Nn Dona, mengenakan jilbab, umur 23 tahun, datang ke rumah sakit dalam keadaan sadar, karena mengalami open fracture di tibia kanan pada pukul 9.00 pagi. Setelah dilakukan pemeriksaan di UGD dan di foto roentgen, Nn. Dona segera dipersiapkan untuk operasi. Dokter Pujo yang menangani kasus Nn Dona memberikan pengertian bahwa apa yang dialami Nn Dona termasuk kasus kegawatan, dan harus segera dioperasi dalam tempo 6 jam dari kejadian. Setelah memahami betul apa yang menimpa dan tindakan apa yang akan dilakukan terhadapnya, Nn Dona menyetujui dilakukan operasi. Operasi dijadwalkan jam 12.00 siang, kebetulan Nn. Dona sudah tidak makan sejak pukul 6.00 pagi tadi.
Alinea 2
Ketika akan dilakukan persiapan operasi, Nn. Dona terkejut dengan model baju operasi rumah sakit yang tidak sesuai dengan standarnya. Nn Dona memutuskan menolak mengenakan baju operasi yang tersedia karena tidak menggunakan jilbab yang sesuai standardnya. Atas bujukan dokter Pujo yang akan berperan sebagai ketua tim operasi akhirnya Nn. Dona mau memakai tutup kepala dan baju steril operasi yang ada.
Alinea 3
“Ini keadaan darurat Dona. Kalo Anda tidak mau memakai baju operasi yang ada, atau menunggu baju operasi yang sesuai standar Anda, akan memakan waktu. Infeksi segera menyebar ke seluruh tubuh. Dan tulang yang patah itu tidak akan mau menyatu.” Kata dokter Pujo.
Dalam keadaan kesakitan dan lemah… akhirnya Dona mau memakai baju operasi yang ada, walaupun tidak sesuai dengan standar yang ia maui.
“ya dokter” kata Dona lirih
Alinea 4
Setelah ada pernyataan “ya” dari Dona, segera paramedis bertindak, menyiapkan Dona agar “siap” dilakukan operasi. Ganti baju operasi, lavement, penyiapan obat-obatan anestesi beserta infusnya. Dengan mobile bed Dona dibawa menuju ruang operasi. Mengejar deadline waktu.
………………………….
Alinea 5
Operasi dimulai, sebelumnya tourniquet di pangkal paha mulai dipasang dan dikencangkan.
Pemasangan tourniquet berlangsung saat Dona mulai tidak sadar karena pengaruh anestesi. Sehingga paramedis lebih leluasa memasang tourniquet tanpa hambatan “psikologis” dari Dona. Karena kebanyakan paramedis serta dokter bedah dan anestesi juga laki-laki.
…………………………
Alinea 6
Reposisi dengan pemasangan pen telah dilakukan dengan sempurna, kondisi fisik stabil dan segera Dona di pindahkan ke ruang recovery pasca pembedahan. Beberapa saat kemudian Dona dipindah menuju bangsal.
………………………
Alinea 7
Saat di ruang recovery dokter Pujo melakukan visite. Karena Dona memakai jilbab dan baju jubah panjang, dokter Pujo agak sungkan untuk menyingkap bagian kaki yang dioperasi. Jadi tidak sampai mengamati kondisi paha atau kaki di bawahnya dengan seksama. Dia hanya melihat, yang penting tidak melihat ada rembesan darah yang banyak, berarti sudah aman.
Alinea 8
Sementara Dona terus mengeluh nyeri di seluruh tungkai dan kaki kanannya. Dokter Pujo telah mendapat keluhan itu secara langsung dari Nn Dona.
“Ga pa pa Dona, biasa itu, namanya tulang yang patah kemudian dipasang pen, terus timbul nyeri itu biasa. Nanti diberikan obat anti nyeri. Biar berkurang rasa nyerinya.” Kata dokter Pujo menenangkan.
“Tapi dokter, ini nyerinya seluruh kaki, tidak di bagian yang dioperasi saja, bahkan mulai ada rasa kesemutannya” sergah Dona yang menyeringai menahan rasa sakit.
“Nanti dikasih obat anti nyeri, insya Allah bisa mengurangi” kata dokter Pujo.
Dokter Pujo memerintahkan kepada para medis untuk memberikan injeksi Novalgin per bolus.
“Sudah ya Dona…nanti kalau ada apa-apa lapor sama perawat jaga” kata dokter Pujo.
Malam itu tiga kali Dona mendapatkan injeksi Novalgin per bolus, untuk mengatasi rasa nyerinya.
………………………………..
Alinea10
Pagi hari jam 06.00, perawat mendapatkan laporan dari keluiarga bahwa seluruh tungkai kanan atas dan bawah hingga kakinya berwarna biru
Perawat jaga yang berjenis kelamin pria ini, segera merespons….kali ini tanpa meminta persetujuan Nn Dona, menyingkap jubah panjang yang menutupi tungkai bagian atas dan bawah, hingga terlihat jelas paha Nn Dona.
Alinea11
Betapa terkejutnya sang perawat jaga, ternyata tourniquet operasi belum dilepas. Spontan perawat ini bergumam..
“gimana tho yang operasi kok tourniquet tidak diambil” gumam perawat jaga.
“tourniquet saat operasi tidak diambil?” kata Dona dan ibunya yang menunggui.
………………………………
Alinea12
Akhirnya orang tua Dona mengadukan kasus yang dialami anaknya ini kepada direktur rumah sakit dengan marah-marah dan mengancam bila anaknya tidak pulih akan diadukan ke pengadilan. Sementara dokter Pujo melakukan visite dengan sembunyi-sembunyi saat orang tua Dona tidak ada (saat itu mereka masih menghadap direktur).
Alinea13
“Maafkan saya Dona, seharusnya saya kemarin tidak sungkan untuk menyingkap jubah Anda…biar jelas mengetahui penyebab nyeri yang Anda alami.” Kata dokter Pujo
“Lha terus pertanggung jawaban Anda apa?” bentak Dona.
“Saya hanya bisa berharap, semoga kelumpuhan akibat tourniquet ini hanya sementara…..mengenai biaya perawatan Anda sampai kelumpuhan kaki anda pulih biar saya yang menanggung. Biar dipotong gaji saya.” Kata dokter Pujo.
………………………………….
Alinea14
Pihak manajemen rumah sakit sangat intens sekali menjalin komunikasi, termasuk menggratiskan biaya operasi dan rawat inap. Mereka sangat berharap kasus ini tidak sampai keluar, apalagi tercium oleh wartawan.
…………………………………..
Happy ending. Kaki Dona yang lumpuh akibat tourniquet berangsur-angsur pulih. Walaupun waktu yang diperlukan rawat inap bertambah panjang sampai dua minggu. Dona akhirnya keluar rumah sakit dengan kaki terpasang pen tanpa kelumpuhan.
Kaidah dasar bioetika yang sesuai
Non Maleficence
Kasus gawat darurat à harus segera dioperasi dalam 6 jam à Non Maleficence : menolong pasien emergensi, mengobati pasien luka, do no harm to patient, melindungi pasien dari akibat yang lebih buruk. (alinea 1 baris ke 6)
Mengomunikasikan kepada pasien (Dona) mengenai kegawatan yang di derita dan keharusan untuk melakukan operasi (melaksanakan informed concent), menghargai rasionalitas / pilihan pasien untuk memakai jenis baju operasi, walaupun akhirnya bisa memberikan persuasi pada pasien, agar pasien menerima keadaan yang ada karena akan memperpanjang waktu terbuang sia-sia. (alinea 3 percakapan dokter Pujo dan Dona)
--> awan konflik antara autonomi dan non maleficence --> Prima Facie memenangkan non maleficence.
….mengejar deadline waktu. (alinea 4 - 6). menolong pasien emergensi, mengobati pasien luka, do no harm to patient, melindungi pasien dari akibat yang lebih buruk.
Tourniquet dipasang dan dikencangkan saat Dona mulai tidak sadar… (alinea 5).
Menghargai privasi pasien, dan menjaga rahasia pasien.
Autonomi menghargai hak pasien menjaga keyakinannya untuk tidak memperlihatkan auratnya.
Dengan Non maleficence, tuntutan untuk mengambil alih sepenuhnya autonomi pasien, karena ada kepentingan pemeriksaan yang bila tidak dilakukan dapat berakibat fatal bagi pasien.
Harusnya berlaku PRIMA FACIE Non Maleficence mengalahkan Autonomi.
Beneficence
Dokter Pujo memberikan terapi untuk keluhan nyeri pasien (Dona)…. (alinea 8 – 9). Meminimalisir akibat buruk, paternalisme bertanggung jawab / berkasih sayang.
Perawat tanpa meminta persetujuan menyingkap…. (alinea 10 – 11).
menolong pasien emergensi, mengobati pasien luka, do no harm to patient, melindungi pasien dari akibat yang lebih buruk.
Menghargai harkat martabat pasien, menjaga hubungan dan tidak menghalangi autonomi pasien. Memberikan kesempatan kepada orang tua Dona mengungkapkan kemarahan dan kekesalannya. Tidak berbohong kepada pasien mengenai kenyataan yang terjadi.
Ada tanggung jawab penuh walaupun terhadap kesalahan yang telah dilakukan. Menghargai hak pasien secara menyeluruh, dalam hal ini memberikan kesempatan kepada mengungkapkan rasa tidak puasnya, dan meminta bagaimana pertanggungjawaban dokter Pujo terhadap “keteledorannya”. Serta memberikan kompensasi atas kerugian yang diderita pasien. (maksimalisasi kepuasan tertinggi secara keseluruhan).