
Contoh Kasus Hipotetik Malpraktik
Kasus 1
Kasa tertinggal berakibat osteomielitis
Mas Parjo datang ke Rumah Sakit Remen Waras karena fraktur di tulang femur. Dokter Ndang Sun Tiken SpB menangani kasus ini adalah dokter bedah satu-satunya di
Parjo bermaksud kontrol lagi ke Rumah Sakit Remen Waras, tetapi ia mendapati antrian begitu panjang, dan sudah menunggu mulai dari jam 8.00 hingga 11.00 dokter Ndang Sun Tiken tidak kunjung datang. Berkali-kali ia bertanya kepada perawat poliklinik, selalu saja jawabannya masih melakukan operasi. Karena tidak nyaman dengan apa yang dialaminya, serta tidak enak dengan pandangan-pandangan orang di sekitar yang tampaknya jijik melihat kondisi pahanya. Parjo dan keluarga memutuskan untuk memeriksakan dirinya ke rumah sakit Arto Wedi yang letaknya ratusan kilometer dari rumah tinggalnya.
Masuk rumah sakit arto wedi, dengan biaya yang lebih tinggi, Parjo langsung diperiksa oleh dokter Hangabehi SpBO. FICS. Ahli ortopedi yang sudah terkenal hingga jauh di luar daerah. Oleh dokter Hangabehi, Parjo segera dilakukan prosedur rutin, roentgen ulang dan segera dijadwalkan operasi. Kembali dilakukan prosedur rutin, termasuk informed concent telah ditanda tangani dan Parjo sadar betul dengan apa yang dilakukannya. Secara umum kondisi Parjo menjelang operasi baik. Hanya dari luka operasi sebelumnya saja yang terus menerus mengalir nanah.
Akhirnya operasi debridement untuk mengatasi pus yang terus-menerus mengalir dari tulang yang didiagnosis mengalami osteomielitis dilakukan. Selama debridement dilakukan betapa mengejutkan yang dihadapi tim operasi dokter Hangabehi…. Mereka menemukan kassa tertinggal di tulang yang telah direposisi. Masih syukur tulang mau menyatu.
Keluarga pasien ingin mengetahui mengapa terjadi “bencana” demikian pada Parjo. Dengan terpaksa dokter Hangabehi SpBO FICS menjelaskan ini semua karena adanya kasa yang tertinggal di ruang antara tulang dan otot. Mendengar penjelasan itu kontan keluarga Parjo marah dan tidak terima dengan kinerja dokter Ndang Sun Tiken beserta timnya. Mereka sepakat untuk melakukan somasi dengan melayangkan
……………………………………………………..
Analisa hal yang terjadi
Yang ditimpa masalah adalah Rumah Sakit Remen Waras. Sedangkan rumah sakit Arto Wedi tidak dalam posisi bermasalah. Rumah Sakit Arto Wedi dalam posisi “penemu” kesalahan yang dilakukan oleh Rumah Sakit Remen Waras.
Dalam kasus ini diasumsikan tidak ada masalah administrasi pada dokter-dokter yang berpraktik baik di Rumah Sakit Remen Waras maupun Rumah Sakit Arto Wedi.
Jadi tidak ada kasus perbuatan melanggar hukum. Permasalahannya adalah operasi yang dilakukan oleh dokter Ndang Sun Tiken terdapat bukti kelalaian yaitu kasa tertinggal di ruang antara otot dan tulang. Berdasarkan criteria 4 D jelas memenuhi criteria tersebut.
skenario penyelesaian masalah etikolegalnya
Pembuktian
ü Pembuktian yang dilakukan yaitu laporan operasi dokter Hangabehi SpBO yang menyebutkan kasa tertinggal
ü Pembuktian laporan operasi dari dokter Ndang Sun Tiken SpB
Bukti yang meringankan
ü Dokter Ndang Sun Tiken SpB, sudah mengajukan penambahan dokter bedah di Kabupaten Sarwo Saras karena dia merasa sudah overload secara tertulis kepada direktur. Dan direktur RS juga menindak lanjutinya dengan pengajuan penambahan dokter bedah ke Departemen Kesehatan pusat dua tahun yang lalu, dan hingga kasus Parjo muncul ke permukaan belum terpenuhi permintaan tersebut.
Berikut juga merupakan contoh kasus malpraktik, memenuhi kriterian 4 D, dan ternyata penyebab kelalaian bukan pada dokter ataupun perawat dalam tim operasi tetapi, di luar dugaan pada sistem logistik.
Kasus 2
Gas Medik Yang Tertukar [1]
Seorang pasien menjalani suatu pembedahan di sebuah kamar operasi. Sebagaimana layaknya, sebelum pembedahan dilakukan anestesi terlebih dahulu. Pembiusan dilakukan oleh dokter anestesi, sedangkan operasinya dipimpin oleh dokter ahli bedah tulang (ortopedi).
Operasi berjalan lancar. Namun, tiba-tiba sang pasien mengalami kesulitan bernafas. Bahkan setelah operasi selesai dilakukan, pasien tetap mengalami gangguan pernapasan hingga tidak sadarkan diri. Akibatnya, ia harus dirawat terus menerus di perawatan intnsif dengan bantuan mesin pernapasan (ventilator). Tentu kejadian ini sangat mengherankan. Pasalnya, sebelum dilakukan operasi, pasien dalam keadaan baik, kecuali masalah tulangnya.
Usut punya usut, ternyata kedapatan bahwa ada kekeliruan pada pemasangan gas anestesi (N2O) yang dipasang pada mesin anestesi. Harusnya gas N2O, ternyata yang diberikan gas CO2. Padahal gas CO2 dipakai untuk operasi katarak. Pemberian CO2 pada pasien tentu mengakibatkan tertekannya pusat-pusat pernapasan (respiratory distress) sehingga proses oksigenasi menjadi sangat terganggu, pasien menjadi tidak sadar dan akhirnya meninggal. Ini sebuah fakta penyimpangan ”sederhana”, namun berakibat fatal.
Dengan kata lain, ada sebuah kegagalan dalam proses penempatan gas anestesi. Dan ternyata, di rumah sakit tersebut tidak ada standar-standar (SOP) pengamanan pemakaian gas yang dipasang di mesin anestesi. Padahal harusnya ada standar, siapa yang harus memasang, bagaimana caranya, bagaimana monitoringnya, dan lain sebagainya. Idealnya dan sudah menjadi keharusan bahwa perlu ada sebuah standar yang tertulis (misalnya warna tabung gas yang berbeda), jelas, dengan formulir yang memuat berbagai prosedur tiap kali harus ditandai (cross) dan ditandatangani. Seandainya, prosedur ini ada, tentu tidak akan ada, atau kecil kemungkinan terjadinya kekeliruan. Dan kalaupun terjadi, akan cepat diketahui siapa yang bertanggung jawab.
Karena itulah, aturan-aturan dan SOP ini sangat penting, yang termasuk dalam PDRS (peraturan dasar rumah sakit) atau PD Medik (peraturan dasar medik / Hospital by Laws & Medical by Laws) dan dapat dipakai untuk pertimbangan-pertimbangan dalam memutuskan perkara karena Hospital by Laws dapat merupakan ”perpanjangan tangan hukum”.
Malpraktik atau Malpraktek
Pengertian Malpraktik
Makna harfiah = praktik buruk lawannya praktik baik.
Black’s Law Dictionary[1] :
Any professional misconduct or unreasonable lack of skill or fidelity in professional or fiduciary duties, evil practice or illegal or immoral conduct
Pengelompokan malpraktik :
a. Gatra etikolegal malpraktik ; perilaku tidak etis/tidak bermoral atau perilaku menyimpang atau perilaku melanggar kewajiban hukum atau praktik jahat profesi dokter.
b. Gatra ilmiah (yang sering dikonotasikan “gatra profesi”) malpraktik kedokteran yakni kekurang-terampilan secara tak layak / tak pantas seorang dokter. Dalam hal ini secara teknis medis kemampuan dokter kurang memadai.
Wanprestasi (Ingkar Janji) [2],[3]
Sebetulnya wanprestasi atau ingkar janji dalam hubungan kontraktual antara dokter dan pasien dapat dilakukan oleh masing-masing pihak. Pasien dapat menggugat dokter jika ternyata dokter tidak dapat melaksanakan kewajibannya dan sebaliknya dokter dapat menggugat pasien jika ternyata pasien tidak melaksanakan kewajibannya. Gugatan harus berdasarkan atas kerugian yang terjadi, baik materiil maupun immateriil sebagai akibat tidak dilaksanakannya sesuatu kewajiban oleh pihak lain.
Khusus gugatan kepada dokter yang melakukan wanprestasi atau lebih dikenal dengan malpraktik, maka gugatan itu dibenarkan jika memenuhi syarat 4 D: Penyatuan istilah Malpraktik dengan Kelalaian Medik
Kelalaian Medik terdapat 4 kriteria “4D” yang secara kumulatif semuanya harus terbukti untuk menjatuhkan sanksi dokter harus membayar ganti rugi kepada pasien/keluarganya dalam forum pengadilan. Ke 4 D tersebut adalah sebagai berikut :
1. Duty of care by the doctor to the injured patient (kewajiban) = D1, dokter yang digugat memang mempunyai kewajiban (duty) sebagai akibat adanya hubungan kontraktual.
2. Dereliction of duty (pelanggaran kewajiban) = D2, adanya wanprestasi atau melalaikan kewajiban (dereliction of duty).
3. Damage (kompensasi kerugian) yang foreseeable (laik bayang sebelumnya) = D3, terjadi kerugian (damage atau compensable injury).
4. Direct cause (sebab langsung) yakni pelanggaran kewajiban mengakibatkan kerugian (D2 ------- D3) = D4, adanya hubungan langsung antara kerugian itu dengan kelalaian melaksanakan kewajiban (direct causation).
Pengertian malpraktik medik menurut WMA (World Medical Associations)
Involves the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or a lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient
Jenis Malpraktik dalam Hukum[4]
Criminal Malpractice
Masuk kategori ini, bila memenuhi rumusan delik pidana. Pertama, perbuatan tersebut (baik positf maupun negatif) harus merupakan perbuatan tercela (actus
1. Contoh kasus intensional
o Melakukan aborsi tanpa indikasi medik
o Melakukan euthanasia
o Membocorkan rahasia kedokteran
o Tidak melakukan pertolongan terhadap seseorang yang sedang dalam keadaan emergensi meskipun tahu tidak ada dokter lain yang akan menolongnya (negative act).
o Menerbitkan surat keterangan yang tidak benar.
o Membuat visum et repertum yang tidak benar.
o Memberikan keterangan yang tidak benar di sidang pengadilan dalam kapasitasnya sebagai ahli.
2. Contoh kasus recklessness
o Melakukan tindakan medis yang tidak sesuai prosedur (legeartis).
o Melakukan tindakan medis tanpa informed consent.
3. Contoh kasus negligence
o Alpa atau kurang hari-hati sehingga meninggalkan gunting dalam perut pasien.
o Alpa atau kurang hati-hati sehingga pasien menderita luka-luka (termasuk cacat) atau meninggal dunia.
Pada criminal malpractice, tanggung jawabnya selalu bersifat individual (bukan korporasi) dan personal (hanya pada yang melakukan). Oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit.
Civil Malpractice
Jika dokter tidak melaksanakan kewajibannya (ingkar janji), yaitu tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati.
Cotohnya, seorang dokter ahli kandungan sepakat menolong sendiri persalinan seorang wanita sesuai keinginan wanita tersebut di suatu rumah sakit swasta. Mengingat pembukaan jalan lahir baru mencapai satu sentimeter, maka dokter meninggalkannya untuk suatu keperluan yang diperkirakan tidak lama. Ketika dokter itu kembali di tempat ternyata pasien telah melahirkan dalam keadaan selamat dengan dibantu oleh dokter lain. Dalam kasus seperti ini dokter dapat digugat atas dasar civil malpractice untuk membayar ganti rugi immaterial, yaitu perasaan cemas selama menunggu kedatangan dokter yang sangat dipercayainya.
Dikategorikan sebagai civil malpractice karena :
1. Tidak melakukan (negative act) apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan
2. Melakukan (positive act) apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat.
3. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
4. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukannya.
Pada civil malpractice, tanggung gugat (liability) dapat bersifat individual atau korporasi. Selain itu dapat pula dialihkan kepada pihak lain berdasarkan principle of vicarious liability (respondeat superior, borrowed servant). Dengan ini maka rumah sakit dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan oleh dokter-dokternya (sub ordinatnya), asalkan dapat dibuktikan bahwa tindakan dokter itu dalam rangka melaksanakan kewajiban rumah sakit.
Administrative Malpractice
Dikatakan Administrative Malpractice bila dokter melanggar hukum tata usaha negara. Perlu diketahui bahwa dalam rangka melaksanakan police power (the power of state to protect the health, safety, morals and general welfare of its citizen) yang menjadi kewenangannya, pemerintah berhak mengeluarkan berbagai macam peraturan di bidang kesehatan, seperti tentang persyaratan bagi tenaga kesehatan untuk menjalankan profesi medik, batas kewenangan serta kewajibannya. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapaat dipersalahkan.
Contoh yang dapat dikategorikan sebagai adminsitrative malpractice antara lain :
o Menjalankan praktik kedokteran tanpa lisensi atau izin.
o Menjalankan tindakan medik yang tidak sesuai lisensi atau izin yang dimiliki.
o Melakukan praktik kedokteran dengan menggunakan lisensi atau izin yang sudah kedaluwarsa.
o Tidak membuat rekam medik.
Pembuktian Malpraktik[5]
Criminal Malpractice
Pembuktian berdasarkan atas dipenuhi tidaknya unsur pidananya, sehingga tergantung dari jenis dari criminal malpractice yang dituduhkan. Dalam hal dokter dituduh melakukan kealpaan sehingga pasien yang ditangani meninggal dunia, menderita luka berat atau luka sedang maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati (kurang praduga).
Civil Malpractice
Pembuktiannya melalui dua cara :
1. Cara langsung
Yaitu membuktikan ke empat unsurnya (4D) secara langsung ; yang terdiri atas unsur kewajiban (duty), menelantarkan kewajiban (dereliction of duty), rusaknya kesehatan (damage) dan adanya hubungan langsung antara tindakan menelantarkan dengan rusaknya kesehatan (direct causation).
Kewajiban dokter timbul jika secara afirmatif menerima suatu tanggung jawab untuk melakukan tindakan medik melalui hubungan kontraktual (a contract basis), baik yang dibuat atas beban atau dengan Cuma-Cuma (gratuitous service). Kedua, jika berdasarkan ketentuan yang ada wajib melakukan tindakan medis (a tort basis). Menelantarkan kewajiban terbukti jika dokter melakukan tindakan medik yang kualitasnya di bawah standar yaitu suatu tindakan yang mutunya tidak menggambarkan telah diterapkannya ilmu, keterampilan, perhatian dan pertimbangan yang layak sebagaimana dilakukan oleh kebanyakan dokter dengan keahlian yang sama ketika menghadapi situasi dan kondisi yang sama pula. Untuk membuktikan ini diperlukan kesaksian ahli dari dokter yang sama keahliannya dengan dokter yang sedang diadili.
Rusaknya kesehatan terbukti jika pasien meninggal dunia, cacat, lumpuh, mengalami luka berat atau luka sedang. Jika pasien meninggal dunia perlu dilakukan otopsi dan bila masih hidup perlu dilakukan pemeriksaan oleh dokter lain yang akan bertindak sebagai saksi ahli.
Sedangkan hubungan langsung terbukti jika ada hubungan kausalitas antara rusaknya kesehatan dengan tindakan dokter yang kualitasnya di bawah standar. Untuk membuktikan ini juga diperlukan kesaksian ahli.
2. Cara tak langsung
Cara ini adalah yang paling mudah yaitu dengan mencari fakta-fakta yang berdasarkan doktrin Res Ipsa Loquitor (the thing speaks for itself) dapat membuktikan adanya kesalahan di pihak dokter. Namun tidak semua kelalaian dokter meninggalkan fakta semacam itu. Doktrin Res Ipsa Loquitor ini sebetulnya merupakan varian dari ’doctrine of common knowledge” hanya saja di sini masih diperlukan sedikit bantuan kesaksian dari ahli untuk menguji apakah fakta yang ditemukan memang dapat dijadikan bukti adanya kelalaian dokter.
Perlu diketahui bahwa doktrin Res Ipsa Loquitor hanya dapat diterangkan jika fakta yang ditemukan memenuhi kriteria berikut :
o Fakta tidak mungkin terjadi jika dokter tidak lalai.
o Fakta yang terjadi memang berada di bawah tanggung jawab dokter.
o Pasien tidak ikut menyumbang timbulnya fakta itu atau dengan kata lain tidak ada contributory negligence.
Jika misalnya ada gunting atau tang tertinggal dalam perut pasien yang menjalani operasi, maka gunting atau tang itu berdasarkan doktrin Res Ipsa Loquitor, dapat dijadikan fakta yang secara tidak langsung dapat membuktikan kesalahan dokter, mengingat :
o Gunting atau tang itu tak mungkin tertinggal kalau tidak ada kelalaian.
o Gunting atau tang yang tertinggal itu berada di bawah tanggung jawab dokter.
o Pasien dalam keadaan terbius sehingga tidak mungkin dapat memberikan andil terhadap tertinggalnya alat-alat tersebut.
[1] Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja, Bioetik dan Hukum Kedokteran, Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum, Penerbit Pustaka Dwipar, Oktober 2005
[2] Budi Sampurna, Program Non Gelar Blok II FKUI Juni 2007, Sistem Peradilan dan Pembuktian Malpraktik
[3] Sofwan Dahlan, 2003, Hukum Kesehatan Rambu-rambu bagi Profesi Dokter, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang hal 37
[4] Sofwan Dahlan, 2005, Hukum Kesehatan Rambu-rambu bagi Profesi Dokter, Balai Penerbit Universitas Diponegoro Semarang.
[5] Sofwan Dahlan, 2005, Hukum Kesehatan Rambu-rambu bagi Profesi Dokter, Balai Penerbit Universitas Diponegoro Semarang.
Hubungan Kolegial Dokter
Dalam praktik sehari-hari dokter berhubungan dengan kolega profesi lain. Ada yang levelnya lebih tinggi dalam hal ini pihak manajemen seperti pihak manajemen rumah sakit yang sering kali bukanlah dokter, tetapi punya skill dan keahlian dalam manajerial dan keuangan. Atau yang sejajar, seperti sejawat spesialis, atau apoteker. Demikian juga dengan kolega di level bawahnya seperti perawat, okupasi terapis, fisioterapis dan juga pekerja seperti office boy dan pekarya. Ketiga level itu juga sangat berpengaruh terhadap kinerja dokter. Pihak manajemen yang terlalu berorientasi pada kinerja keuangan, akan membuat dokter dalam tekanan untuk menghasilkan keuntungan yang diinginkan manajemen, dengan banyak mengorbankan aspek etis dan hukum ketika melakukan praktik. Demikian juga dokter yang ”dipaksa ikut” perusahaan farmasi untuk ”melunakkan” tekanan pasar atau tekanan para pemilik modal, membuat profesi farmacist dalam posisi yang sangat lemah. ”Dipaksa” oleh perusahaan farmasi yang berkolaborasi dengan dokter sebagai tempat penyedia obat yang dimaksud dalam ”kolaborasi” itu. Seperti yang diungkap dalam ungkapan berikut[1] :
....”Selama ini kami seakan-akan hanya menjadi tukang penyimpan dan penyalur obat,”
.....Bahkan, dia menyebut, produk-produk Sanbe yang menjadi favorit para dokter di Yogyakarta, tidak satu pun masuk dalam buku Indonesian Index of Medical Specialities. Anehnya, produk yang tidak tercatat itu justru dikenal baik oleh dokter dan mendapat citra baik,”......
Mengenai hubungan dengan perawat, Lichtenstein, mengatakan faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja dokter terhadap perawat sebagai rekan sekerja adalah : 1) tenaga perawat cakap dan terampil, 2) perawat harus mampu menyelesaikan tugas-tugas yang didelegasikan oleh dokter dengan baik, dan 3) perawat harus mampu menyelesaikan tugas rutin klinis seperti mengukur tekanan darah, mengukur suhu, dan lain-lain. Sementara itu, Seybolt dan Walker, mengatakan bahwa sikap perawat yang mampu dan mengerti apa yang seharusnya dikerjakan dan mengerjakannya tidak dalam keadaan terpaksa merupakan elemen kunci untuk membina hubungan dengan dokter. Jika hubungan tersebut berjalan dengan baik akan membuat pekerjaan lebih efektif dan efisien sehingga pada akhirnya akan menimbulkan kepuasan terhadap pekerjaan yang dilakukan.[2]
[1] Majalah SWA 14/XXIII/28 Juni – 11 Juli 2007 hal 58 - 59
[2] Bina Ampera Bukit, Laksono Trisnantoro, Andreasta Melasta; 2003, Kepuasan Dokter Spesialis di Rumah Sakit Umum Daerah Manna Kabupaten Bengkulu Selatan dengan Pendekatan EMIC; Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol 06,/No.04/2003 hal 183 – 191
Jumat, 16 November 2007
Harvard vs Vancouver
berbeda dengan sistem vancouver yang saya pelajari dan dipakai oleh UI, penulisan kutipan berupa angka (superscript) diakhir kalimat atau paragraf yang dimaksud, pustaka yang pertama dikutip akan mendapat nomor satu, bila ia dikutip lagi di halaman -halaman berikutnya ia dilabel sebagai angka satu juga. di daftar pustaka penulisan rujukan sesuai urutan kemunculannya dalam angka.
kalau dibanding-banding metode harvard lebih simpel tapi karena terbiasa dengan vancouver jadi agak meyebalkan juga. metode harvard memungkinkan penulis, memulai penulisan sekalipun rujukan belum terkumpul sepenuhnya, tapi vancouver mengarahkan kita mengumpulkan rujukan selengkap mungkin sebelum mulai menulis, karena bila muncul rujukan baru ditengah jalan maka urutan angka harus di organisasi ulang, dan ini pekerjaan yang menuntut.
Selasa, 13 November 2007
Superqurban
teman-teman yang biasa berqurban tentu tahu hewan qurban dissembelih pada 3 hari taysrik dan langsung di kuliti dan di potong-potong saat itu juga untuk segera dibagikan. dengan superqurban ini daging diproses menjadi bentuk kornet terlebih dahulu sebelum dibagikan. keuntungannya daging tidak perlu segera dibagikan saat itu hingga dapat benar-benar bermanfaat untuk mereka yang membutuhkan, seperti di daerah bencana atau para pengungsi.
dengan Rp 795.000,- dapat satu kambing untuk diproses menjadi 40 kaleng kornet @200 gr atas nama teman, bisa diatur bila teman ingin mencicipi atau bahwakn membagikan sendiri ke sekitar rumah atau menyerahkansepenuhnya pada RZI untuk didistribusikan
menarik bukan, sekarang saatnya inovasi agar ibadah kita menjadi semakin bermanfaat
Senin, 12 November 2007
FKUY 2006
Meskipun di kampus saya sebagai dosen kalian, tapi sebagai netters tidak perlu ada sungkan ya, selama tidak ada spam dan scam atau hoax atau sampah internet lain.
kalian bebas membicarakan apapun,bertanya apapun pada saya selama tidak melanggar kerahasiaan medis dan akademis.
saya berharap blog ini bisa membantu kalian dalam usaha menjadi dokter, dan saya siap memberikan bantuan apa saja yang memungkinkan.
ya saya memang masih muda ya in fact belum 26 tahun, tapi kedewasaan tidak diukur oleh usia lho, banyak yang usianya diatas 30 tapi belum siap menikah dan masih suka main-main,masih bergantung dan tinggal denga orang tua...
saya dengan bangga mengatakan di usia ini Allah telah mengaruniakan saya kemampuan untuk mandiri, tinggal di rumah sendiri-biar masih ngontrak- , memakai kendaraan sendiri-bukan punya ortu- menafkahi anak dan istri, semua dari hasil keringat sendiri
alhasil menyenangkan sekali mengenal kalian, kalau berpapasan jangan segan berhentikan ya, kapan-kapan kita kopdar.
Sabtu, 10 November 2007
Dokter Muda IKM-KP (#1)
Kepaniteraan disini dijalani selama 2 bulan. Dan disini kita dapat menimba ilmu dengan kunjungan-kunjungan ke Instansi. Antara lain BLKS, PDAM Surabaya, Dinkes Propinsi Jatim, Dinkes Surabaya, Rumah Potong Hewan, Museum Kesehatan, Puskesmas. Pada minggu keenam kepaniteraan dilakukan penelitian di Murnajati, Lawang.
Lab. IKM-KP termasuk putaran lab yang nyantai, tetapi ujiannya aplikasi semua... Padahal aku baru masuk DM ;(
Ujian Lisan dan Tulis dengan dr. Sustini dan dr. Lilik Djuari..
Prognosa???? Wallahu A'lam... Yang penting udah berusaha...
Allah gak akan ngasih beban melebihi batas kemampuan hamba-Nya..
Jumat, 09 November 2007
Resiko Human Genetic Engineering
maaf bukan yang ini.... kalo yang ini asli diriku sebelum gundul... (NARSIS BANGED!!!!)
YAng dimaksud ini nihhh....
atau seperti ini...
meski begitu juga... kemungkinan-kemungkinan hasi utak-utik pada makhluk lain
juga... kucing pun jadi mania ato kecanduan minum kopi... tuh liyat hasilnya matanya ga ngantuk sama sekali..
Harapan terbesar... adalah selalu awet muda walopun sudah lanjut usia...
maksudnya......
Pasien membawa resep dokter lain
Dokter Hendro, tempat praktiknya walaupun masih dalam satu kecamatan, jaraknya terpaut hanya 4 km dari tempat praktik dokter Pujo. Dalam hal senioritas dokter Hendro adalah yunior dokter Pujo. Namun demikian keduanya selalu membina hubungan baik, terbukti tidak ada konflik diantara mereka berdua, dan keduanya sama-sama menjabat pengurus IDI di kabupaten. Dokter Pujo adalah ketua sedangkan dokter Hendro menjabat sebagai sekretaris.
Alinea 2
Hingga datanglah bu Erna dengan anaknya….
“Dokter Hendro, sebenarnya pagi ini saya sudah memeriksakan Evi anak saya ini ke tempat praktik dokter Pujo…saya datang mendapatkan nomor urut yang ke tiga. Saya mendengar dari sesama yang antre, katanya dokter Pujo itu kalo ngasih obat dosis tinggi. Meski demikian saya tetap mengikuti antrean dan tetap bersedia kalau Evi diperiksa dokter Pujo.” Kata bu Erna.
“Sudah dapat resep?” tanya dokter Hendro.
“Sudah dokter” jawab bu Erna.
“Terus?” tanya dokter Hendro.
“Karena ada berita semacam itu, saya tidak yakin dokter, makanya saya datang ke sini… ini dokter, resep dari dokter Pujo…” kata bu Erna sambil menyerahkan resep dari dokter Pujo.
“Sebentar bu, maksud ibu, anak Evi mau diperiksakan ke saya?” tanya dokter Hendro.
“Iya, mohon dokter untuk bersedia memeriksa Evi sekaligus memberikan resepnya…. Sama mau nanya apa benar…resep dokter Pujo itu termasuk dosis tinggi dokter? Kata bu Erna.
……………………………………………..
Alinea 3
Akhirnya dokter Hendro, memeriksa anak Evi dan menyimpulkan diagnosis untuk anak Evi adalah Infeksi saluran pernafasan akut dengan disertai gastritis.
“Kok resep dokter Pujo belum dibaca dokte?” tanya bu Erna.
“O..iya” kata dokter Hendro
………………………………………………..
Alinea 4
Betapa terkejutnya dengan kombinasi obat yang diberikan oleh dokter Pujo.
Anak Evi, umur 3 tahun, berat badan 15 kg
R/ Amoxicilin 150 mg
Thiamphenicol 150 mg
Narfoz ¼ tab
Metoclopropamid ¼ tab
Mfla pulv dtd no XX
S 3 dd pulv 1
R/ Intunal syr no I
S 3 dd C 1¼
R/ Antacid syr no I
S 3 dd C 1¼
……………………………………………..
Alinea 5
Dalam benak dokter Hendro kombinasi antibiotic amoxicillin dengan thiamfenicol terlalu berlebihan, termasuk juga kombinasi metoclopropamid dengan narfoz terus masih ditambah dengan antacid untuk mengatasi rasa mual dan kembung juga berlebihan. Termasuk dalam hal biaya. Tetapi bagaimana cara mengomunikasikan keadaan ini kepada pasien? Kalau seandainya ia mengatakan yang sebenarnya, apa yang dikatakannya sampai juga ke telinga dokter Pujo. Apa yang dia katakan akan menjadi hujah atau dalil untuk membenarkan berita bahwa dokter Pujo kalau memberikan obat dosis tinggi. Berarti akan mengganggu hubungan harmonis yang sudah terjalin antara dia dengan dokter Pujo. Tetapi bagaimana cara mengatakannya ya?
……………………………………………….
Alinea 6
“Begini ya bu Erna… setiap dokter pasti mempunyai pertimbangan sendiri-sendiri dalam memberikan apa yang terbaik buat pasien-pasiennya. Saya sudah menuliskan resep yang menurut saya terbaik untuk anak ibu” kata dokter Hendro.
“Oo begitu ya dokter…setiap dokter pasti mempunyai pertimbangan sendiri-sendiri. Apa tidak ada standar dalam mengobati pasien?” tanya bu Erna
“Standar itu adalah rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar bu” kata dokter Hendro.
“Ya sudah dokter…tampaknya masih banyak antrean yang menunggu di luar. Berapa dokter..saya harus bayar?” tanya bu Erna.
………………………………………..
Daftar Kaidah Dasar Bioetika yang dihadapi pada kasus pasien membawa resep yang terlalu berlebihan, seperti kasus dokter Hendro.
1. Beneficence : dokter memberikan yang terbaik bagi pasien. Dokter berusaha menerapkan Golden Rule Principle. Dokter berusaha meminimalisir akibat buruk bagi pasien. Dan menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia.
2. Non maleficence : dalam pandangan dokter Hendro atau kita yang mendapati resep teman sejawat yang memberikan obat terlalu berlebihan atau bahkan kombinasi yang membahayakan, maka bila mengganti resep yang lebih aman dan tidak berlebihan à non maleficence; berusaha memberikan obat secara proporsional, berusaha memberikan manfaat yang lebih besar berhadapan dengan resiko dokter Hendro atau kita berhadapan dengan terancamnya hubungan baik sesame teman sejawat.
3. Autonomi : kita memberikan penjelasan mengapa kita memberikan resep yang berbeda (secara diplomatis) sebisa mungkin tanpa mengurangi wibawa teman sejawat kita di mata pasien.
4. Justice : dalam kasus ini menghargai hak sehat pasien. Pasien berusaha memeroleh kesehatannya. Kalau kita tidak mengoreksi resep yang “salah” dan kita menganggap akan menambah sakitnya pasien, maka kita akan berada dalam posisi mengabaikan hak mendapatkan sehat bagi pasien. Tidak memerlakukan sama dengan pasien lain yang sama-sama memeriksakan diri ke dokter Hendro (kita yang dimintai tolong pasien yang membawa resep dokter lain).
Kebutuhan menerapkan kaidah beneficence, non maleficence dan justice LEBIH DIUTAMAKAN ketimbang autonomi pasien yang berusaha ingin mendapatkan alasan rasional mengapa kita mengganti resep teman sejawat yang kita pandang berlebihan, menambah kesakitan bahkan malah membahayakan jiwa pasien.
Dari sudut pandang MEDICAL INDICATIONS (beneficence & non maleficence):
Bahwa resep yang kita ketahui ada obat yang berlebihan, interaksi obat yang saling melemahkan bahkan membahayakan, maka secara medis ada indikasi yang bisa membenarkan bahwa memberikan resep baru yang kita buat dapat menghindarkan pasien dari keadaan yang membahayakan.
Secara mental dan secara hukum pasien ini (ibu pasien) capable. Serta kondisi yang dihadapi adalah bukan kegawatan. Jadi secara mendasar harus memperhatikan autonomi ibu pasien. Sedangkan pasien sendiri karena anak-anak, relative bisa diabaikan autonominya.
Karena membawa resep dari dokter lain yang kebetulan kita kenal dekat dengan dokter itu, maka kemungkinan besar ibu pasien menyangsikan keputusan medis yang dibuat teman sejawat. Artinya pasien tidak dapat bekerja sama dengan dokter sebelumnya. Di sini kita juga menghargai hak pasien untuk memilih dokter mana yang merawat dirinya.
Walaupun akhirnya kita juga mengetahui ada peresepan yang tidak rasional dan membahayakan.
Permasalahan yang timbul dari hubungan kita dengan pasien ini ketika mengatakan yang sebenarnya akan mempengaruhi hubungan kita dengan teman sejawat yang sebelumnya pernah mendapatkan konsultasi dari pasien.
Mengatakan yang sebenarnya sebenarnya adalah HAK pasien untuk mendapatkan informasi yang benar. HAK untuk memperoleh kesehatannya.
Dalam hubungan dokter – pasien tidak ada dilemma. Tetapi dilemma muncul ketika memerhatikan hubungan sesama teman sejawat.
Dari sudut pandang QUALITY OF LIFE (prinsip beneficence dan non maleficence dengan memperhatikan autonomi)
Memberikan pengertian mengapa kita memberikan resep yang berbeda dengan teman sejawat, (autonomi) dengan alasan kemanfaatan yang rasional (beneficence) dan memperhatikan dampak jangka panjang pengobatan yang tidak berakibat membahayakan (non maleficence) dan sebisa mungkin memilih kata-kata yang tidak berdampak menjatuhkan kewibawaan teman sejawat.
Kita memilih obat yang berbeda dengan alasan efektifitas dan tidak menimbulkan efek samping yang berarti dan berdampak pada menurunnya kualitas hidup penderita.
Bagian yang sangat diperhatikan disini adalah :
o Pemilihan obat yang rasional à berdampak pada efektivitas dan efisiensi pengobatan à berdampak pada aspek financial.
o Kehati-hatian dalam mengungkapkan perbedaan (walaupun sebenarnya kesalahan teman sejawat dalam memberikan pengobatan yang tidak rasional) dengan bahasa yang netral seperti :
“…setiap dokter pasti mempunyai pertimbangan sendiri-sendiri dalam memberikan apa yang terbaik buat pasien-pasiennya. Saya sudah menuliskan resep yang menurut saya terbaik…. Dan ini berbeda dengan pertimbangan dengan teman sejawat saya…”
o Ketidak hati-hatian dalam berkata atau mengomunikasikan pada ibu pasien bisa berdampak
v Secara hukum… ucapan kita dijadikan hujah untuk menyerang teman sejawat.
v Atau dijadikan hujah untuk membenarkan isu yang selama ini terjadi misalnya dokter A selalu memberikan obat dosis tinggi. Kalau sampai nama kita disebut dengan jelas… membuat hubungan dengan sesama teman sejawat akan berdampak sangat buruk. (menebarkan isu membuat persaingan tidak sehat)