3. “Marketing” Plan & Action dari Layanan Kesehatan “Tak Sempurna”
Sangat ditekankan di sini, bahwa layanan kesehatan adalah suatu layanan yang “tak sempurna”. Pada prinsipnya kita tidak menjanjikan hasil, tetapi yang kita janjikan adalah proses yang kita lakukan adalah proses yang benar, sesuai dengan bukti-bukti ilmiah yang ada saat ini. Suatu contoh misalnya yang pernah saya derita, penyakit varicocele, suatu pelebaran pembuluh darah vena yang tidak normal yang keluar dari testis. Teknik operasi yang paling banyak dilakukan oleh urolog saat ini adalah prosedur Palomo. Angka keberhasilan adalah 60-an persen. Jadi urolog tidak menjanjikan hasilnya “pasti” sembuh, tetapi ikhtiar prosedur operasi Palomo itu telah dilakukan dengan benar kepada pasien. Jadi ketika pasien memilih menerima tindakan ini sudah bisa mengantisipasi potensi keberhasilan yang diperoleh. Akhirnya terbukti saya bisa mempunyai 2 orang anak. Salah satu outcome keberhasilan penanganan varicocele adalah kesuburan pria tidak terganggu.
Prosedur-prosedur rutin yang dilakukan oleh layanan kesehatan juga rawan terjadi kecelakaan. Saya pernah mempunyai pengalaman saat menjadi dokter di Usaha Kesehatan Pondok (UKP) di sebuah Pondok Pesantren. Staf saya seorang perawat ketika memeriksa pasien yang sakit flu, menuliskan “demacolin” untuk obat bagi santri yang sedang sakit ini, di kartu status periksa. Kemudian kartu diserahkan di bagian obat, untuk mendapatkan obat. Selesai mendapatkan obat, santri ini kembali ke kamarnya. Karena pagi itu kunjungan pasien saat itu sedang sepi, membuat sang perawat ada kesempatan “main” ke bagian penyediaan obat. Saat ngobrol, sang perawat “iseng” melihat-lihat catatan obat keluar dan melihat-lihat tanggalnya. Ketika melihat tanggal hari itu, ia tidak mendapati “demacolin” seperti yang dia resepkan, malah yang keluar adalah “dulcolax”. Kemudian sang perawat ini menjadi risau, menanyakan kepada sang petugas obat, “Mas, tadi ngasih dulcolax?” dan petugas itu mengiyakan. Perlu diketahui “demacolin” adalah obat flu, sedangkan “dulcolax” adalah obat pencahar atau urus-urus. Masih untung ternyata dalam kartu catatan medis ternyata ada alamat kamar santri tinggal, kemudian sang perawat segera meluncur ke kamar santri yang dituju, dan lebih beruntung lagi ternyata obat belum diminum santri tersebut. Coba bayangkan kalau seandainya diminum, bukannya mendapatkan kesembuhan sakit flu-nya, si santri malah mendapat “sakit” baru, yaitu perutnya jadi mules sekali akibat kerja obat pencahar ini.
Sebuah penelitian di Amerika Serikat mendapatkan bahwa dari lebih dari 33.6 juta orang masuk rumah sakit per tahunnya di Amerika Serikat, terdapat sekitar 44.000 sampai 98.000 kematian yang sebenarnya dapat dihindari. Pada saat yang sama kematian akibat AIDS adalah 16.516 kematian per tahun, kematian akibat kanker payudara 42.297 kematian per tahun, dan kematian akibat kecelakaan lalu lintas sebesar 43.458 kematian per tahun. Jadi dapat dikatakan lebih aman berkendara di jalan dari pada masuk rumah sakit.[1]
Itulah sebabnya yang kita bangun dalam layanan kesehatan adalah kepercayaan bahwa kita telah melakukan proses yang benar. Ke dalam kita sangat menekankan patient safety dan keluar, cara “pemasaran” klinik atau bentuk-bentuk layanan kesehatan lainnya tidak etis dilakukan secara vulgar, dan lebih menekankan aspek “marketing public relation”.
Demi menjamin terlaksananya “marketing public relation” harus ada “person in charge” untuk menjalankan misi ini. Siapa dia tidak harus orang kesehatan. Yang penting bagi kita peta kelompok-kelompok masyarakat dengan kebutuhan khusus sebagaimana yang tertera dalam tabel 2 – 4 sudah kita identifikasi dengan sebaik-baiknya. Dalam kelompok-kelompok itu yang lebih penting lagi adalah “tokoh-tokoh tipping point” harus dikenali karena berkaitan erat dengan strategi bagaimana bisa menjangkaunya, dan melakukan “edukasi” tentang klinik kita. Dalam bukunya Tipping Point[2], Malcolm Gladwell, menjelaskan kebanyakan kita bisa berinteraksi dengan familiar dengan 150-an orang, tetapi orang-orang spesial (tokoh) mampu berinteraksi lebih dari 500-an. Kabar baik atau kabar buruk atau orang yang bisa dipercaya atau apa pun bisa menyebar informasinya akan sangat mudah melalui orang-orang spesial ini.
Sedikit tentang tipping point person
Dalam buku al-Muntholaq karya Muhammad Ahmad ar-Rasyid[3], ketika menjelaskan pribadi dan karakter Fudhail bin Iyadh, beliau mengutip pernyataan Syarik al-Qadhi seorang yang menjadi teladan dalam keadilan, berkata, “Tiap-tiap kaum selalu memiliki hujjah (orang yang dijadikan rujukan) pada zamannya, dan Fudhail bin Iyadh adalah hujjah bagi zamannya.” Yang menarik dalam pernyataan ini adalah “Tiap-tiap kaum selalu memiliki hujjah (orang yang dijadikan rujukan) pada zamannya…”. Inilah yang menjadi inti pembicaraan dalam buku Malcolm Gladwell, tentang Tipping Point, yaitu sesuatu yang tiba-tiba menjadi trend dan semua orang membicarakan dan beramai-ramai menirunya, ternyata diperankan oleh sedikit orang yang berperan sebagai trend setter. Trend setter inilah yang dikatakan Malcolm Gladwell sebagai titik nyala api (tipping point), dimana tidak ada satupun unsur budaya yang dapat menghentikan pergerakan itu.
Orang-orang yang berperan menjadi tipping point dalam bahasa Malcolm Gladwell atau menjadi hujjah zamannya dalam bahasa ar-Rasyid, saat ini menjadi topik yang hangat dibicarakan. Hal ini sangat relevan dengan kenyataan adanya oversupply produsen, sehingga dalam merebut hati konsumen atau pelanggan perlu strategi khusus dengan menggunakan sumber daya yang terbatas, tetapi dapat memperoleh hasil yang optimum. Akibatnya pelanggan-pelanggan atau konsumen-konsumen yang mempunyai peran tipping point atau hujjah zaman atau trend setter, menjadi sasaran yang sangat dipertimbangkan. Betapa tidak, karena mereka bukan sembarang orang, tetapi orang yang mempunyai banyak simpul dengan banyak jaringan manusia. Seperti yang dikatakan Raymond Martin, dalam bukunya The Tomorrow People[4], mereka ini berada di dalam kawasan kunci budaya, yang menjadikan mereka sebagai penyalur gagasan baru, serta sebagai alat untuk mendengarkan gagasan baru yang muncul ke permukaan. Atau dikatakan di bagian lain buku tersebut; Orang-orang ini (sebagai trend setter dalam kasus suatu populasi di bagian kota London timur), karena pekerjaan atau pandangan mereka, akan memiliki sekitar 500 kontak yang berguna dibandingkan dengan jumlah angka ajaib 150 yang dimiliki oleh sebagian besar kita dalam hal perkenalan dengan orang-orang yang dapat kita ajak bicara dan berinteraksi dengan berbagai cara yang manusiawi, bersifat sosial, dan tidak menegangkan.
Tanpa mengurangi rasa hormat penulis kepada seorang ulama yang tawaduk, zuhud, penuh keteladanan, arif bijaksana dan kaya hikmah dan ilmu, Fudhail bin Iyadh, dimana beliau ini adalah sebagai hujjah pada zamannya berarti dapat dikatakan sebagai trend setter bagi orang-orang mukmin yang hidup di masanya. Ketinggian karakter yang ada pada beliau inilah yang menyebabkan semua orang mengarah kepada taujih (nasehat) dan keteladanan beliau. Arah perkembangan kota, pemikiran, gaya hidup yang ada semuanya “terwarnai” oleh ketinggian karakter yang beliau miliki.
Rhenald Kasali mengungkapkan istilah vocal minority, biasanya terkait dengan silent majority; merupakan tinjauan aktivitas publik dalam mengajukan complaint atau mendukung perusahaan atau institusi. Vokal bersifat aktif sedangkan yang silent bersifat pasif. Publik penulis di surat kabar umumnya adalah the vocal minority, yaitu aktif menyuarakan pendapatnya, namun jumlahnya tidak banyak. Sedangkan mayoritas pembaca adalah pasif sehingga tidak kelihatan suara atau pendapatnya.
Kembali pada pembahasan sebelumnya, person in charge yang menjamin terlaksananya “marketing public relation” mempunyai kewajiban mencari siapa-siapa yang menjadi tokoh rujukan atau tipping point person atau hujjah di komunitasnya. Person in charge “marketing public relation” juga mempunyai tugas membina hubungan jangka panjang dengan orang-orang spesial ini. Tujuan akhir adalah bahwa poliklinik kita lewat person in charge sebagai duta dapat dipercaya dan dapat dihandalkan oleh orang-orang spesial yang mewakili kelompoknya.
Pemilihan kelompok beserta orang spesialnya harus match dengan kapabilitas layanan yang disediakan oleh poliklinik kita. Atau bahkan yang lebih tepat lagi, kita mengenali dulu kelompok-kelompok kebutuhan yang ada, kemudian dihitung nilai kehandalan ekonomisnya, baru menyediakan layanan yang sesuai.
Beberapa keuntungan dalam membina hubungan baik dengan orang-orang spesial ini
a. Media komunikasi “marketing public relation” yang bisa dihandalkan karena layanan kesehatan tidak boleh mempromosikan diri secara vulgar
b. Dapat membina hubungan dengan komunitas / kelompok orang dengan kebutuhan khusus yang sesuai dengan layanan yang disediakan
c. Dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi sumber daya yang terbatas dalam menjangkau kelompok konsumen sasaran
d. Hubungan yang intensif dapat digunakan sebagai sumber informasi dalam mengevaluasi layanan kesehatan yang diselenggarakan.
4. Kualitas, kualitas dan kualitas
Dalam layanan kesehatan, kualitas suatu jenis layanan bukanlah yang tertinggi yang pernah dicapai oleh karyawan, dokter, atau petugas medis lainnya. Tetapi merupakan suatu capaian yang bila di ukur maka hasilnya akan berkumpul dalam suatu rentang sempit (lihat gambar 2.B). Rentang sempit ini berarti suatu keajegan (konstannya) ukuran layanan yang dicapai dari para petugas yang memproduksi layanan tertentu tersebut. Bila rentang yang dicapai lebar (lihat gambar 2.A), misalnya kinerja yang diukur ini adalah keramahan, maka pasien atau pelanggan akan mendapati suatu ketika petugas sangat ramah sedangkan di saat yang lain pelanggan mendapati petugas tidak bersahabat (ketus). Bila kebetulan pelanggan yang mendapati keramahan yang rendah adalah mereka yang termasuk kelompok “vocal minority” maka akan mempunyai dampak buruk terhadap citra institusi karena mereka disamping vokal juga sangat dipercaya perkataannya dalam komunitasnya. Tentu ini sangat tidak diinginkan bukan.
[1] “To Err Is Human” Corrigan, Kohn And Donaldson US Academy Of Sciences / Institute Of Medicine, 2000; Hrri.Healthcare Risk Resources International
[2] Malcolm Gladwell, 2000, Tipping Point; How Little Things Can Make a Big Difference, Edisi Indonesia, Tipping Point; Bagaimana Hal-hal Kecil Dapat Menghasilkan Perubahan Besar, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002
[3] Ahmad ar-Rasyid, Muhammad, al-Muntholaq; Edisi Indonesia, Titik Tolak : Landasan Gerak para Aktivis Dakwah. Penerjemah: Abu Sa’id al-Falahi, Lc; Jakarta, Robbani Press, 2005.
[4] Martin Raymond, 2003, The Tomorrow People; Edisi Indonesia: The Tomorrow People; alih bahasa: Paul A. Rajoe; Penerbit PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2006