Menurut data Departemen Kesehatan, anak yang diberi ASI punya IQ 4,3 poin lebih
tinggi dibanding yang tak diberi ASI. IQ itu pun terus melesat kendati sang
anak tak lagi diberi ASI. Sebab setelah diperbandingkan, pada usia tiga tahun,
anak yang diberi ASI memiliki IQ 4-6 poin lebih tinggi, dan pada usia delapan
tahun memiliki IQ 8,3 poin lebih tinggi dibanding anak yang tak diberi ASI.
''ASI bukan hanya memberi nutrisi terbaik, tetapi juga kehangatan. Jadi emotional bonding, emotional attachment ibu dan anak itu terjaga. Ada kontak
mata, usapan, ibu berbicara. Selama ini orang melihat pemberian ASI itu an sich
nutrisinya, padahal tidak. Jadi memang pemberian ASI dahsyat sekali,'' katanya.
Pada umur nol bulan, tutur Reni, sel-sel saraf (neuron) di otak bayi kebanyakan
hanya terlihat lurus-lurus saja, hanya terdiri atas badan sel dan perpanjangan
dari ujung badan sel atau dendrit. Otak bayi mengalami proses pematangan bila
dari sel-sel tersebut terbentuk semacam tangkai yang memanjang yang disebut
akson. Akson inilah yang saling berhubungan membentuk simpul saraf yang membuat
otak dan seluruh bagian tubuh berkomunikasi .
Sejumlah orangtua yang anaknya diketahui ber-IQ tinggi, punya record menyusui
anaknya. Kepala Sub Instalasi Pelayanan Gizi Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Hasan Sadikin
(RSHS) Bandung, Yufrida Leni Fayakun, mengatakan ASI adalah makanan yang
mempunyai kandungan gizi terbaik, yang berpengaruh pada perkembangan otak.
Semakin matang otak anak oleh gizi ASI, dia mengatakan, ''Memorinya akan mudah
menyerap berbagai hal.''
Selain itu, stimulasi terus menerus pada usia 0-2 tahun, berperan mendongkrak
IQ anak secara signifikan, mencapai 15-30 poin saat dia masuk usia 4-5 tahun.
''Perkembangan itu sebenarnya masih dalam gelas potensinya. Artinya, potensinya
tumbuh optimal. Sebab dengan ASI dan stimulasi, sinapsnya menjadi cepat
nyambung,'' kata Reni.
Usia di bawah tiga tahun, kata dia, merupakan periode emas (golden age), karena
pertumbuhan otak mencapai 70-80 persen. Fakta inilah, kata Reni, yang makin
membuktikan ajaran agama yang menyeru para ibu memberi ASI sampai dua tahun.
Karena di samping gizi ASI, juga ada stimulasi dari ibu pada periode penting
itu. Adapun 20-30 persen sisanya dicicil sampai umur delapan tahun, lalu
berhenti.
Karena itu, Reni meminta pemerintah mengembangkan posyandu tidak semata-mata
sebagai tempat menimbang bayi, tapi juga sebagai tempat untuk mengajarkan para
ibu menstimulasi anaknya. ''Karena untuk melahirkan generasi yang cerdas, para
ibunya harus cerdas dulu. Kalau di kota sudah banyak akses informasi. Tapi
kalau di desa-desa, rata-rata anak dibiarkan tumbuh dan berkembang begitu
saja,'' katanya.
Pentingnya periode emas yang oleh sebagian ahli ditetapkan pada usia di bawah
tiga tahun (batita) ilmuwan Sigmund Freud malah menetapkan pada masa di bawah
lima tahun (balita) karena perkembangan anak sangat pesat. Pada periode emas
itu, kemampuan daya serap anak bahkan mencapai 50 persen yang terus menurun
pada tahun-tahun berikutnya. Bila periode emas itu dimanfaatkan dengan
simulasi, Reni mengatakan perkembangan otak anak akan semakin baik.
''Simpul-simpul sarafnya akan semakin banyak,'' katanya. Stimulasi ini tak
rumit. Panca inderanya hanya dirangsang membedakan bau, bunyi, dan lain. Makin
besar, dikenalkan dengan angka, huruf, dan sebagainya.
mata, usapan, ibu berbicara. Selama ini orang melihat pemberian ASI itu an sich
nutrisinya, padahal tidak. Jadi memang pemberian ASI dahsyat sekali,'' katanya.
Pada umur nol bulan, tutur Reni, sel-sel saraf (neuron) di otak bayi kebanyakan
hanya terlihat lurus-lurus saja, hanya terdiri atas badan sel dan perpanjangan
dari ujung badan sel atau dendrit. Otak bayi mengalami proses pematangan bila
dari sel-sel tersebut terbentuk semacam tangkai yang memanjang yang disebut
akson. Akson inilah yang saling berhubungan membentuk simpul saraf yang membuat
otak dan seluruh bagian tubuh berkomunikasi .
Sejumlah orangtua yang anaknya diketahui ber-IQ tinggi, punya record menyusui
anaknya. Kepala Sub Instalasi Pelayanan Gizi Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Hasan Sadikin
(RSHS) Bandung, Yufrida Leni Fayakun, mengatakan ASI adalah makanan yang
mempunyai kandungan gizi terbaik, yang berpengaruh pada perkembangan otak.
Semakin matang otak anak oleh gizi ASI, dia mengatakan, ''Memorinya akan mudah
menyerap berbagai hal.''
Selain itu, stimulasi terus menerus pada usia 0-2 tahun, berperan mendongkrak
IQ anak secara signifikan, mencapai 15-30 poin saat dia masuk usia 4-5 tahun.
''Perkembangan itu sebenarnya masih dalam gelas potensinya. Artinya, potensinya
tumbuh optimal. Sebab dengan ASI dan stimulasi, sinapsnya menjadi cepat
nyambung,'' kata Reni.
Usia di bawah tiga tahun, kata dia, merupakan periode emas (golden age), karena
pertumbuhan otak mencapai 70-80 persen. Fakta inilah, kata Reni, yang makin
membuktikan ajaran agama yang menyeru para ibu memberi ASI sampai dua tahun.
Karena di samping gizi ASI, juga ada stimulasi dari ibu pada periode penting
itu. Adapun 20-30 persen sisanya dicicil sampai umur delapan tahun, lalu
berhenti.
Karena itu, Reni meminta pemerintah mengembangkan posyandu tidak semata-mata
sebagai tempat menimbang bayi, tapi juga sebagai tempat untuk mengajarkan para
ibu menstimulasi anaknya. ''Karena untuk melahirkan generasi yang cerdas, para
ibunya harus cerdas dulu. Kalau di kota sudah banyak akses informasi. Tapi
kalau di desa-desa, rata-rata anak dibiarkan tumbuh dan berkembang begitu
saja,'' katanya.
Pentingnya periode emas yang oleh sebagian ahli ditetapkan pada usia di bawah
tiga tahun (batita) ilmuwan Sigmund Freud malah menetapkan pada masa di bawah
lima tahun (balita) karena perkembangan anak sangat pesat. Pada periode emas
itu, kemampuan daya serap anak bahkan mencapai 50 persen yang terus menurun
pada tahun-tahun berikutnya. Bila periode emas itu dimanfaatkan dengan
simulasi, Reni mengatakan perkembangan otak anak akan semakin baik.
''Simpul-simpul sarafnya akan semakin banyak,'' katanya. Stimulasi ini tak
rumit. Panca inderanya hanya dirangsang membedakan bau, bunyi, dan lain. Makin
besar, dikenalkan dengan angka, huruf, dan sebagainya.