Hubungan business to customer (b2c) dan business to business (b2b)
Dokter melayani pasien dan mendapatkan imbalan dari aktivitas yang dilakukan adalah hal yang lazim. Tetapi dokter melayani dokter, dalam hal ini dokter spesialis melayani dokter umum kelihatannya adalah sesuatu yang asing atau tidak lumrah. Dokter melayani pasien dan mendapatkan imbalan dari pasien, adalah suatu transaksi bisnis. Aktivitas bisnis, menurut pakar manajemen yang sudah wafat beberapa waktu yang lalu dalam usia 90 tahun lebih, Peter F Drucker, adalah suatu aktivitas yang bertujuan menciptakan dan mempertahankan pelanggan. Dari sini berarti suatu aktivitas yang lebih menekankan hubungan jangka panjang. Pembeli tidak sama dengan pelanggan. Pembeli lebih bersifat sementara, sekali dan tidak diperhitungkan akan kembali lagi. Sedangkan pelanggan, dari namanya ada pengertian aktivitas berulang-ulang sehingga saling mengenal satu sama lainnya.
Hubungan dokter sebagai pelaku aktivitas bisnis, dengan pasien sebagai pelanggan atau customer dikenal sebagai aktivitas business to customer atau bahasa TI {technology information)-nya b2c. Sedangkan hubungan pelaku business yang lebih besar atau canggih kepada pelaku bisnis yang lebih kecil atau sederhana, seperti pabrik dengan pedagang eceran, atau suatu institusi, dimana volume penjualannya berskala besar dikenal dengan aktivitas business to business atau bahasa TI-nya b2b. Dalam praktik profesi dokter, terutama dokter spesialis dengan dokter umum, lebih mengarah pada hubungan b2b ketimbang b2c. Dokter spesialis mempunyai customer sendiri, dokter umum mempunyai customer sendiri pula. Tetapi ada yang khusus mengenai customer dokter spesialis, walaupun belum ada data yang pasti, dan memang idealnya demikian, yaitu sebagian besar customer dokter spesialis non gawat darurat adalah hasil rujukan dari dokter umum sebagai tenaga dokter garis depan. Walaupun pada kenyataannya banyak customer yang langsung mengambil jalan pintas berobat menuju dokter spesialis.
Di era yang hyposupply atau langkanya dokter spesialis apalagi dokter umum di zaman dulu, atau kini tetapi di daerah-daerah yang terpencil, customer datang langsung ke dokter spesialis bukan suatu masalah yang berarti. Tetapi di daerah yang hipersupply dokter spesialis terutama di daerah perkotaan, pola hubungan seperti itu akan menjadi masalah. Terlebih pada sistem pembiayaan yang melibatkan pihak ketiga seperti asuransi kesehatan misalnya. Permasalahan yang muncul bukan berasal dari persaingan dokter umum vis a vis dengan dokter spesialis. Tetapi bagaimana para dokter spesialis berlomba memperebutkan customer yang berasal dari rujukan dokter umum plus bidan terutama bagi dokter spesialis obgyn. Karena porsi customer yang berasal dari rujukan dokter umum akan meningkat, sedangkan customer yang langsung datang ke dokter spesialis akan menurun. Hambatan lain yang menurunkan jumlah cakupan customer yang datang langsung adalah hambatan tarif. Tarif dokter spesialis yang lebih mahal ketimbang dokter umum akan menurunkan minat customer langsung.
Bagi dokter spesialis mana yang penting b2b atau b2c?
Dengan melihat peliknya permasalahan yang ada, terlebih lagi mulai ada kecenderungan sebagian masyarakat dan rumah sakit yang menggandrungi praktik dokter spesialis luar negeri untuk praktik di rumah sakit domestik, akan membuat banyak dokter spesialis terutama yang lulusan baru berpikir ulang, strategi apa yang bisa ia terapkan untuk meningkatkan cakupan customer. Bila membuat kebijakan menurunkan tarif, maka bisa jadi akan mendapatkan semacam “hukuman” dari sejawat spesialis yang sama, misalnya dianggap tidak menghargai profesi. Maka salah satu jalan yang relatif sedikit hambatan adalah meningkatkan porsi b2b-nya dengan meningkatkan kualitas hubungan dengan kolega mereka yang dokter umum. Meningkatkan kualitas hubungan tidak berarti disalah tafsirkan memberikan uang komisi atas rujukan yang telah diberikan. Ini adalah budaya yang buruk dan tidak mendidik. Meningkatkan kualitas hubungan dapat ditafsirkan dengan meningkatkan jumlah forum-forum sharing pengalaman, skill dan pengetahuan antara dokter spesialis dengan dokter umum dalam suatu wilayah tertentu misalnya.
Dokter umum adalah customer bisnis, karena mereka itu mempunyai bisnis juga, yang menginginkan peningkatan jumlah cakupan pasien atau customer yang dapat dilayani. Mereka, para dokter umum, juga dituntut mempertahankan reputasinya. Jangan sampai para dokter umum ini turun reputasinya gara-gara tidak tahu betul reputasi dokter spesialis yang mereka rujuk. Atau minimal ada perasaan tidak enak bila ada kesempatan bertemu dengan pasien atau keluarga yang dirujuk, bila ada sesuatu yang tidak dinginkan dalam penanganan rujukan tersebut oleh dokter spesialis. Ibaratnya dokter umum tidak ingin seperti kata peribahasa “beli kucing dalam karung”. Dokter umum inilah yang memberikan garansi kepada keluarga pasien mengenai kualitas dokter spesialis yang akan dituju oleh pasien untuk menyelesaikan masalah yang mereka alami.
Dokter spesialis, di satu sisi, juga ingin mempertahankan reputasinya. Untuk meningkatkan angka keberhasilan tertangani suatu kasus, dokter spesialis ini mempunyai kepentingan jangan sampai banyak kasus yang dirujuk dokter umum adalah kasus terlambat merujuk atau penanganan buruk sebelum dirujuk yang seharusnya dapat dihindari. Karena itu dokter spesialis ini sangat berkepentingan membina dokter umum yang ada dalam satu jaringan dengannya.
Dari sini dapat dilihat customer dari jalur b2b mempunyai andil yang tidak dapat diremehkan oleh bisnis dokter spesialis. Pada kenyataannya, banyak dokter spesialis yang menempuh potong jalur, membuat publik atau konstituennya dekat dengan dirinya, tanpa diimbangi pembinaan pada customer dari jalur b2b. Akibatnya sering ditimpa rasa frustrasi, karena sering mendapati kasus-kasus rujukan terlambat atau tertangani secara buruk sebelum dirujuk yang sebenarnya dapat dihindari. Lebih parah lagi, dampak yang diakibatkan tidak saja pada diri sendiri akibat frustrasi, tetapi menanamkan kesan pada masyarakat, banyak pasien yang berobat ke dokter spesialis A meninggal atau cacat. Padahal kalau mau jujur, sebenarnya yang “berdosa” adalah dokter umum atau bidan yang memberikan rujukan yang sudah dalam keadaan terlambat atau penanganan buruk sebelum dirujuk, dan ini dapat dihindari apabila dokter spesialis yang bersangkutan aktif membina hubungan baik, berbagi pengalaman, pengetahuan dan skill dengan para aktor yang merujuk di garis pertama pelayanan kesehatan.
Langkah berimbang dalam membangun jaringan b2b dan b2c
Idealnya harus membentuk jaringan dokter spesialis, dokter umum, dan paramedis-paramedis yang terkait keahliannya dengan dokter spesialis tersebut. Dengan terbentuk jaringan, maka perencanaan pelayanan, controlling, dan pengelolaan lebih mudah. Karena jaringan terbangun oleh ikatan emosional, dengan meminjam istilah Raymond Martin, penulis buku the tomorrow people, simpul-simpul dimana mereka ini bisa berkomunikasi secara rileks tanpa ketegangan. Kedua, dengan jaringan yang terbentuk, akan timbul rasa memiliki. Bila rasa memiliki sudah terbentuk, maka akan timbul rasa tanggung jawab untuk memberikan umpan balik untuk meningkatkan kualitas jaringan tersebut. Masing-masing orang dalam jaringan tersebut, akan terdorong kuat pula untuk meningkatkan kualitas diri.
Jaringan ini tidak harus diformalkan menjadi sebuah lembaga. Masih bisa dipertahankan kemandirian orang-orang yang ada di dalamnya. Pola-pola inilah yang membesarkan keiretsu-keiretsu di Jepang, sebagaimana dalam kutipan berikut:
Perekonomian Jepang, menurut Francis Fukuyama, sangat kental sekali pengaruh dari Keiretsu-keiretsu. Keiretsu-keiretsu ini adalah suatu sistem jaringan usaha yang saling melindungi satu sama lain dan sangat besar. Satu Keiretsu bisa terdiri dari sekitar 30-an perusahaan.
Karakteristik kedua adalah meskipun ukuran mereka sangat besar, tetapi masing-masing perusahaan anggota keiretsu antara pasar jarang menduduki posisi monopoli berkaitan dengan sektor tunggal dari ekonomi Jepang. Namun masing-masing keiretsu direpresentasikan oleh pesaing oligopolistik tunggal dalam setiap sektor pasar, dalam sektor demi sektor. Oleh karenanya, Mitsubishi Heavy Industries, Sumitomo Heavy Industries dan Kawasaki Heavy Industries [salah satu anggota dari kelompok Dai-Ichi Kangyo] bersaing satu sama lain dalam bidang manufaktur berat dan pertahanan, sementara Mitsubishi Bank, Sumitomo Bank, dan Dai-Ichi Bank bersaing satu sama lain dalam bidang keuangan.
Karakteristik ketiga para anggota jaringan tersebut cenderung berdagang satu sama lain atas dasar kesukaan, bahkan ketika hal itu tidak memiliki arti ekonomi yang jelas. Para anggota Keiretsu tidak berdagang secara eksklusif satu sama lain, malah mereka cenderung berdagang lebih banyak dengan anggota-anggota kelompok yang lain ketimbang dengan perusahaan-perusahaan luar, seringkali dengan membayar harga lebih tinggi atau menerima barang-barang dengan jumlah sedikit ketimbang yang sebenarnya berlaku dalam transaksi pasar murni. Bentuk hubungan perdagangan preferensial lain mengambil bentuk utang dengan bunga di bawah tingkat pasar (below-market-rate loans) dari lembaga keuangan pusat jaringan untuk perusahaan anggota, yang akibatnya memunculkan subsidi.
Karakteristik terakhir, tingkat keakraban di antara para mitra keiretsu acapkali sangat besar dan mencerminkan tingkat kepercayaan yang tinggi.
Makna tanggung jawab timbal balik yang dibebankan diantara anggota keiretsu diilustrasikan dalam kasus terkenal Toyo Kogyo, pembuat otomotif (yang juga dikenal sebagai Mazda Motors) yang menghadapi ancaman kebangkrutan pada tahun 1974 ketika penjualan mobil-mobil bermesin-rotarinya merosot akibat krisis minyak. Toyo Kogyo adalah anggota dari keiretsu Sumitomo, dengan chief bank kelompok tersebut, Sumitomo Trust, adalah pemberi utang dan pemilik saham terbesar dalam perusahaan tersebut. Sumitomo Trust memprakarsai reorganisasi Toyo Kogyo, yang mengendalikan tujuh direktur dan memaksanya untuk mengadopsi teknik-teknik produksi baru. Para anggota keiretsu yang lain memindahkan penjualan mobil mereka ke Mazda, para pemasok suku cadang menurunkan harga, dan para pemberi pinjaman menyediakan kredit yang penting. Sebagai hasilnya Mazda bertahan tanpa harus bubar, meskipun manajemen dan para pekerja harus rela bonus mereka dikurangi. Chrysler perusahaan amerika, mengalami kesulitan serius beberapa tahun kemudian, tidak bisa mengandalkan para pemberi utang dan para pemasok untuk menolongnya, dan bahkan harus berpaling ke pemerintah AS. Kasus Mazda, pada saat itu, benar-benar memberikan contoh mengenai pengorbanan yang dilakukan oleh para anggota keiretsu demi kepentingan satu sama lain.
Inilah harapannya hubungan dokter spesialis dengan dokter umum, bukan sekedar tempat rujukan atau bahkan lebih buruk “saingan” dalam memperebutkan perhatian pasien atau pelanggan. Masing-masing mempunyai porsi sendiri-sendiri sesuai dengnan wewenang dan kompetensinya dan saling menahan dan menjaga diri, dan berkomunikasi secara intensif, informal dalam sebuah ikatan jaringan. Inilah setidaknya satu alternatif jawaban bagi-bagi dokter-dokter kita dalam menghadapi banjirnya serbuan dokter-dokter asing dalam “lahan” kita di tanah air saat ini dan di masa yang akan datang.
Wallahua’lam