Dokter Hendro, tempat praktiknya walaupun masih dalam satu kecamatan, jaraknya terpaut hanya 4 km dari tempat praktik dokter Pujo. Dalam hal senioritas dokter Hendro adalah yunior dokter Pujo. Namun demikian keduanya selalu membina hubungan baik, terbukti tidak ada konflik diantara mereka berdua, dan keduanya sama-sama menjabat pengurus IDI di kabupaten. Dokter Pujo adalah ketua sedangkan dokter Hendro menjabat sebagai sekretaris.
Alinea 2
Hingga datanglah bu Erna dengan anaknya….
“Dokter Hendro, sebenarnya pagi ini saya sudah memeriksakan Evi anak saya ini ke tempat praktik dokter Pujo…saya datang mendapatkan nomor urut yang ke tiga. Saya mendengar dari sesama yang antre, katanya dokter Pujo itu kalo ngasih obat dosis tinggi. Meski demikian saya tetap mengikuti antrean dan tetap bersedia kalau Evi diperiksa dokter Pujo.” Kata bu Erna.
“Sudah dapat resep?” tanya dokter Hendro.
“Sudah dokter” jawab bu Erna.
“Terus?” tanya dokter Hendro.
“Karena ada berita semacam itu, saya tidak yakin dokter, makanya saya datang ke sini… ini dokter, resep dari dokter Pujo…” kata bu Erna sambil menyerahkan resep dari dokter Pujo.
“Sebentar bu, maksud ibu, anak Evi mau diperiksakan ke saya?” tanya dokter Hendro.
“Iya, mohon dokter untuk bersedia memeriksa Evi sekaligus memberikan resepnya…. Sama mau nanya apa benar…resep dokter Pujo itu termasuk dosis tinggi dokter? Kata bu Erna.
……………………………………………..
Alinea 3
Akhirnya dokter Hendro, memeriksa anak Evi dan menyimpulkan diagnosis untuk anak Evi adalah Infeksi saluran pernafasan akut dengan disertai gastritis.
“Kok resep dokter Pujo belum dibaca dokte?” tanya bu Erna.
“O..iya” kata dokter Hendro
………………………………………………..
Alinea 4
Betapa terkejutnya dengan kombinasi obat yang diberikan oleh dokter Pujo.
Anak Evi, umur 3 tahun, berat badan 15 kg
R/ Amoxicilin 150 mg
Thiamphenicol 150 mg
Narfoz ¼ tab
Metoclopropamid ¼ tab
Mfla pulv dtd no XX
S 3 dd pulv 1
R/ Intunal syr no I
S 3 dd C 1¼
R/ Antacid syr no I
S 3 dd C 1¼
……………………………………………..
Alinea 5
Dalam benak dokter Hendro kombinasi antibiotic amoxicillin dengan thiamfenicol terlalu berlebihan, termasuk juga kombinasi metoclopropamid dengan narfoz terus masih ditambah dengan antacid untuk mengatasi rasa mual dan kembung juga berlebihan. Termasuk dalam hal biaya. Tetapi bagaimana cara mengomunikasikan keadaan ini kepada pasien? Kalau seandainya ia mengatakan yang sebenarnya, apa yang dikatakannya sampai juga ke telinga dokter Pujo. Apa yang dia katakan akan menjadi hujah atau dalil untuk membenarkan berita bahwa dokter Pujo kalau memberikan obat dosis tinggi. Berarti akan mengganggu hubungan harmonis yang sudah terjalin antara dia dengan dokter Pujo. Tetapi bagaimana cara mengatakannya ya?
……………………………………………….
Alinea 6
“Begini ya bu Erna… setiap dokter pasti mempunyai pertimbangan sendiri-sendiri dalam memberikan apa yang terbaik buat pasien-pasiennya. Saya sudah menuliskan resep yang menurut saya terbaik untuk anak ibu” kata dokter Hendro.
“Oo begitu ya dokter…setiap dokter pasti mempunyai pertimbangan sendiri-sendiri. Apa tidak ada standar dalam mengobati pasien?” tanya bu Erna
“Standar itu adalah rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar bu” kata dokter Hendro.
“Ya sudah dokter…tampaknya masih banyak antrean yang menunggu di luar. Berapa dokter..saya harus bayar?” tanya bu Erna.
………………………………………..
Daftar Kaidah Dasar Bioetika yang dihadapi pada kasus pasien membawa resep yang terlalu berlebihan, seperti kasus dokter Hendro.
1. Beneficence : dokter memberikan yang terbaik bagi pasien. Dokter berusaha menerapkan Golden Rule Principle. Dokter berusaha meminimalisir akibat buruk bagi pasien. Dan menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia.
2. Non maleficence : dalam pandangan dokter Hendro atau kita yang mendapati resep teman sejawat yang memberikan obat terlalu berlebihan atau bahkan kombinasi yang membahayakan, maka bila mengganti resep yang lebih aman dan tidak berlebihan à non maleficence; berusaha memberikan obat secara proporsional, berusaha memberikan manfaat yang lebih besar berhadapan dengan resiko dokter Hendro atau kita berhadapan dengan terancamnya hubungan baik sesame teman sejawat.
3. Autonomi : kita memberikan penjelasan mengapa kita memberikan resep yang berbeda (secara diplomatis) sebisa mungkin tanpa mengurangi wibawa teman sejawat kita di mata pasien.
4. Justice : dalam kasus ini menghargai hak sehat pasien. Pasien berusaha memeroleh kesehatannya. Kalau kita tidak mengoreksi resep yang “salah” dan kita menganggap akan menambah sakitnya pasien, maka kita akan berada dalam posisi mengabaikan hak mendapatkan sehat bagi pasien. Tidak memerlakukan sama dengan pasien lain yang sama-sama memeriksakan diri ke dokter Hendro (kita yang dimintai tolong pasien yang membawa resep dokter lain).
Kebutuhan menerapkan kaidah beneficence, non maleficence dan justice LEBIH DIUTAMAKAN ketimbang autonomi pasien yang berusaha ingin mendapatkan alasan rasional mengapa kita mengganti resep teman sejawat yang kita pandang berlebihan, menambah kesakitan bahkan malah membahayakan jiwa pasien.
Dari sudut pandang MEDICAL INDICATIONS (beneficence & non maleficence):
Bahwa resep yang kita ketahui ada obat yang berlebihan, interaksi obat yang saling melemahkan bahkan membahayakan, maka secara medis ada indikasi yang bisa membenarkan bahwa memberikan resep baru yang kita buat dapat menghindarkan pasien dari keadaan yang membahayakan.
Secara mental dan secara hukum pasien ini (ibu pasien) capable. Serta kondisi yang dihadapi adalah bukan kegawatan. Jadi secara mendasar harus memperhatikan autonomi ibu pasien. Sedangkan pasien sendiri karena anak-anak, relative bisa diabaikan autonominya.
Karena membawa resep dari dokter lain yang kebetulan kita kenal dekat dengan dokter itu, maka kemungkinan besar ibu pasien menyangsikan keputusan medis yang dibuat teman sejawat. Artinya pasien tidak dapat bekerja sama dengan dokter sebelumnya. Di sini kita juga menghargai hak pasien untuk memilih dokter mana yang merawat dirinya.
Walaupun akhirnya kita juga mengetahui ada peresepan yang tidak rasional dan membahayakan.
Permasalahan yang timbul dari hubungan kita dengan pasien ini ketika mengatakan yang sebenarnya akan mempengaruhi hubungan kita dengan teman sejawat yang sebelumnya pernah mendapatkan konsultasi dari pasien.
Mengatakan yang sebenarnya sebenarnya adalah HAK pasien untuk mendapatkan informasi yang benar. HAK untuk memperoleh kesehatannya.
Dalam hubungan dokter – pasien tidak ada dilemma. Tetapi dilemma muncul ketika memerhatikan hubungan sesama teman sejawat.
Dari sudut pandang QUALITY OF LIFE (prinsip beneficence dan non maleficence dengan memperhatikan autonomi)
Memberikan pengertian mengapa kita memberikan resep yang berbeda dengan teman sejawat, (autonomi) dengan alasan kemanfaatan yang rasional (beneficence) dan memperhatikan dampak jangka panjang pengobatan yang tidak berakibat membahayakan (non maleficence) dan sebisa mungkin memilih kata-kata yang tidak berdampak menjatuhkan kewibawaan teman sejawat.
Kita memilih obat yang berbeda dengan alasan efektifitas dan tidak menimbulkan efek samping yang berarti dan berdampak pada menurunnya kualitas hidup penderita.
Bagian yang sangat diperhatikan disini adalah :
o Pemilihan obat yang rasional à berdampak pada efektivitas dan efisiensi pengobatan à berdampak pada aspek financial.
o Kehati-hatian dalam mengungkapkan perbedaan (walaupun sebenarnya kesalahan teman sejawat dalam memberikan pengobatan yang tidak rasional) dengan bahasa yang netral seperti :
“…setiap dokter pasti mempunyai pertimbangan sendiri-sendiri dalam memberikan apa yang terbaik buat pasien-pasiennya. Saya sudah menuliskan resep yang menurut saya terbaik…. Dan ini berbeda dengan pertimbangan dengan teman sejawat saya…”
o Ketidak hati-hatian dalam berkata atau mengomunikasikan pada ibu pasien bisa berdampak
v Secara hukum… ucapan kita dijadikan hujah untuk menyerang teman sejawat.
v Atau dijadikan hujah untuk membenarkan isu yang selama ini terjadi misalnya dokter A selalu memberikan obat dosis tinggi. Kalau sampai nama kita disebut dengan jelas… membuat hubungan dengan sesama teman sejawat akan berdampak sangat buruk. (menebarkan isu membuat persaingan tidak sehat)